Dasar kelima : Ikhtilât (Berbaur) antara Laki-Laki dan Perempuan Menurut Syara’ adalah Haram

Sungguh ‘iffah (kesucian) merupakan bentuk hijab yang bisa dirusak oleh adanya pembauran antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Islam berusaha memisahkan antara perempuan dan laki-laki lain (bukan muhrimnya). Komunitas muslim sebagaimana telah dituturkan sebelumnya, merupakan komunitas yang bersifat personal (individualistik) dan tidak berpasangan. Dalam komunitas ini, laki-laki memiliki dunianya sendiri, dan begitu pula perempuan juga memiliki masyarakatnya sendiri. Kaum perempuan dalam komunitas ini tidak diperbolehkan memasuki kawasan laki-laki, kecuali dalam keadaan terpaksa atau karena suatu kebutuhan yang bersifat syar’i.

Semua ini dimaksudkan demi menjaga kehormatan, keturunan maupun keutamaan, jauh dari kecurigaan dan kehinaan, serta tidak memalingkan perempuan dari tugas-tugas pokoknya di dalam rumah. Karena itu, pembauran antara laki-laki dan perempuan diharamkan dalam dunia pendidikan, pekerjaan, forum konferensi, seminar maupun dalam berbagai perkumpulan, baik yang bersifat umum maupun khusus dan lain sebagainya. Hal itu, mengingat ia berpotensi untuk merusak kehormatan, mendatangkan penyakit hati dan bisikan-bisikan nafsu, bersikapnya laki-laki seperti perempuan dan perempuan seperti laki-laki, menyebabkan hilangnya rasa malu, sifat ‘iffah dan kesopanan, serta rasa ghaîrah.

Oleh karena itu, kaum muslimin tak mengenal sebelumnya dengan ikhtilât (pembauran) antara kaum wanita mereka dengan kaum pria yang bukan muhrimnya. Pengaruh ikhtilât pertama kali mencemari negeri Islam melalui sekolah-sekolah internasional yang didirikan oleh pihak kolonialis asing. Sekolahan ini pertama kali dibuka di negeri Islam, yaitu: di Lebanon. Sebagaimana hal itu telah dipaparkan dalam buku “Al-Madâris al-Isti’mâriyyah –al-Ajnabiyyah al-‘Alamiyyah- Târîkhuhâ wa Mâkhâthiruhâ ‘ala al-Ummah al-Islâmiyyah” (Sekolah-sekolah kolonial asing internasional, sejarahnya dan bahayanya terhadap umat Islam).

Secara historis telah diketahui, bahwa yang demikian itu merupakan salah satu media yang paling kuat untuk menaklukkan dan menundukkan rakyat, dengan meruntuhkan sendi-sendi kemuliaannya serta menjauhkannya dari unsur-unsur keutamaan. Di samping itu, secara historis juga diketahui, bahwa penampilan seronok dan pembauran antara laki-laki dan perempuan, termasuk faktor penyebab terbesar terjadinya keruntuhan kebudayaan dan hancurnya negara, sebagaimana hal itu telah terjadi pada kebudayaan Yunani dan Romawi. Begitu pula halnya dengan hukuman yang ditimpakan terhadap hawa nafsu dan aliran-aliran yang menyesatkan. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Fatâwâ 13/182 pernah berkata, “Sesungguhnya kehancuran Daulah Bani Umayyah itu dikarenakan oleh al-Ja’d (bin Dirham), yang mengingkari sifat-sifat Allah, di samping terdapat pula faktor-faktor penyebab lainnya”.

Dalam kitab “At-Thuruq al-Hukmiyyah” hal. 324-326, Ibnu al-Qayyim menyebutkan antara lain: “Termasuk dalam hal ini pemerintah wajib melarang terjadinya ikhtilât (pembauran) antara laki-laki dengan perempuan di pasar-pasar, tempat-tempat umum (terbuka) dan tempat-tempat perkumpulan kaum laki-laki.”

Seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap semua itu. Sebab, hal itu sangat besar fitnahnya. Nabi r bersabda:

ما تركت بعدي فتنة أضرّ على الرجال من النسآء

“Aku tidak meninggalkan setelahku satu pun fitnah yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki daripada fitnahnya para wanita”.

Dalam hadis lain disebutkan, bahwasanya beliau bersabda:

لكنّ حافّات الطريق

“Sungguh kalian, para wanita, adalah yang memenuhi dan mengelilingi jalanan”.

Pemimpin juga wajib mencegah kaum wanita untuk keluar rumah dalam keadaan berdandan dan berhias. Juga, melarang mereka agar tidak mengenakan pakaian yang transparan, seperti: pakaian yang longgar tapi sangat tipis. Serta, melarang agar mereka tidak bercengkrama dengan kaum lelaki di tengah jalan; dan begitu pula sebaliknya.

Jika pemimpin tersebut melihat perlu adanya tindakan merusak pakaian seorang wanita tersebut —dengan tinta atau yang sejenisnya— manakala ia berhias, berdandan dan keluar rumah, maka dalam masalah ini, sebagian ahli fikih memperbolehkan dan membenarkan. Dan, ini merupakan sanksi materiil yang paling ringan.

Begitu pula, boleh bagi seorang pemimpin menahan atau memenjarakan seorang wanita, bila terlalu sering keluar rumah, apalagi jika ia keluar dalam keadaan berhias atau berdandan menor. Bahkan, membiarkan kaum wanita dalam keadan semacam itu, berarti membantu mereka untuk terjerumus dalam lembah dosa dan kemaksiatan. Dan, Allah nanti akan meminta pertanggung jawaban seorang pemimpin atas semua yang dilakukan itu.

Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu, pernah melarang kaum wanita agar tidak berjalan di jalan kaum laki-laki, dan membaur dengan mereka di jalanan. Maka, bagi seorang pemimpin seharusnya mencontoh khalifah Umar radhiallahu ‘anhu dalam masalah ini.

Seorang ulama bernama al-Khallal dalam kitabnya “al- Jâmi’” berkata, “Muhammad bin Yahya al-Kahhal telah mengabariku, bahwasanya ia telah berkata kepada Ayahnya Abdullah, “Aku melihat seorang lelaki nakal bersama seorang wanita?” Abdullah pun berkata, “Cegahlah ia”. Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

أن المرأة إذا تطيبت وخرجت من بيتها فهي زانية

“Sesungguhnya seorang wanita, jika berhias lalu keluar rumah, maka ia adalah seorang pezina”.

Seorang pemimpin juga harus melarang seorang wanita —bila memakai bau dupa—, agar tidak mengikuti shalat Isya’ di mesjid. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

اْلمَرْأَةُ َإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar (rumah), maka setan bergegas mendekatinya”.

Tidak syak lagi, bahwa memberi kesempatan kepada kaum wanita berbaur dengan kaum laki-laki, adalah asal muara timbulnya segala petaka dan kejahatan. Ia termasuk salah satu penyebab utama diturunkannya hukuman secara umum, sebagaimana ia merupakan salah satu penyebab hancurnya urusan, baik yang umum maupun yang khusus. Berbaurnya kaum laki-laki dengan kaum wanita adalah sebab terjadinya banyak praktek prostitusi atau perzinaan, serta merupakan salah satu faktor terjadinya kematian massal dan berbagai wabah yang berkepanjangan.( Penyakit Aids dan lainnya.)

Ketika para wanita tuna susila (WTS) membaur dengan bala tentara nabi Musa ‘alaihissalam, dan menyebar di tengah-tengah mereka perbuatan mesum, maka seketika, Allah Ta’ala menimpakan wabah kepada mereka. Akibatnya, hanya dalam satu hari saja sekitar tujuh puluh satu ribu nyawa melayang. Kisah ini sudah sangat masyhur dalam kitab-kitab tafsir.

Di antara pemicu utama terjadinya kematian massal, adalah banyaknya praktek perzinaan. Hal itu disebabkan karena para wanita dibiarkan membaur dengan kaum laki-laki, dan berjalan dalam keadaan berdandan dan berhias diri di tengah-tengah mereka. Jika saja para pemimpin atau pemegang pemerintahan mengetahui dampak kerusakan dunia dan rakyat yang disebabkannya —sebelum kerusakan agama—, niscaya mereka akan sangat melarang munculnya fenomena-fenomena semacam itu.” Demikianlah yang dikatakan oleh al-Khallal.

Oleh karena itu, semua faktor yang bisa mengakibatkan munculnya fenomena pembauran antara laki-laki dan perempuan, dan menghapus sunnah untuk saling menjauhi di antara mereka diharamkan dalam agama. Di antara hal-hal yang diharamkan itu antara lain:

  • Diharamkan mendatangi wanita yang bukan muhrim, lalu berkhalwat atau berduaan dengannya. Hal itu mengacu pada banyaknya hadis masyhur dan sahih yang menyatakan tentang hal itu. Semisal sopir pribadi, pembantu rumah tangga, dokter atau selain mereka yang berduaan saja dengan seorang wanita. Bahkan, terkadang wanita tersebut melakukannya berpindah-pindah dari yang satu kepada yang lainnya. Semisal, ia berkhalwat atau berduaan dengan pembantu rumah tangganya ketika berada di rumah, lalu dengan sopir pribadinya ketika berada dalam mobil, dan dengan seorang dokter ketika sedang menjenguk pasien. Dan begitulah hingga seterusnya!!

  • Diharamkan bagi seorang wanita bepergian atau melakukan perjalanan jauh, tanpa ditemani oleh muhrimnya. Adapun hadis-hadis yang menyinggung masalah ini kebanyakan mutawatir dan cukup terkenal.

  • Diharamkan bagi laki-laki maupun perempuan melihat dengan sengaja kepada lawan jenisnya, mengingat semua itu telah dinyatakan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

  • Diharamkan bagi laki-laki untuk mendatangi atau menemui perempuan, walaupun laki-laki tersebut paman suaminya sendiri, yang notebenenya masih kerabat. Lalu, bagaimana dengan pertemuan keluarga yang sifatnya membaur antara laki-laki dan perempuan, padahal ketika itu para wanita memakai perhiasan, memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang bisa menimbulkan fitnah, merendahkan atau memperhalus suaranya, bercanda tawa dan lain sebagainya…?

  • Diharamkan bagi seorang laki-laki menyentuh tubuh wanita yang bukan muhrimnya (ajnabiyah), meskipun sebatas bersalaman untuk memberi salam.

  • Diharamkan bagi laki-laki maupun perempuan untuk saling menyerupai kepada lawan jenisnya.

  • Disyariatkan bagi perempuan untuk menunaikan ibadah shalat di dalam rumahnya, karena itu termasuk ciri khas rumah yang bernuansa Islami. Seorang perempuan yang melakukan shalat di rumahnya sendiri, itu lebih baik daripada ia shalat di dalam mesjid milik kaumnya. Sedangkan ia shalat di mesjid milik kaumnya, itu masih lebih baik daripada ia melakukannya di dalam mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu sebagaimana telah tersebut dalam hadis.

Dari sini, maka gugurlah kewajiban shalat Jum’at bagi seorang wanita. Sedangkan, ia diperbolehkan pergi ke mesjid sesuai dengan ketentuan berikut ini:

  • Ketika dirasa aman, tidak ada fitnah yang akan ditimbulkan olehnya, ataupun fitnah yang akan menimpanya.

  • Kehadirannya itu tidak menyulut atau menimbulkan terjadinya hal-hal yang dilarang syariat.

  • Kehadirannya tidak berdesak-desakan dengan kaum lelaki, baik pada saat di tengah jalan maupun ketika berada di dalam mesjid.

  • Ketika ia keluar dengan penampilan seadanya, tanpa berdandan dan memakai wangi-wangian.

  • Memakai hijab tanpa berdandan atau mengenakan perhiasan.

  • [op]Ada pintu masuk dan keluar khusus bagi kaum wanita dalam mesjid-mesjid tersebut. Hal itu sebagaimana secara jelas telah disebutkan dalam kitab Sunan Abî Daud dan yang lainnya.
  • Shaf-shaf jama’ah wanita berada di belakang jama’ah laki-laki.

  • Sebaik-baik shaf bagi jama’ah wanita adalah yang paling belakang; berbeda dengan jama’ah laki-laki.

  • Jika imam terlupa dalam shalatnya, maka bagi jama’ah laki-laki bertasbih, sedangkan bagi jama’ah perempuan cukup menepuk tangannya.

  • Jama’ah wanita keluar dari mesjid sebelum jama’ah laki-laki. Dan, hendaknya jama’ah laki-laki menunggu hingga jama’ah wanita pulang ke rumahnya masing-masing. Hal itu sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiallahu ‘anha dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan lainnya.

Dan masih banyak lagi ketentuan-ketentuan lain, yang menganjurkan agar antara kaum laki-laki dan perempuan saling dipisah. Wallâhu a’lam.

Perlu diingatkan di sini, bahwa para penyeru liberalisme itu memiliki tahapan-tahapan awal yang tampaknya ringan, padahal membawa tipu muslihat yang besar. Di antaranya, dalam meletakkan fondasi dasar munculnya ikhtilât (pembauran) antara laki-laki dan perempuan. Mereka memulai itu semenjak dari taman kanak-kanak, acara-acara pers, rubrik perkenalan lewat surat kabar, pemberian setangkai bunga dari kedua belah pihak pada acara-acara pertemuan.

Demikianlah, di antara berbagai faktor untuk merusak batas pemisah ikhtilât (pembauran) antara laki-laki dan perempuan, dengan tahap-tahap awal seperti ini, yang cenderung dianggap remeh oleh kebanyakan orang.

Maka, semestinya para pemeluk agama Islam takut kepada Allah Ta’ala terhadap anak-anak di bawah asuhan mereka, dan hendaklah mereka menghitung semua langkah kaki mereka dalam kehidupan ini, menjaga tanggung jawab atas amanat Allah di atas pundak mereka, serta mewaspadai dengan sangat tindakan sembrono dan mengikuti fitnah “istidrâj”( Istidrâj (jawa: nglulu): adalah pemberian ‘nikmat’ yang bisa menjerumuskan seseorang ke lembah kejelekan dan kebinasaan tanpa dia menyadarinya.) yang mengarah pada kesesatan. Setiap orang mestilah mengintrospeksi dirinya masing-masing.