Sudah barang tentu, mewaspadai perpecahan dan mencegahnya sebelum terjadi lebih baik daripada menyelesaikannya setelah terjadi.

Seyogianya kita mengetahui bahwa mewaspadai perpecahan adalah dengan mewaspadai sebab-sebab yang telah kami sebutkan terdahulu.

Namun di sini terdapat beberapa faktor lain yang dapat menangkal terjadinya perpecahan, baik faktor yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Di antara faktor-faktor umum ialah berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini merupakan kaidah agung yang melahirkan wasiat-wasiat serta banyak perkara lainnya. Dan perkara yang terakhir dari kaidah besar itulah yang merupakan faktor khusus, yaitu:

  • Mengenal petunjuk Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan berpegang teguh dengannya. Barangsiapa mengikuti petunjuk nabi, dia pasti mendapat petunjuk insya Allah, dan dapat melaksanakan agama berdasarkan pengetahuan. Dengan begitu ia akan terhindar dari perpecahan atau pertikaian yang menjurus kepada perpecahan tanpa disadarinya.

  • Di antara faktor-faktor khusus dalam penanggulangan perpecahan adalah menerapkan pedoman Salafus Shalih, para sahabat, tabi’in dan imam-imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

  • Memperdalam ilmu agama dengan mempelajarinya dari para ulama dan dengan metodologi yang shahih berdasarkan petunjuk ahli ilmu.

  • Bergaul dengan para ulama dan imam-imam yang berjalan di atas petunjuk yang terpercaya agama, ilmu dan amanahnya. Alhamdulillah, mereka masih banyak dan tidak mungkin umat Islam akan kehabisan ulama pewaris nabi. Barangsiapa berasumsi bahwa mereka akan habis, berarti ia berasumsi bahwa agama Islam akan berakhir. Asumsi seperti ini jelas tidak benar, sebab Allah telah berjanji akan menjaga agama Islam sampai hari Kiamat. Karena umat Islam merupakan perwujudan para ulama dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang merupakan perwujudan para ahli ilmu dan ahli fiqih akan tetap ada sampai hari Kiamat. Maka barangsiapa menyangka bahwa ahli ilmu akan habis atau tidak ada lagi keteladanan ulama yang menjadi tempat bertanya bagi umat, berarti ia telah menyangka bahwa tidak akan ada lagi Thaifah Manshurah (kelompok yang mendapatkan pertolongan dari Allah) dan tidak ada pula Firqatun Najiyah (golongan yang selamat). Dan ini berarti kebenaran akan hapus dan sirna dari tengah-tengah manusia. Ini jelas menyelisihi nash-nash yang qath’i dan prinsip-prinsip dasar agama.

  • Menjauhi sikap meremehkan alim ulama atau menyimpang dari mereka dengan segala model dan bentuknya yang dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan.

  • Keharusan mengantisipasi fenomena-fenomena perpecahan terutama yang terjadi pada sebagian pemuda, orang-orang yang suka tergesa-gesa, serta orang-orang yang belum memahami cara hikmah dalam berdakwah, belum berpengalaman dan belum memahami Islam.

  • Semangat memelihara keutuhan jama’ah, persatuan dan perdamaian dalam arti umum dengan prinsip-prinsipnya. Setiap muslim, khususnya para penuntut ilmu dan juru dakwah, wajib berusaha memelihara keutuhan jama’ah, persatuan dan perdamaian antar sesama juru dakwah serta penyeru kebaikan dan antara rakyat dan penguasa. Dan menyatukan kalimat untuk menyeru kepada kebaikan dan takwa.

  • Barangsiapa ingin berpegang kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan selamat dari perpecahan –insya Allah- dia harus menetapi ahli ilmu dan menetapi kaum yang shalih dari kalangan orang-orang yang takwa, orang-orang yang baik dan istiqamah. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencelakakan teman duduknya dan tidak menyesatkan rekan sejawatnya. Barangsiapa menginginkan bagian tengah Surga, hendaklah ia komitmen terhadap jama’ah, karena jama’ah adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan sahabatnya.

  • Untuk menanggulangi terjadinya perpecahan kita harus menjauhi hizbiyah (bergolongan-golongan) sekalipun untuk tujuan dakwah. Dan juga menjauhi sikap fanatik golongan, apapun bentuk dan sumbernya. Karena hal itu merupakan benih-benih perpecahan.

  • Memberi nasihat kepada penguasa, baik penguasa itu shalih maupun fajir. Begitu pula menasihati khalayak umum. Karena nasihat kepada para penguasa dapat mewujudkan maslahat yang besar bagi umat, dan akan menjadi hujjah di hadapan Allah, atau menjadi penolak bala’, penghapus rasa dengki dan dengannya pula akan tegak hujjah. Menasihati penguasa termasuk salah satu wasiat Nabi shallallahu ‘alahi wasallam yang terbesar, beliau memerintahkan umatnya supaya bersabar dalam menjalankannya dan berpegang kepada wasiat tersebut. Dan juga merupakan pedoman Salafus Shalih yang membedakan mereka dengan ahlul ahwa dan ahlul iftiraq. Menahan diri dari menasihati penguasa berarti mengabaikan hak Islam dan kaum muslimin. Dan berarti pula memperturutkan hawa nafsu yang akan melahirkan keburukan dan bencana.

  • Menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dengan kaidah-kaidah ilmu.