Nama memang tidak membuat pemiliknya menjadi baik secara otomatis, tidak membuat pemiliknya mercerminkan makna yang disandangnya secara pasti, namun bukan berarti “Apalah arti sebuah nama” benar seutuhnya. Pada umumnya manakala sebuah nama disematkan oleh bapak ibu kepada anaknya, bapak ibu membayangkan makna mulia yang dikandung oleh nama itu atau bapak ibu membayangkan seseorang yang menjadi pujaan atau idolanya lalu dia mengambil namanya dan memberikannya kepada anaknya. Seorang bapak yang memberi nama anaknya Untung atau Bejo atau Rabih, tentu membayangkan dan mengharapkan keberuntungan akan memayungi hidup anaknya. Seorang bapak yang memberi nama anaknya Shalahuddin al-Ayyubi atau Imam Syafi’i atau yang semisalnya, tentu didorong oleh sikap mengidolakan pemilik nama.

Memberi nama kepada anak dengan nama seseorang, terlepas mulia dan rendah, baik dan buruknya orang tersebut mengandung sikap pengidolaan kepadanya, sikap ini yaitu mengidolakan sarat sekali dengan kecintaan dan kekaguman, di sana ada sebuah harapan bahwa anak akan menjadi sepertinya dan “al-mar`u ma’a man ahabba”, seseorang itu bersama orang yang dicintainya, orang yang memberikan nama para nabi, orang-orang shalih, pahlawan-pahlawan Islam kepada anak, hal itu karena kemuliaan mereka di dalam hatinya, dia menyintai dan mengidolakan mereka, maka langsung maupun tidak langsung dia berharap anaknya bisa bersama mereka atau bisa menyusul mereka, sebaliknya adalah sebaliknya.

Dari sini maka orang-orang shalih zaman dulu memberi nama anak mereka dengan nama para nabi dan orang-orang shalih sebelum mereka, Maryam ibu Isa adalah anak perempuan Imran, Maryam mempunyai saudara laki-laki bernama Harun, sedangkan Musa alaihi salam seorang nabi, bapaknya juga Imran, dia mempunyai saudara bernama Harun, padahal tidak ada kaitan antara Maryam ibu Isa dengan Musa alaihis salam, Nabi saw pernah ditanya tentang hal itu, maka beliau menjawab, “Mereka menamakan anak-anak mereka dengan nama para nabi dan orang-orang shalih sebelum mereka.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Al-Mughirah bin Syu’bah berkata, ketika aku datang ke Najran –penduduknya beragama Nasrani- mereka bertanya kepadaku, “Kalian membaca, ‘Wahai saudara perempuan Harun.’ padahal Musa hadir sekian sekian tahun sebelum Isa.” Al-Mughirah berkata, “Ketika aku menghadap Nabi saw, aku bertanya kepada beliau maka beliau mengatakannya.”

Sebuah sunnah yang mulia yang patut untuk diteladani, maka az-Zubair bin al-Awwam berkata, “Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidullah at-Taimi memberi nama anak-anaknya dengan nama para nabi, dia mengetahui tidak ada nabi setelah Muhammad saw, dan aku menamakan anak-anakku dengan nama para syuhada, mudah-mudahan mereka semuanya gugur syahid.”

Inilah nama anak-anak az-Zubair: Abdullah, dia mengambilnya dari Abdullah bin Jahsy. Al-Mundzir, maksudnya adalah al-Mundzir bin Amru. Urwah, diambil dari Urwah bin Mas’ud. Hamzah, adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib. Ja’far, adalah Ja’far bin Abu Thalib. Mush’ab, yaitu Mush’ab bin Umair. Ubaidah, diambil dari Ubaidah bin al-Harits. Khalid, dia mengambil nama Khalid bin Said. Amru yaitu Amru bin Said bin al-Ash.

Rasulullah saw hadir menetapkan sunnah ini, beliau bersabda, “Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” Diriwayatkan oleh Muslim. Beliau juga berkata, “Namakanlah anakmu dengan namaku dan jangan berkun-yah dengan kun-yahku.” Diriwayatkan oleh Muslim. Nabi saw mempunyai seorang anak laki-laki yang beliau namakan Ibrahim, beliau bersabda, “Telah lahir untukku malam ini seorang anak laki-laki, aku memberinya nama dengan nama bapakku Ibrahim.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Musa berkata, “Telah lahir untukku seorang anak laki-laki, aku membawanya kepada Nabi saw dan beliau menamakannya Ibrahim.”

Kadang-kadang Anda bisa meraba identitas seseorang, keyakinan, pemikiran dan perinsip hidup seseorang melalui nama yang disandangnya sebagaimana Anda bisa meraba isi dan kandungan sebuah buku melalui judul yang terpampang di sampul depannya. Ada yang berkata, “Setiap pemilik nama mempunyai bagian dari namanya.” Ibnul Qayyim berkata, “Mayoritas nama orang-orang rendah sesuai dengan kondisi mereka dan mayoritas nama orang-orang mulia sesuai dengan kondisi mereka.”

Tidak keliru, jika Anda membaca sejarah Nabi saw, dalam perang Badar, sebelum perang dimulai, tiga orang musyrikin maju ke depan menantang duel satu lawan satu, coba perhatikan nama-nama mereka lalu perhatikan pula nama-nama dari kaum muslimin yang menhadapi mereka, dari nama saja kita mengetahui bahwa mereka sulit untuk menang. Mereka adalah Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah dan al-Walid bin Utbah. Sedangkan dari kaum muslimin adalah Hamzah bin Abdul Mutthalib, Ali bin Abu Thalib dan Ubaidah bin al-Harits.

Utbah dari kata itab yang berarti kritik kepada seseorang karena telah melakukan kesalahan, Syaibah dari Syaib yang berarti uban, orang yang beruban adalah orang tua, orang tua biasanya tinggal sisa, al-Walid berarti anak, kekuatan anak pada umumnya belum sempurna. Sebaliknya perhatikan kepada nama-nama kaum muslimin, Hamzah yang berarti orang kuat dan keras, ia juga nama lain dari Asad, singa. Ali dari uluw yang berarti tinggi dan mulia, Ubaidah dari Abd, hamba yakni hamba Allah. Nama-nama mereka mengisyaratkan makna kelemahan, ketidakmampuan dan kekurangan sedangkan nama-nama kaum muslimin mencerminkan kekuatan, ketinggian dan kehormatan. Hasilnya, duel dimenangkan oleh kaum muslimin.

Penulis berharap setelah ini Anda tidak lagi meremehkan nama, tidak asal memberi nama, lebih-lebih jika nama itu sudah menjadi trade atau merek atau ikon agama tertentu, begitu orang membaca atau mendengar namanya maka langsung terbetik di benaknya bahwa pemiliknya beragama anu atau ani, atau nama-nama tokoh dari dunia ilusi, alam antaberantah, asathirul awwalin. Tidak perlu, Islam kaya akan nama-nama yang bermakna baik, mulia dan keren, dijamin bukan kampungan.

Memberi nama yang baik menyusupkan kemuliaan dan kebanggaan kepada anak, ketika anak mulai menginjak usia memahami, dia mulai bertanya-tanya, bisa saja salah satu pertanyaan yang dia tujukan kepada Anda, “Apa nama yang telah engkau berikan kepadaku ini wahai ayah? Ini nama siapa? Mengapa nama ini yang engkau pilih?” Anda akan berbahagia, bangga dan bersemangat menjelaskan ketika nama yang Anda berikan adalah nama mulia, di samping itu Anda bisa menanamkan keteladanan pemilik nama di mana Anda menculik namanya itu untuk anak Anda. Kalau misalnya nama anak Anda dalam Tsabit, Anda bisa menjelaskan siapa Tsabit, bahwa ia adalah sahabat Nabi saw, yaitu Tsabit bin Qais, salah seorang penghuni surga, khatib Rasulullah saw, pahlawan perang Yamamah dan seterusnya. Coba kalau nama anak Anda adalah sebaliknya, apa yang akan Anda katakan kepadanya? Silakan Anda mikir sebelum anak Anda benar-benar bertanya. (Izzudin Karimi)