Pertanyaan : Apa jalan yang benar di dalam memberikan nasihat terutama nasihat kepada aparat pemerintah, apakah dengan cara membeberkan perbuatan-perbuatan mungkar mereka di podium-podium? Atau memberi nasihat kepada mereka secara sembunyi-sembunyi? Kami memohon penjelasan cara-cara yang shahih dalam masalah ini.

Jawaban: Al-‘Ishmah (terpelihara dari kesalahan) itu tidak ada pada siapa pun kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Para aparatur negara adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah. Dan tidak diragukan lagi bahwa mereka mempunyai banyak kesalahan dan mereka bukanlah orang-orang ma’shum. Akan tetapi kita tidak menjadikan kesalahan mereka sebagai sarana untuk memojokkan mereka dan untuk melepaskan tangan (kesetiaan) untuk taat kepada mereka sekali pun mereka telah berbuat salah dan zhalim, bahkan sekali pun mereka telah bermaksiat selagi tidak melakukan kekufuran nyata, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan sekali pun mereka telah melakukan beberapa kemaksiatan, perbuatan zhalim dan penganiayaan. Sebab di balik kesabaran dalam menaati mereka terdapat kesatuan kalimat dan kesatuan kaum muslimin serta perlindungan terhadap negeri kaum muslimin itu sendiri. (Sebaliknya), menentang dan melakukan perlawanan terhadap mereka banyak mengandung kerusakan besar yang lebih besar daripada kemungkaran yang mereka lakukan. Dan sikap menentang mereka menimbulkan kemungkaran yang lebih dahsyat dari kemungkaran yang lahir dari mereka, selagi kemungkaran tersebut selain kekafiran dan kesyirikan.

Kami tidak mengatakan, “Kesalahan-kesalahan yang berasal dari para aparatur negara didiamkan saja. Tidak! Melainkan ia harus dibenahi dengan cara yang benar, dengan memberikan nasihat secara rahasia dan dengan menulis surat kepada mereka secara rahasia, bukan tulisan yang tertulis dan ditandatangani oleh sejumlah banyak orang dan dibagi-bagikan kepada masyarakat. Ini tidak boleh.

Tulisan itu ditulis secara rahasia yang di dalamnya nasihat, lalu diserahkan kepada waliyul-amri, atau berbicara empat mata. Adapun tulisan yang ditulis, digandakan dan dibagi-bagikan kepada banyak orang adalah merupakan perbuatan yang tidak boleh, karena mencemarkan nama baik. Ia serupa dengan membicarakannya di atas podium, bahkan lebih dahsyat, sebab pembicaraan itu bisa dilupakan, sedangkan tulisan tetap akan ada dan berpindah-pindah tangan. Jadi, hal seperti ini tidak termasuk dalam kebenaran.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لله وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

Agama adalah nasihat, agama adalah nasihat, agama adalah nasihat. Kami bertanya, Untuk siapa, ya Rasulullah? Beliau menjawab, “Untuk Allah, untuk KitabNya, untuk RasulNya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum.”

Di dalam hadits disebutkan,

إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا: أَنْ تَعْبُدُوْهُ وَلاَ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوْا وَأَنْ تُنَاصِحُوْا مَنْ وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ

“Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal bagi kamu: beribadah kepadaNya dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apa pun, kalian semua berpegangteguh kepada tali (agama) Allah dan tidak bercerai-berai, dan memberikan nasihat kepada orang yang Allah amanati mengurus permasalahan kamu.”

Orang yang paling berhak memberikan nasihat kepada aparat pemerintah adalah apara ulama, dewan-dewan perwakilan dan permusyawaratan serta Ahlul-halli wal ‘aqdi.

Allah Subhanahu waTa`ala berfirman,

وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (An-Nisa’: 83).

Tidak setiap orang berwenang melakukan hal ini, dan tidak pula penyebarluasan kesalahan (pemerintah) termasuk dalam kategori nasihat sedikit pun. Bahkan yang demikian termasuk dalam kategori penebaran kemungkaran dan kekejian di tengah-tengah kaum beriman, dan ia juga tidak termasuk manhaj kaum as-Salafush Shalih, sekalipun niat pelakunya baik dan bagus, yaitu mengingkari kemungkaran sebagaimana klaimnya. Sebab apa yang ia lakukan itu lebih mungkar. Dan adakalanya mengingkari kemungkaran itu menjadi kemungkaran lain, jika dilakukan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh Allah Subhanahu waTa`ala dan RasulNya. Sebab, ia telah tidak mengikuti cara syar’i Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah beliau gambarkan di dalam sabdanya:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah iman yang paling lemah. (Muslim: 49).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membagi manusia dalam tiga bagian, yaitu:

Di antara mereka ada orang yang mampu memberantas kemungkaran dengan tangannya. Ia adalah para pemegang kekuasaan (pihak yang berwajib), yaitu Wali al-amri atau orang yang diberi wewenang untuk itu, seperti lembaga-lembaga (keamanan), para umara’ dan para panglima.

Kelompok kedua: orang alim yang tidak mempunyai kekuasaan (wewenang). Ia hanya mengingkari dengan memberikan penjelasan dan nasihat dengan hikmah dan mau’izhah hasanah dan menyampaikan kepada pihak berwajib dengan cara yang paling bijaksana.

Kelompok ketiga adalah orang yang tidak mempunyai ilmu dan tidak pula kekuasaan (wewenang). Maka ia mengingkari kemunkaran itu dengan hatinya, ia membencinya dan membenci pelakunya serta menjauhinya.

Jawaban Syaikh Shalih Fauzan (al-Ajwibah al-Mufidah: hal. 45-49).

Sumber: Fatwa-Fatwa Terlengkap Seputar Terorisme, Jihad dan Mengkafirkan Muslim, disusun oleh : Abul Asybal Ahmad bin Salim al-Mishri, cet: Darul Haq – Jakarta.