PASAL

Para ulama telah bersepakat (ijma’) dibolehkannya berdzikir dengan hati dan lisan bagi orang yang berhadats, orang junub, wanita haid dan nifas. Hal itu untuk tasbih, tahlil, tahmid, takbir, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, doa dan lain-lain.

Akan tetapi membaca al-Qur’an bagi orang junub, wanita haid dan nifas adalah haram baik membaca sedikit maupun banyak, bahkan sekalipun hanya sebagian ayat saja. Mereka boleh membaca al-Qur’an di dalam hati saja tanpa dilafalkan dengan lisan, begitu pula melihat mushaf dan membacanya hanya dalam hati saja. (Ketahuilah wahai pencari kebenaran yang tidak menginginkan selainnya, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini secara panjang lebar: Pertama, mereka berbeda pendapat tentang orang junub. Kedua, tentang wanita haid dan ketiga, tentang wanita nifas. Keempat, tentang pembedaan antara orang junub dan wanita haid. Kelima, tentang pembedaan antara wanita haid dan nifas. Keenam, tentang kadar bacaan yang dilarang … dan lain-lain.
Dan yang benar adalah bahwa dalil yang ada dalam masalah ini hampir tidak bisa menetapkan dalam kondisi terbaiknya dimakruhkannya membaca al-Qur’an bagi orang junub wanita haid dan nifas lebih-lebih menetapkan keharaman-nya. Benar dianjurkan bagi pembaca al-Qur’an agar dalam kondisi suci bahkan berwudhu, akan tetapi itu tidaklah wajib. Pendapat ini dinyatakan oleh para peneliti di kalangan para ulama dan ia adalah pendapat yang benar yang ditopang oleh dalil-dalil. Wallahua’lam.)

Sahabat-sahabat kami berkata, “Orang junub dan wanita haid pada saat ditimpa musibah boleh membaca,

إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ

‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepadaNya-lah kami kembali.’ (Al-Baqarah: 156)

Pada saat naik kendaraan membaca,

سُبْحانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ

‘Mahasuci Allah yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya.’ (Az-Zukhruf: 13).

Pada saat berdoa,

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di Akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.’ (Al-Baqarah: 201), jika yang dimaksud bukanlah al-Qur’an.

Orang junub saja boleh membaca, بسم الله “Dengan nama Allah” (Hud: 41). سُبْحانَ اللهِ “Mahasuci Allah” (Al-Mukminun: 91). Dan, ” الْحَمْدُ للهِ .” (Al-Fatihah: 2). Jika yang dimaksud bukanlah (membaca) al-Qur’an, baik yang mereka maksud adalah dzikir atau mereka tidak memiliki maksud, mereka berdua tidak berdosa kecuali jika maksud mereka berdua adalah membaca al-Qur’an. Keduanya boleh membaca ayat yang telah dinasakh tilawah-nya seperti: الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا، فَارْجُمُوْهُمَا (Laki-laki dan wanita muhshan jika keduanya berzina maka rajamlah keduanya). (Diriwayatkan secara shahih dari beberapa sahabat bahwa ayat ini termasuk ayat yang dinasakh tilawahnya. Di antara mereka adalah Umar, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Sahl dari bibinya. Lihat perinciannya dalam al-Fath (10/143).

Adapun jika keduanya mengucapkan kepada seseorang, خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ. “Ambillah al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh,” (Maryam: 21), atau, “اُدْخُلُوْهَا بِسَلاَمٍ آمِنِيْنَ [i ]“Masuk-lah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman” (Al-Hijr: 46) dan lain-lain. Jika maksudnya bukan al-Qur’an maka ia tidak haram.

Jika orang junub dan wanita haidh tidak mendapatkan air maka keduanya bertayamum dan keduanya boleh membaca al-Qur`an, jika setelah itu dia berhadats, maka membaca tidak haram baginya sebagaimana jika dia mandi lalu berhadats, kemudian tidak ada per-bedaan antara tayamum karena tidak adanya air dalam keadaan mukim atau musafir, dia boleh membaca al-Qur’an sesudahnya walaupun dia berhadats. Sebagian sahabat kami berkata, “Jika dia dalam keadaan mukim maka dia shalat dengannya dan membaca dengannya di dalam shalat dan tidak boleh membaca di luar shalat.” Akan tetapi yang benar adalah dibolehkan sebagaimana telah kami jelaskan karena tayamumnya menggantikan mandinya.

Seandainya orang junub bertayamum kemudian dia melihat air, maka dia harus memakainya. Dia tidak boleh membaca al-Qur’an dan perkara-perkara lain yang tidak boleh dilakukan oleh orang junub sampai dia mandi. Jika dia bertayamum, shalat dan mandi kemudian dia ingin bertayamum karena hadats atau untuk shalat fardhu yang lain (:Tayamum berfungsi seperti wudhu, oleh karena itu tidak disyariatkan mengulangnya setiap shalat fardhu, pent.) atau perkara-perkara lain maka dia tidak dilarang membaca. Ini adalah pendapat yang benar dan terpilih, meskipun dalam masalah ini terdapat pendapat dari rekan-rekan kami bahwa dia dilarang, akan tetapi pendapat tersebut lemah.(:Perincian ini tidak diperlukan karena sebelumnya saya telah menjelaskan dibolehkannya membaca al-Qur’an bagi orang junub, wanita haidh dan nifas, pent.).

Jika orang junub tidak mendapatkan air dan debu (:Masalah ini dahulu sangat sulit untuk dibayangkan akan tetapi pada zaman ini terjadi seperti seorang tahanan di rumah yang ditutup dengan bahan elastis seperti plastik dan sebagainya, orang yang diikat, orang sakit yang tidak mampu menjangkau debu dan orang-orang yang sama dengannya seperti orang yang tinggal di ruang ICU atau ruang isolasi steril, pent.), maka dia shalat demi menghormati waktu sesuai dengan keadaannya, haram baginya membaca (al-Qur`an) di luar shalat, haram baginya membaca (al-Qur`an) di dalam shalat melebihi al-Fatihah. Apakah membaca al-Fatihah haram baginya? Terdapat dua pendapat, yang shahih dari keduanya, adalah tidak haram, justru wajib karena shalat tidak sah tanpanya, sebagaimana dia boleh shalat karena darurat maka dia pun boleh membaca (al-Qur`an). Pendapat kedua haram, dia hanya boleh membaca dzikir-dzikir yang dibaca oleh orang yang tidak bisa membaca al-Fatihah. ( Ini adalah pemutarbalikan masalah, di sini terdapat kesalahan-kesalahan dari beberapa segi:berkaitan dengan shalat, dia tetap (wajib melaksanakan) shalat tanpa wudhu dan tayamum untuk melaksanakan kewajiban yang dipikulnya bukan karena menghormati waktu karena Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya, dan wudhu dan tayamum (saat itu) di luar kemampuannya. Dia hanya mampu shalat maka dia mengerjakannya tanpa harus mengulanginya setelahnya meskipun dia mampu berwudhu atau bertayamum, dia juga boleh shalat rawatib dan nafilah sesukanya. Adapun dzikir dan membaca al-Qur’an maka seperti yang telah kami jelaskan ia sama sekali tidak haram bagi orang junub, pent.)

Saya menurunkan masalah-masalah tesebut karena ia bertalian dengan apa yang saya sebutkan, saya menyebutnya secara ringkas, penjelasan lebih luas berikut dalil-dalilnya tercantum di kitab-kitab fikih. Wallahu a’lam.

PASAL

Hendaknya orang yang berdzikir berada di dalam kondisi yang paling sempurna, jika dia duduk di suatu tempat, hendaknya dia menghadap kiblat, duduk dengan rendah diri, khusyu’, tenang, khidmat dan menundukkan kepalanya. Jika dia berdzikir tidak seperti itu maka boleh-boleh saja, bukan makruh baginya, hanya saja dia meninggalkan yang afdhal jika tidak ada alasan.
Dalil yang menunjukkan bahwa ia tidak makruh, adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (Ali Imran: 190-191). (لِّأُوْلِي الألْبَابِ “orang-orang yang berakal” adalah, mereka yang memiliki akal yang cerdas dan jiwa yang bersih, وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ dalam keadaan berbaring, maksudnya berbaring miring atau telentang. Makna ayat ini adalah, bahwa mereka berdzikir tidak terputus, secara rutin dalam segala waktu, tempat dan keadaan, pent.).
Bersambung…

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)