Bentuk redaksi yang menerangkan Asbab Nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas, jelas mengenai sebab dan terkadang berupa pernyataan yang mengandung kemungkinan. Bentuk pertama ialah jika perawi mengatakan : “Sebab nuzul ayat ini adalah begini” atau menggunakan fa ta’qibiyah (kira-kira seperti “maka” yang menunjukkan urutan peristiwa) yang dirangkaikan dengan kata “turunlah ayat”, sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan. Misalnya ia mengatakan : “Telah terjadi peristiwa begini” atau “Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini”. Dengan demikian kedua bentuk di atas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab turunnya ayat. Contoh-contoh untuk kedua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.
Dan redaksi yang bisa berkemungkinan menerangkan Asbab Nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah jika misalnya perawi menyatakan : “Ayat ini turun mengenai ini”. Yang dimaksud dengan ungkapan seperti ini, bisa jadi tentang Asbab Nuzul ayat dan mungkin juga tentang kandungan hukum ayat tersebut.

Demikian juga jika ia mengatakan : “Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini” atau “Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal begini”. Dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan Asbab Nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menyebutkan sebab turunnya ayat dan mungkin pula menunjukkan hal lain.

Contoh pertama adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya : “Ayat yang berbunyi : “Istri-istri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam” (Albaqarah : 223) turun terkait dengan masalah menggauli istri pada dubur mereka”.

Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair menggugat seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang telah ikut perang Badr bersama Nabi tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi, dimana keduanya mengairi kebun korma dari tempat yang sama. Orang Anshar berkata : “Biarkan airnya mengalir”. Tetapi Zubair menolak. Maka kata Rasulullah : “Airi kebunmu wahai Zubair lalu biarkan air itu mengalir ke kebun tetanggamu”. Orang Anshar itu marah, katanya : “Wahai Rasulullah, apakah karena dia anak bibimu?”. Wajah Rasulullah menjadi merah, kemudian beliau berkata : “Airi kebunmu wahai Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang, lalu biarkan ia mengalir ke kebun tetanggamu”. Rasulullah dengan keputusan ini telah memenuhi hak Zubair, padahal sebelum itu beliau mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran kepadanya dan kepada orang Anshar itu. Ketika Rasulullah dibuat marah oleh orang Anshar, beliau memenuhi hak Zubair secara nyata. Maka Zubair berkata : “Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut, yaitu : “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan..” (Annisa : 65)

Ibnu Taimiyah mengatakan : “Ucapan mereka bahwa ayat ini turun mengenai urusan ini, terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai Asbab Nuzul dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan itu termasuk ke dalam cakupan ayat walaupun tidak ada Asbab Nuzulnya”. Para Ulama berselisih pendapat mengenai ucapan seorang shahabat: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, apakah ucapan seperti ini berlaku sebagai hadits musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari shahabat itu sendiri yang bukan musnad. Al-Bukhari memasukan ke dalam kategori hadits musnad, sedang yang lain tidak memasukkannya. Dan sebagian besar hadits musnad itu menurut istilah atau pengertian ini, seperti Musnad Ahmad dan lain-lain. Berbeda halnya bila shahabat menyebutkan sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat. Bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan seperti ini ke dalam hadits musnad.

Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan menyebutkan : “Telah maklum dari kebiasaan para shahabat dan tabi’in bahwa apabila salah seorang dari mereka berkata : “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka yang dimaksud ialah ayat itu mengandung hukum urusan ini, bukan urusan ini yang menjadi sebab penurunan ayat. Pendapat shahabat ini termasuk ke dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat, bukan jenis pemberitaan (penukilan) mengenai sesuatu kenyataan yang terjadi.
Wallahu A’lam

(Abu Maryam Abdusshomad, diambil dari kitab Mabahits Fii Ulum Al-qur’an oleh : Syaikh Manna’ Al-qur’an-Qatthan (edisi indonesia))