Semoga bapak ibumu memberimu nama yang baik dari nama-nama kaum muslimin, nama-nama orang-orang shalih lagi mulia dari kalangan para nabi, para rasul dan sahabat-sahabat mereka, nama-nama yang mengandung makna lurus, memikul arti luhur, karena hal itu sudah menjadi hakmu atas bapak ibumu, di samping itu nama merupakan sebuah optimisme, merupakan sebuah harapan, bahkan nama yang baik merupakan indikasi awal sebuah kebaikan.

Anda boleh menyangkal dengan berkata, “Apalah arti sebuah nama?” Karena nama tidak secara otomatis membuat baik pemiliknya, berapa banyak orang yang bernama baik namun berkata dan bertindak tidak baik, berapa banyak orang yang hanya sekedar membawa nama sementara makna dari nama itu tidak terlihat dalam kehidupan, seseorang bernama Mahmud (yang dipuji), namun perbuatannya tidak terpuji, seseorang bernama Hasan (baik) namun tingkah polanya buruk.

Jika Anda menyangkal demikian maka hal itu tidak seratus persen keliru, karena memang perkaranya demikian, namun ia tidak bisa digeneralisasikan, tidak bisa digebyah-uyah, karena hal itu tidak terjadi pada semua orang akan tetapi pada sebagian orang saja, buktinya ada orang yang bernama Hasan, tingkahnya bagus, bahkan penampilannya juga bagus. Benar, sekedar nama tidak mengotomatiskan membuat pemiliknya baik, mulia dan berbudi, namun minimal, paling tidak, nama yang baik merupakan langkah awal yang baik dan jangan lupa banyak kebaikan terwujud dengan langkah awal yang baik. Apalagi jika Anda memperhatikan apa yang saya tulis berikut.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Said bin al-Musayyib dari bapaknya bahwa kakeknya datang kepada Nabi saw, beliau bertanya, “Apa namamu?” Dia menjawab, “Hazn.” –Hazn artinya susah dan sulit- Maka Nabi saw bersabda, “Kamu Sahal.” –Sahal artinya mudah- Maka dia berkata, “Aku tidak merubah nama yang diberikan bapakku kepadaku.”

Adakah akibat dari penolakan Hazn terhadap perubahan nama dari Rasulullah saw ini? Ternyata ada sebagaimana yang dikatakan oleh Said bin al-Musayyib sendiri sang cucu, “Kesulitan senantiasa menimpa kami.” Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 10/575, “Ad-Dawudi berkata, ‘Maksud Said adalah kesulitan dalam akhlak mereka.’ Selainnya berkata, ‘Said mengisyaratkan kepada kekerasan yang masih tersisa pada akhlak mereka, ahli nasab menyebutkan bahwa pada anak-anaknya terdapat keburukan akhlak yang sudah terkenal yang hampir tidak lepas dari mereka.”

Ini karena Hazn bersikukuh dengan namanya, akibatnya nama yang berarti sulit itu pun membawa kesulitan di kemudian hari. Coba seandainya Hazn menerima nama baru, Sahal yang berarti mudah, bisa jadi keadaannya akan menjadi musah sesuai dengan Sahal. Ternyata ada keterkaitan antara nama dengan pemiliknya.

Perhatikan lagi sabda Nabi saw,

أَسْلَمُ سَالَمَهَاالله وَغِفَـارٌ غَفَرَ اللهُ لَهَـا وَعُصِيَّةُ عَصَتِ اللهَ وَرَسُولَهُ

Semoga Allah memberi keselamatan kepada (kabilah) Aslam, semoga Allah mengampuni (kabilah) Ghifar dan (kabilah) Ushayyah telah durhaka kepada Allah dan rasulNya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Rasulullah saw menghubungkan nama Aslam yang berarti berserah diri, masuk ke dalam keselamatan, masuk ke dalam Islam dengan keselamatan, keselamatan memang sesuai dengan Aslam. Sedangkan Ghifar dihubungkan oleh Rasulullah saw dengan ghufran, ampunan, karena nama Ghifar memang sesuai dengan kandungannya. Lain halnya dengan Ushayyah yang berarti kedurhakaan dan kebengalan, Nabi saw menghubungkan nama ini dengan maknanya dan perkaranya memang demikian.

Nabi saw juga pernah bertafa`ul, merasa optimis dengan sebuah nama, pada perjanjian Hudaibiyah orang-orang musyrikin mengutus Suhail bin Amru sebagai juru runding, ketika Suhail datang Nabi saw bersabda, “Perkara kalian akan menjadi mudah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Di sini Nabi saw memprediksi kemudahan akan diraih oleh kaum muslimin ketika yang datang kepada mereka adalah seseorang yang membawa nama yang menunjukkan makna kemudahan dan yang terjadi adalah seperti yang dinyatakan oleh Nabi saw, pasca perjanjian ini segala urusan kaum muslimin berjalan lancar, sehingga perjanjian tersebut disebut dengan al-Fathu, kemenangan.

Ada satu hal lagi dari Amirul Mukmin Umar bin al-Khatthab bahwa dia berkata kepada seorang laki-laki, “Siapa namamu?” Dia menjawab, “Jamrah.” Umar bertanya, “Anak siapa?” Dia menjawab, “Bin Syihab.” Umar bertanya, “Dari marga apa?” Dia menjawab, “Dari al-Haraqah.” Umar bertanya, “Dari kabilah apa?” Dia menjawab, “Dari Bani Dhiram.” Umar bertanya, “Di mana tempat tinggalmu?” Dia menjawab, “Harrah.” Umar bertanya, “Di sebelah mana?” Dia menjawab, “Dzatu Lazha.” Maka Umar berkata, “Selamatkan keluargamu, mereka terbakar.” Yang terjadi seperti yang dikatakan oleh Umar.

Jamrah berarti bara api, Syihab berarti bongkahan api, al-Haraqah berarti kebakaran, Dhiram berarti api yang berkobar, Harrah berarti panas dan Dzatu Lazha berarti api yang menyala. Semua nama tersebut berkaitan dengan api, maka Umar memprediksi apa yang terjadi dari nama dan ternyata demikian.

Ini berarti bahwa “Apalah arti sebuah nama.” tidak selamanya benar, karena bagaimana pun nama dalam batas-batas tertentu dan dalam kadar-kadar tertentu memiliki keterkaitan dengan makna yang akan berpengaruh kepada pemiliknya, nama yang baik bisa menjadi awal yang baik, sedangkan nama sebaliknya –saya tidak berharap- bisa menjadi awal sebaliknya. Nanti saya akan kembali, insya Allah. (Izzudin Karimi)