(10) Terdapat riwayat shahih dalam ash-Shahihain dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَتَّكِئُ فِي حِجْرِيْ وَأَنَا حَائِضٌ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berbaring di pangkuanku dan beliau membaca al-Qur’an sementara saya sedang haidh.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari: Kitab al-Haidh, Bab Qira`at ar-Rajuli Fi Hijri Imra`atihi, 1/401, no. 297, dan Muslim: Kitab al-Haidh,Bab Jawaz Ghasli al-Ha`idh Ra`si Zaujiha, 1/246, no. 301, pent.)

Dalam riwayat lain,

وَرَأْسُهُ فِي حِجْرِيْ وَأَنَا حَائِضٌ

“Kepala Nabi di pangkuanku sementara aku sedang haidh.”

Dan terdapat atsar dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa dia berkata,

إِنِّيْ لأَقْرَأُ حِزْبِيْ وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ عَلَى السَّرِيْرِ

“Aku membaca hizbku [Hizb adalah shalat, dzikir, wirid yang dilakukan oleh seseorang secara rutin di waktu tertentu, pent.] sementara aku berbaring di atas ranjang.”

PASAL

Hendaknya tempat di mana dia berdzikir adalah tempat yang sepi dan bersih, karena hal itu lebih menghormati dzikir dan apa yang diucapkan pada dzikir tersebut. [Hal itu agar hati dan lisan bersinergi dalam berdzikir, sehingga pengganggu dan penyibuk dari dzikir akan hilang. Akan tetapi hendaknya seseorang tidak berlebih-lebihan dalam hal ini, sehingga dia tidak berdzikir dan membuang banyak waktu dengan alasan tidak terpenuhinya syarat tersebut. Dan juga hendaknya jangan mempersulit syarat-syarat seperti ini supaya tidak terjerumus ke dalam jebakan khalwat ala sufi yang bid’ah. Akan tetapi hendaknya dia berdzikir kepada Allah setiap waktu dan kondisi, jika situasi di atas terpenuhi maka itulah cahaya di atas cahaya,pent.]

Oleh karena itu berdzikir di masjid-masjid dan tempat-tempat yang mulia adalah sesuatu yang terpuji. Seorang imam yang mulia Abu Maisarah [Amr bin Syurahbil al-Hamdani al-Kufi, seorang ahli ibadah, salah seorang wali dari kalangan tabiin, meriwayatkan hadits dari Umar, Ali dan Ibnu Mas’ud. Wafat pada masa pemerintahan Abdullah bin Ziyad. Biografinya terdapat dalam Hilyat al-Auliya 4/141 dan Siyar A’lam an-Nubala` 4/135, pent.] berkata, “Berdzikir kepada Allah hanya-lah di tempat yang baik.”

Juga, hendaknya mulutnya bersih, jika ia berbau maka dia menghilangkannya dengan siwak. Jika padanya terdapat najis maka dia membersihkannya dengan air. Jika tetap berdzikir tanpa membersihkannya dengan air, maka ia makruh, tapi tidak haram. Jika dia membaca al-Qur’an dengan mulut yang najis maka hal itu adalah makruh. Apakah ia haram? Terdapat dua pendapat di kalangan rekan-rekan, yang lebih shahih adalah tidak haram.

PASAL

Ketahuilah bahwa berdzikir itu dicintai dalam segala kondisi, kecuali dalam kondisi yang dikecualikan oleh syariat. Kami sebutkan di sini sebagian darinya sebagai isyarat kepada selainnya yang akan hadir pada babnya sendiri, insya Allah.

Di antaranya adalah, makruh berdzikir pada saat duduk buang hajat, pada saat bersetubuh, pada saat khutbah bagi yang mendengar suara khatib, pada saat berdiri shalat [Dzikir pada waktu berdiri shalat tidak makruh, justru ia dianjurkan berdasarkan hadits yang shahih di Muslim yaitu penjelasan Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu tentang shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam di waktu malam,

يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ ، وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ ، وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ كاَنَ

“Bahwa beliau membaca secara perlahan, jika beliau membaca ayat yang berisi tasbih maka beliau bertasbih, jika beliau membaca ayat permintaan maka beliau meminta dan jika beliau membaca ayat perlindungan maka beliau memohon perlindungan.” , pent.] karena pada saat itu dia sibuk membaca, dan pada saat mengantuk. [Dzikir pada saat mengantuk tidak makruh, yang makruh adalah shalat malam dalam keadaan mengantuk, berdasarkan kepada sebuah hadits shahih. Jika seseorang berbaring di ranjangnya dalam keadaan mengantuk lalu dia berdzikir kepada Allah sampai dia tertidur maka ia adalah sesuatu yang sangat dianjurkan, pent.]

Tidak makruh berdzikir di jalan dan tidak pula di kamar mandi. Wallahu a’lam.

PASAL

Yang dimaksud dengan berdzikir adalah konsentrasi hati, hendaknya ia merupakan tujuan orang berdzikir sehingga dia bersungguh-sungguh meraihnya; merenungkan dzikirnya dan memahami maknanya. Perenungan dzikir adalah tuntutan, sama halnya dalam membaca al-Qur`an karena target keduanya adalah sama. Oleh karena itu pendapat yang shahih yang terpilih adalah dianjurkannya memanjangkan ucapan la ilaha illallah, [Dengan catatan mad (memanjangkannya) pada tempatnya, tanpa berlebih-lebihan, sehingga ia justru menjadi buruk yang tidak dirasa enak oleh perasaan yang benar, dan tanpa irama tertentu yang dapat menjadikannya sarana nyanyian dan bergoyang, serta tanpa meninggikan suara sehingga ia sama dengan teriakan, pent.] oleh pelaku dzikir karena itu mengandung perenungan. Ucapan-ucapan Salaf dan para imam khalaf dalam perkara ini adalah masyhur. Wallahu a’lam.

PASAL

Bagi orang yang memiliki dzikir rutin di malam atau siang hari atau setelah shalat atau dalam keadaan tertentu lalu dzikir tersebut terlewatkan, seyogyanya dia berusaha melakukannya pada saat di mana dia mampu melakukannya dan tidak membiarkannya berlalu, karena jika dia selalu menjaganya maka ia tidak beresiko terlewatkan. Lain halnya jika dia bersikap longgar dalam mengqadhanya, maka ia pun mudah terlewatkan dari waktunya. [Demi Allah, ini adalah nasihat hakiki, ia adalah sebuah obat paling mujarab untuk mengatasi penyakit ini dan yang sepertinya, pent.]

Bersambung…
Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Oleh: Abu Nabiel)