Dasar Keempat :
Wanita Berdiam dalam Rumah adalah ‘Azîmah Syar’iyah, Sebaliknya bila Keluar Rumah adalah Rukhshah yang Dihitung Sekadarnya.

Pada dasarnya bagi seorang wanita adalah, menetap atau berdiam diri dalam rumah. Hal itu, karena firman Allah Ta’ala:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu“. (QS al-Ahzâb:33)

Jadi hal ini bagi kaum wanita merupakan ‘azîmah syar’iyah (ketentuan syar’i), sedangkan bila mereka keluar rumah adalah sebagai rukhsah (keringanan), yang tidak akan terjadi kecuali dalam keadaan terpaksa (dharûrat), atau dikarenakan adanya suatu keperluan yang mendesak (hâjat).

Oleh karena itu, maka sebagai kelanjutan dari ayat ini Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى

“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu“.(QS. al-Ahzâb:33).

Maksudnya, “Janganlah kalian (kaum wanita) sering keluar rumah dalam keadaan berdandan atau bersolek sebagaimana kebiasaan orang-orang Jahiliyah”.

Perintah untuk tetap berdiam di dalam rumah, adalah sebagai hijab (penutup) bagi kaum wanita, melalui bantuan dinding atau kamar, dari penampilan di hadapan laki-laki bukan muhrim, juga dari ikhtilât (pembauran) antara laki-laki dan perempuan. Jika mereka tampil atau berada di depan laki-laki bukan muhrim, maka wajib bagi mereka untuk memakai hijab, yaitu: dengan mengenakan pakaian yang bisa menutupi seluruh tubuh beserta perhiasan yang sengaja dipakainya (zînah muktasabah).

Barangsiapa yang memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an al- Karim pastilah mendapati, bahwa semua rumah yang dinyatakan oleh ketiga ayat dalam al-Qur’an selalu dinisbatkan atau disandarkan kepada kaum perempuan, padahal rumah-rumah itu sebenarnya milik para suami atau bahkan wali-wali mereka. Namun, penisbatan ini dilakukan tiada lain sebagai penegasan mengenai pentingnya para wanita selalu berada di dalam rumah. Atau intinya, Ia lebih sebagai penisbatan yang menyuruh wanita tetap tinggal dan berada di dalam rumah, bukan sebagai penisbatan tentang hak kepemilikan rumah. Wallâhu a’lam.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu“.(QS. al-Ahzâb:33).

وَاذْكُرْنَ مَايُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ ءَايَاتِ اللهِ وَالْحِكْمَةِ

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu)” .(QS. al-Ahzâb:34)

لاَتُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka“. (QS. ath-Thalâq:1).

Dengan menjaga prinsip ini, maka akan tercapai tujuan-tujuan syariat berikut ini:

  • Pertama, terpeliharanya apa yang menjadi tuntutan fitrah, keadaan dari wujud manusia serta syariat Allah, Tuhan semesta alam, berupa pembagian yang adil di antara hamba Allah, yaitu: wanita memegang urusan rumah tangga, sedang laki-laki menangani pekerjaan luar rumah.

  • Kedua, terpeliharanya apa yang menjadi kebutuhan syariat, bahwa masyarakat Islam adalah komunitas individualistik (dalam artian positif —penerj), bukan komunitas yang saling membaur. Bagi kaum wanita, mereka memiliki komunitas yang khusus bagi mereka sendiri, yaitu: di dalam rumah. Sedangkan bagi kaum laki-laki, mereka juga memiliki komunitas masyarakat tersendiri, yaitu: di luar rumah.

  • Ketiga, menetapnya seorang wanita dalam lingkungan tugas kehidupannya, yaitu: rumah, dapat memberikan kepadanya keuntungan waktu, serta kesadaran untuk melaksanakan berbagai macam fungsinya di dalam rumah, yaitu: sebagai istri, ibu, penanggung jawab urusan rumah sang suami, serta dapat memenuhi hak-haknya berupa kasih sayang, penghidangan makanan, minuman dan pakaian, juga sebagai pendidik generasi masa depan.

    Terdapat suatu riwayat yang berasal dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    المرأة راعية في بيت زوجها ومسؤولة عن رعيّتها

    “Wanita adalah penanggung jawab di dalam rumah suaminya dan ia akan ditanya atas tanggung jawabnya itu”. Hadis ini telah disepakati kesahihannya.

  • Keempat, menetap dan berdiam di dalam rumah, seorang wanita bisa memenuhi kewajibannya terhadap Allah Ta’ala,, seperi shalat lima waktu dan yang lainnya. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban lagi bagi seorang wanita di luar rumahnya. Ia tidak dibebani dengan kewajiban mengikuti shalat Jum’at maupun shalat berjama’ah. Bahkan, untuk memenuhi kewajiban ibadah haji, baginya disyaratkan adanya seorang muhrim yang ikut menyertainya.

    Terdapat suatu riwayat berasal dari Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sewaktu menunaikan ibadah haji berkata kepada istri-istrinya:

    هذه ثم ظهورُ الْحُصْرِ

    “Inilah, kemudian berada di atas alas duduk.”(HR. Ahmad dan Abu Daud).

    Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya berkata, “Maksudnya, kemudian tetaplah berada di atas alas duduk dan janganlah kalian keluar rumah”.

    Syeikh Ahmad Syakir rahimahullah ketika mengomentari hadis yang terdapat dalam kitab “Umdat at-Tafsîr” (3/11) ini, beliau berkata, “Jika hal ini adalah larangan menunaikan ibadah haji setelah haji yang wajib, padahal haji merupakan ibadah atau upaya pendekatan kepada Allah Ta’ala yang paling mulia, maka bagaimana dengan yang diperbuat oleh kalangan wanita, yang mengaku Islam pada masa sekarang ini? Seperti pergi kesana kemari di dalam negerinya sendiri, bahkan sampai melakukan perjalanan ke negeri kafir sendirian tanpa ditemani muhrimnya. Atau, mungkin bersama suami atau muhrimnya, namun seolah tidak ada yang menemaninya! Lalu, di manakah keberadaan kaum laki-laki tersebut?!”.

    Begitu pula, seorang wanita tidak berkewajiban untuk berjihad. Untuk itu, tidak ada sama sekali panji yang dikibarkan untuk kaum wanita, baik itu pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau masa para khalifah setelahnya. Juga, tidak pernah ada penugasan kepada seorang wanita untuk mengikuti perang, atau suatu tugas peperangan. Sebaliknya, mencari bantuan dan tambahan pasukan dari tenaga kaum wanita dalam peperangan, menunjukkan lemahnya umat dan rusaknya konsepsi mereka.

    Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, bahwasanya ia bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa laki-laki diperbolehkan mengikuti perang sedang kami tidak, padahal kami berhak memperoleh separoh bagian dari warisan? Lalu, Allah Ta’ala menurunkan ayat yang berbunyi:

    وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ

    “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain”( QS. an-Nisâ’:32) (HR. Ahmad, Hakim dan yang lainnya dengan sanad sahih)

    Syeikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam rangka mengomentari hadis yang terdapat dalam kitab “Umdat at-tafsîr” (3/157) ini, beliau berkata, “Hadis ini membantah para pembohong yang suka mengada-ada pada masa kita, yaitu orang-orang yang berambisi menyebarkan fitnah di tengah-tengah kaum mukminin, dengan mengeluarkan wanita dari tempat yang menjaga kehormatannya, yang sebenarnya justru merupakan perintah dari Allah Ta’ala, untuk selanjutnya memasukkannya ke dalam sistem kemiliteran (ketentaraan) dalam keadaan terbuka lengan dan pahanya, terbuka tubuh bagian depan dan belakangnya, mengumbar kehormatannya dan tak tahu malu. Dengan demikian, mereka sebenarnya menginginkan kesenangan terlaknat di kalangan para tentara muda yang memang tidak boleh berhubungan dengan kaum wanita dalam dinas kemiliteran mereka, karena meniru kemaksiatan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang barat. Semoga atas diri mereka ditimpakan laknat Allah yang terus menurus hingga hari kiamat nanti.

  • Kelima, merealisasikan apa yang menjadi target syariat berupa upaya untuk menjaga kemuliaan dan kesucian seorang wanita dari dosa, di samping memperhitungkan pelaksanaannya terhadap pekerjaannya dalam tugas-tugas rumah tangga.

Dengan demikian jelaslah, bahwa bekerjanya seorang wanita di luar rumah itu berarti mencampuri apa yang menjadi kekhususan kaum laki-laki, di mana hal itu bisa merusak dan menghancurkan semua tujuan ini. Hal itu berarti pula merampas kesempatan kaum pria dalam tugasnya, juga menghilangkan peranannya sebagai pemimpin atas wanita serta melanggar hak-haknya. Karena, seorang laki-laki mau tidak mau harus hidup dalam dua dunia:

  • Pertama, dunia untuk mencari dan mengusahakan rezekinya yang diperbolehkan, serta berjuang dalam mencari penghidupan dan membangun kehidupan, yang kesemuanya itu berada di luar rumah.

  • Kedua, dunia ketenangan, kesenangan dan kedamaian, dan ini berada di dalam rumah.

Begitu seorang wanita keluar rumah, maka akan menimbulkan kerancuan dalam dunia seorang laki-laki secara internal, dan mampu menghilangkan ketenangan dan kesenangan yang dapat merusak aktivitas eksternalnya. Bahkan, bisa menyulut berbagai problem di antara mereka berdua yang berdampak pada terjadinya keretakan rumah tangga. Oleh karenanya, terdapat suatu ungkapan mutiara yang mengatakan:

الرجل يجني والمرأة تبني

“Laki-laki yang menuai, dan wanita yang membangun”.

Di balik semua itu, berbagai pengaruh yang terjadi pada wanita, adalah sebagai buah atau akibat dari (berbaur) dengan laki-laki lain.

Sesungguhnya Islam adalah agama fitrah, sedang kemaslahatan atau kepentingan umum itu sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan kebahagiaannya. Makanya, tidak diperbolehkan bagi seorang wanita mengerjakan sesuatu, kecuali apa yang sesuai dengan fitrah, tabiat dan jiwa kewanitaannya. Karena wanita adalah istri yang mengemban tugas mengandung, melahirkan dan menyusui, sebagai ibu rumah tangga, pendidik dan pembina bagi anak di dalam rumah, yang merupakan sekolahnya yang pertama.

Jika prinsip yang berkenaan dengan masalah berdiamnya wanita di dalam rumah ini telah terbukti, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjaga kehormatan wanita pada rumah, melindunginya terhadap syak wasangka atau kecurigaan yang dilontarkan kepadanya, serta mencegah semua bentuk keadaan yang bisa menyingkap auratnya. Hal itu dengan disyariatkannya isti’dzân (meminta izin) pada saat akan masuk rumah demi menjaga pandangan mata.

Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ . فَإِن لَّمْ تَجِدُوا فِيهَآ أَحَدًا فَلاَ تَدْخُلُوهَا حَتَّى يُؤْذَنَ لَكُمْ وَإِن قِيلَ لَكُمُ ارْجِعُوا فَارْجِعُوا هُوَ ازْكَى لَكُمْ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ . لَّيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ مَسْكُونَةٍ فِيهَا مَتَاعٌ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ مَاتُبْدُونَ وَمَاتَكْتُمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin.Dan jika dikatakan kepadamu “Kembali (saja)lah”, maka hendaklah kamu kembali.Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, yang di dalamnya ada keperluanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan. (QS. an-Nûr :27-29)

Hattâ tasta’nisû di sini, bermakna Hattâ tasta’dzinû yang artinya, “Sebelumnya kalian meminta izin dan mengucapkan salam, sehingga kalian diizinkan masuk dan dibalas dengan ucapan ‘Alaikumussalâm.”

Banyak terdapat hadis-hadis sahih yang membolehkan melukai mata orang yang mengintip-intip rumah suatu kaum tanpa seizin mereka. Sesungguhnya tata krama bagi seseorang yang meminta izin, adalah agar ia tidak berdiri tepat di depan pintu rumah. Namun, seharusnya berada di sebelah kanan pintu ataupun sebelah kirinya. Juga, agar ia mengetuk pintu tersebut dengan halus tidak terlalu keras sambil mengucapkan “Assalâmu’alaikum”. Pada saat meminta izin itu, ia hanya diperbolehkan mengulang ucapan salamnya sebanyak tiga kali.

Semua ini dilakukan untuk menjaga aurat kaum muslimin manakala para wanita berada di dalam rumah. Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang malah menyerukan para wanita agar keluar rumah dalam keadaan berdandan, membuka wajah dan membaur dengan kaum laki-laki? Maka, seharusnya kalian —wahai hamba-hamba Allah, tetap komitmen terhadap apa yang telah diperintahkan Allah Ta’ala kepada kalian.

Jika muncul fenomena keluarnya kaum wanita dari rumah bukan karena terpaksa, atau bukan disebabkan oleh suatu keperluan yang mendesak, maka itu merupakan kelemahan kepemimpinan atas wanita, atau bahkan karena kepemimpinan itu telah tiada sama sekali.

Akhirnya, kami menyarankan bagi siapa saja yang berkeinginan menikah, agar menentukan pilihan dengan sebaik-baiknya, dan menghindari untuk memilih wanita yang suka keluar masuk rumah dengan seenaknya, yang memanfaatkan waktu ketiadaan suaminya di rumah karena beberapa urusan, untuk berjalan-jalan atau kesana-kemari. Semua itu bisa ia diketahui melalui tabiat atau watak para wanita tersebut serta bagaimana keluarganya tumbuh berkembang menjadi dewasa.