Permasalahan

Kita akan memaparkan beberapa permasalahan yang perlu banyak mendapat perhatian, yaitu;

Pertama
Aturan shaf jika dua orang

Apabila ada dua orang melakukan shalat, sedang salah seorang dari keduanya menjadi imam, maka bagaimana keduanya berdiri…??

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a, dia berkata, “Suatu hari aku bermalam di rumah bibiku Maimunah, kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat Isya’ kemudian beliau datang dan shalat empat raka’at lalu beliau tidur, kemudian beliau bangkit lagi menunaikan shalat, maka aku datang dari sebelah kirinya –dalam riwayat yang lain, maka aku berdiri di sampingnya- kemudian beliau meindahkanku ke sebelah kanannnya, lalu shalat lima raka’at….(HR. al-Bukhari secara lengkap).

Dan telah berkata al-Bukhari dalam kitabnya bab “Berdiri di sebelah kanan imam dengan sepatu (kaki) sejajar apabila berdua”. Dari sini secara figh beliau berpendapat bahwa seorang makmum berdiri di sebelah kanan imam dengan sepatu (kaki) sejajar, maka tidak diperkenankan salah seorang berdiri lebih ke belakang atau ke depan, dan tidak juga menjauh seperti shalatnya orang-orang dalam shaf. Dan yang demikian karena Ibnu Abbas r.a mengatakan, “Kemudian aku berdiri di sampingnya”, dan ini mengandung pengertian sejajar sebagaimana perkataan Ibnu Hajar al-Asdqalaniy di dalam kitabnya al-Fath.

Kedua
Shalat sendirian di belakang shaf

Apabila seseorang masuk masjid, kemudian didapati manusia telah melakukan shalat, dan dia tidak mendapatkan celah kosong di shaf yang terakhir apa yang harus dia lakukan….??

Maka wajib difahami bahwa tidak dibolehkan bagi seseorang berdiri sendirian di belakang shaf, karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika melihat seseorang shalat sendirian di belakang shaf, kemudian beliau bersabda, “Ulangilah shalatmu”. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Wabishah bin Ma’bad bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam suatu hari melihat seorang laki-laki shalat di belakang shaf sendirian, kemudian beliau memerintahkan agar mengulangi (shalatnya).

Akan tetapi hadits ini mengandung pemahaman bahwa pada saat itu masih ada celah longgar dalam shaf, yang dengannya dia bisa masuk di dalamnya, oleh karenya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar mengulangi karena dia telah menyepelehkan perkara ini padahal dia diperintahkan agar mengisi celah yang longgar dan merapikan shaf bersama orang-orang yang melaksanakan shalat.

Adapun bagi seseorang yang tidak dapat berdiri dalam shaf karena tidak terdahap celah yang longgar, maka dia diperbolehkan shalat berdiri sendirian di belakang shaf karena yang demikian merupakan udzur (halangan) dan Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak akan membebani terhadap seseorang kecuali yang dia mampu, dan tidak diperkenankan baginya menarik salah seorang dari mereka agar berdiri bersamanya, karena yang demikian telah mengharamkan baginya mendapat keutamaan shaf yang terdahulu. Dan perbuatan ini, yaitu menarik, merupakan perbuatan syara’, yang tidak mungkin dilakukan melainkan dengan dalil syar’i, dan tidak ada hadits yang shahih yang menjelaskan perbuatan demikian.

Adapun hadits dengan redaksi, “Apabila telah terlambat bagi salah seorang dari kalian dalam shaf yang telah sempurna, maka tariklah salah seorang agar berdiri di sampingnya.” adalah merupakan hadits lemah tidak boleh dijadikan alasan. (HR. ath-Thabraniy dengan sanad yang lemah, sebagaimana telah dilemahkan oleh al-Albani dalam kitabnya Silsilatul Ahadits adh-Dha’ifah, no. 921, dan beliau berkomentar, “Apabila telah terbukti lemahnya, maka tidak shah lagi ketika itu perkataan yang menyatakan disyari’atkannya menarik seseorang dari shaf agar bershaf dengannya, karena tasyri’ tanpa landasan yang shahih tidak boleh, bahkan wajib baginya menyatu dalam shaf apabila mungkin atau tidak mungkin shalat sendiri dan shalatnya shahih, karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala tidak akan membebani seseorang yang dia tidak mampu melakukannya, adapun perintah mengulangi terfahami apabila dia telah menyepelehkan perkara yang wajib yaitu menyatu bersama shaf dan mengisi celah yang longgar, dan jika dia tidak mendapatkannya maka dia tidak termasuk menyepelehkan.”

Oleh karena itulah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dan shah shalat seorang diri karena udzur (halangan) sebagaimana perkataan al-Hanafiyah. Dan apabila dia tidak mendapatkannya kecuali dia berdiri seorang diri di belakang shaf maka yang lebih utama baginya adalah berdiri seorang diri dan tidak menarik seorang agar membuat shaf dengannya, karena ketika menarik berarti telah menjadikan yang ditarik bergerak.” (al-Ikhtiyaraat, hal. 71).