Ringkasan dan Perhatian:

Sebagai ringkasan dari apa yang telah disebutkan terdahulu, maka bagi setiap orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala, ia akan mengetahui kewajiban bagi para wanita yang beriman, untuk mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh beserta semua perhiasan yang melekat padanya. Hal itu berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an, sunnah, petunjuk qiyas yang benar serta pertimbangan kaidah-kaidah umum syar’i yang kuat. Oleh karenanya, apa yang dilakukan para wanita yang beriman, mulai dari masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai pada hari ini, baik di jazirah Arab maupun di negara-negara muslim lainnya, adalah sebagai bukti telah diberlakukannya kewajiban mengenakan hijab ini, dan bahwa membuka muka sebagai fenomena yang terlihat di berbagai belahan negara-negara muslim pada umumnya, merupakan langkah awal menuju pelepasan pakaian dari tubuh wanita dan dari semua perhiasannya, sampai akhir ke tingkat tabarruj, keseronokan dan pornografi, yang pada masa kita sekarang lebih dikenal dengan istilah “sufûr”. Juga, bahwa bencana atau mala petaka semacam ini baru terjadi pada permulaan abad ke-14 H, melalui tangan sekumpulan orang-orang Nasrani berkebangsaan Arab, para westernis dari kalangan orang-orang Islam dan orang-orang Islam yang berganti memeluk agama Nasrani. (Untuk keterangan lebih lengkap bisa dilihat pada bab kedua).

Oleh karena itu, maka wajib bagi orang-orang beriman yang istri-istri mereka masih membuka muka atau mengumbar aurat, agar bertakwa kepada Allah Ta’ala, lalu bersegera menutupi tubuh istri-istri mereka dengan jilbab (al-‘abâ’ah atau al-khimâr), yang telah diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Juga, agar mereka mengambil sarana-sarana yang lazim, untuk mengarahkan dan meneguhkan istri-istri mereka, mengingat adanya tanggung jawab yang berlandaskan ghaîrah islâmiyah dan pembelaan terhadap agama yang telah dibebankan, atau diwajibkan oleh Allah ta’ala kepada para wali dari wanita-wanita tersebut. Kemudian, diwajibkan bagi para wanita tersebut untuk mengenakan hijab (al-‘abâ’ah atau al-khimâr), sebagai bentuk ketaatan mereka kepada perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, dan sebagai upaya meneladani istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku Ummahatul Mukminin. Akhirnya, hanya Allah-lah yang menjadi penolong bagi hamba-hambanya yang saleh dan salehah.

Sedangkan sebagai perhatian dan peringatan, maka diwajibkan bagi setiap laki-laki dan perempuan yang beriman untuk mematuhi syariat agama ini, menjauhi berbagai provokasi yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam, baik dari dalam maupun dari luar barisan, yang kesemuanya itu bertujuan menyukseskan proyek westernisasi, memalingkan para wanita yang beriman dari kewajiban memakai hijab, yang merupakan mahkota kesucian dan benteng diri mereka, untuk sebaliknya memilih membuka dan menanggalkannya, serta menjerumuskan mereka dalam dekapan laki-laki lain. Di samping itu, juga agar mereka tidak tertipu atau terpedaya dengan berbagai ucapan-ucapan aneh dan sesat, yang bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an maupun hadis, merusak fondasi-fondasi dasar agama dan menolak tujuan-tujuan syariat, seperti: mencari dan menjaga kesucian dan benteng diri, serta menangkal berbagai gempuran propaganda tabarruj, sufûr (membuka muka/aurat) dan ikhtlât (berbaur antara laki-laki dan perempuan); yang kesemuanya itu telah menimpa negara-negara mereka yang mengkampanyekannya.

Kepada setiap laki-laki dan perempuan yang beriman kita katakan, bahwa telah dimaklumi dari syariat yang suci dan dianut oleh para peneliti kebenaran, bahwa tidak ada satu pun dalil yang benar dan jelas bagi orang-orang yang mengajak sufûr (membuka muka/aurat), dan tidak pula terdapat amalan yang dilakukan secara terus menerus mulai dari zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai peristiwa sufûr ini terjadi di kalangan orang-orang Islam sekitar awal-awal abad 14 H. Kita katakan pula, bahwa semua yang dijadikan dalil oleh orang-orang yang mengajak para wanita agar membuka muka dan kedua telapak tangan (sufûr) itu, tidak terlepas dari tiga hal berikut ini:

  • Pertama, dalil tersebut sahih dan jelas, akan tetapi telah di-mansûkh oleh ayat tentang kewajiban berhijab, sebagaimana yang diketahui oleh orang-orang yang meneliti sejarah terjadinya berbagai peristiwa, yaitu: sebelum tahun ke-5 H. Atau, dalil itu berkenaan dengan kaum wanita tua yang sudah menopouse, atau anak-anak kecil yang belum mengerti tentang aurat wanita.

  • Kedua, dalil tersebut sahih, namun tidak jelas, dan indikasinya tidak tegas di hadapan berbagai dalil-dalil qath’i dalam al-Qur’an dan sunnah, tentang kewajiban menutup muka dan kedua telapak tangan sebagaimana layaknya seluruh tubuh dan perhiasan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengembalikan dalil yang masih samar (mutasyâbih) kepada dalil yang jelas hukum dan kedudukannya (muhkam), adalah cara yang ditempuh oleh para ulama yang mumpuni.

  • Ketiga, dalil tersebut jelas tetapi tidak sahih, yang tidak bisa dijadikan hujjah atau argumen, dan tidak boleh dikonfrontasikan dengan nash-nash sahih lagi jelas, yang senantiasa menunjukkan kewajiban menutup tubuh para wanita dan perhiasan yang dipakainya; dan diantaranya adalah: muka dan kedua telapak tangan.

Demikianlah, di samping itu tidak ada satu pun orang dalam Islam, yang mengatakan diperbolehkannya untuk membuka muka dan kedua tangan, pada saat ada fitnah, agama dalam keadaan lemah dan zaman menjadi rusak. Bahkan, semua orang Islam bersepakat untuk menutup keduanya (muka dan kedua tangan), sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh ulama banyak.

Semua fenomena destruktif ini terjadi pada masa kita sekarang ini. Sehingga, hal itu mengharuskan untuk menutup muka dan kedua tangan bagi kaum wanita, seandainya tidak terdapat dalil-dalil lain.

Adalah suatu pengkhianatan di dalam suatu penukilan, bila menisbatkan perkataan ini kepada orang yang mengucapkannya secara mutlak tanpa batas, demi memperkokoh propaganda yang mengajak para wanita untuk membuka wajah mereka pada saat ini. Padahal, sebagaimana kita saksikan, agama dalam keadaan lemah dan kerusakan menyelimuti negara-negara kaum muslimin.

Sungguh, pada prinsipnya adalah wajib bagi seorang wanita menutup tubuh beserta semua perhiasan yang dipakainya, dan tidak boleh dengan sengaja mengumbar sebagian dari auratnya itu kepada laki-laki lain. Semua itu dilakukan sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, juga terhadap petunjuk para sahabat terhadap istri-istri mereka, sekaligus merupakan amal perbuatan kaum muslimin dalam kurun masa yang sangat panjang. Alhamdulillâhi rabbi al-‘âlamîn.