Rambu-Rambu

5- Memilih bibit unggul

Manakala seorang penanam hendak memulai kerjanya maka langkah awal ygdia lakukan adalah menyortir benih atau bibit, hal ini dia lakukan karena dia menyadari bahwa benih yang baik tumbuh lebih cepat, lebih kuat menghadapi kendala dan berbuah lebih cepat dan lebih baik, hal yang sama berlaku pada hewan, manakala seseorang hendak memilih seekor kuda andalan, salah satu pertimbangannya adalah induk atau pejantan di mana kuda tersebut berasal darinya.

Berharap anak yang baik tidak berbeda dengan penanam atau pemilih hewan andalan, langkah awal adalah memilih benih di mana ia merupakan cikal bakal atau memilih lahan di mana benih tersebut hendak ditanam, dia adalah suami atau istri. Seorang muslimah harus memastikan bahwa benih yang akan ditanam dalam ladangnya adalah benih orang baik. Seorang muslim harus pula memastikan bahwa lahan di mana dia hendak menanamkan benih padanya adalah lahan yang baik. Hal ini sangat penting karena ia merupakan dasar dari terbentuknya anak yang baik kelak.

Tidak ada kebaikan bagi seorang laki-laki dan seorang wanita selain agama, artinya seorang jika laki-laki atau seorang wanita adalah orang yang taat berpegang kepada agamanya maka dialah orang baik. Seorang laki-laki memilih istri dengan agama yang baik karena dia akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, anak-anak akan meniru dan mengambil akhlak dan tabiat. Hal yang sama bagi seorang wanita, dia memilih suami dengan agama yang baik karena dia akan menjadi payung bagi anak-anaknya. “Pilihlah wanita yang memiliki agama niscaya kamu akan beruntung.” Ini adalah wasiat Nabi saw kepada kaum laki-laki, dan tidak mengapa kalau wasiat ini kita balik, pilihlah laki-laki yang memilik agama…Karena laki-laki dengan agama yang baik berjodoh dengan wanita dengan agama yang baik pula.

Ada hal lain yang perlu menjadi pertimbangan di samping kebaikan agama dan akhlak yaitu keluarga laki-laki atau wanita yang akan menjadi bapak atau ibu bagi anak-anak kita, hal ini lebih menyempurnakan dan menggembirakan, karena bagaimana pun dan dalam batas-batas tertentu keluarga di mana istri atau suami berasal ikut berperan memberi andil pengaruh terhadap anak dalam kadar besar atau pun kecil.

Di satu sisi terkadang seorang anak terbetot kepada salah seorang kakeknya atau neneknya, yang dekat maupun yang jauh atau kepada pamannya atau bibinya atau kerabatnya yang lain, dekat maupun jauh, hal ini merupakan realita yang sulit dipungkiri.

Perhatikan ucapan kaum Maryam kepadanya manakala Maryam pulang dengan membawa seorang bayi padahal dia dikenal belum bersuami, ”Hai saudara perempuan Harun, ayahmu bukanlah seorang laki-laki jahat dan ibumu bukan seorang wanita pezina.” (Maryam: 28). Bagaimana kaum Maryam mengindukkan kebaikan kepada orang tua, bapak dan ibu. Jika bapakmu dan ibumu adalah orang baik, bukan orang jahat dan buruk, semestinya kamu seperti keduanya, bukan sebaliknya.

Perhatikan pula sabda Nabi saw kepada seorang laki-laki yang meragukan anak yang lahir dari istrinya hanya karena anak tersebut berkulit legam berbeda dengan dirinya, “Mungkin anakmu itu menyerupai nenek moyangnya.” Ini menetapkan bahwa seorang anak mungkin terbawa oleh leluhurnya dalam bentuk penciptaan, dan tidak menutup kemungkinan dalam tabiat dan perangai, bisa saja seorang anak tidak mendekati bapak ibunya dalam salah satu dari dua hal di atas atau dalam keduanya sekaligus, tetapi dia mendekati paman atau bibinya. Dari sini, jika keluarga suami atau istri adalah keluarga yang baik, bukankah yang akan menurun kepada anak adalah kebaikan juga? Ini di satu sisi.

Di sisi yang lain, kehidupan rumah tangga tidak independen atau tidak berdiri sendiri secara mutlak dari lingkup keluarga di mana suami atau istri berasal, keduanya tetap terikat dengan jalinan rahim dengan segala konsekuensinya, ketika keluarga suami adalah keluarga yang baik, maka pada saat tertentu suami bisa membawa anak-anaknya kepada keluarganya, di sana anak-anak akan mengambil kebaikan dari kakek nenek mereka atau dari paman dan bibi mereka atau dari sepupu-sepupu mereka, hal yang sama manakala keluarga istri adalah keluarga yang baik. Sebaliknya juga sebaliknya.

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيثَةً.

Perumpamaan seorang teman yang shalih dan teman yang jelek hanyalah bagaikan seorang pedagang minyak wangi dan seorang pandai besi. Jika ia seorang pedagang minyak wangi, maka dia akan memberikan minyak itu kepadamu atau engkau yang membelinya atau engkau mendapatkan wangi harum darinya. Sedangkan jika ia seorang pandai besi, maka ia akan membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan bau yang tidak sedap darinya.”

Hadits ini menjelaskan pengaruh seorang kawan, siapa itu kawan? Dia adalah orang yang bergaul dengan kita, kita bertanya, siapakah yang paling sering dan paling dekat pergaulannya dengan kita? Tentu pasangan hidup kita. Bagi anak tentu bapak dan ibunya dan setelahnya adalah keluarga mereka berdua atau teman-teman mereka. Tentu kita berharap suami atau istri seperti tajir (pedagang) minyak wangi, paling tidak kita bisa menghirup aroma harumnya dan tentu saja kita tidak berharap sebaliknya, kita tidak ingin setiap saat harus menutup hidung gara-gara aroma tidak sedap pandai besi. Wallahu a’lam. (Izzudin Karimi)