Dasar Kesembilan : Kewajiban Menjaga Anak Sejak Dini

Di antara buah hasil yang amat penting dari pernikahan adalah melahirkan anak-anak. Mereka merupakan amanat bagi para wali, baik orang tua maupun yang lainnya. Wajib bagi para wali itu menuntut syariat untuk melaksanakan amanat mendidik-anak-anak itu sesuai dengan petunjuk Islam dan mengajarkan pengetahuan agama serta urusan dunia.

Langkah awal yang harus dilakukan adalah menanamkan akidah, keimanan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari kebangkitan, qadha’ dan qadar, baik dan buruknya. Memperkokoh tauhid yang murni ini pada diri anak sehingga dapat meresap ke dalam hatinya, dan menebarkan rukun Islam pada diri mereka. Berwasiat agar menegakkan salat, senantiasa mengasah akal dan mengembangkan naluri mereka dengan akhlak yang mulia, sopan santun serta menjaga mereka dari pergaulan yang tidak baik.

Prinsip-prinsip pendidikan ini merupakan suatu keharusan yang perlu diketahui dalam agama. Karena urgensinya dibahas oleh para ulama dalam buku-buku tersendiri dan mereka ikuti dengan pembahasan hukum-hukum berkenaan dengan kelahiran anak dalam kitab-kitab fikih dan lain sebagainya.

Pendidikan adalah sunah para nabi dan akhlak para wali (orang-orang pilihan).

Lihat saja misalnya sebuah nasihat dan pesan yang sarat dan penuh manfaat dari Luqman kepada putranya:

وَإِذْقَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَتُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ . وَوَصَّيْنَا اْلإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَىَّ الْمَصِيرُ . وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَىَّ ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ . يَابُنَيَّ إِنَّهَآ إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي اْلأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ . يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَآأَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُورِ . وَلاَتُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَتَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ . وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:”Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(Luqman berkata):”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).
Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
(QS. Luqman: 13-19).

Nasihat secara tertib ini mencakup dasar-dasar pendidikan yang dapat dijadikan acuan bagi orang tua dalam mendidik anak. Tentu saja hal ini sangat jelas bagi orang yang merenungkannya

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim:6).

Anak adalah bagian dari bapak, maka termasuk dalam kata “Anfusakum”. Anak juga termasuk anggota keluarga, maka tercakup dalam kata “Wa Ahlikum”.

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa dalam menafsirkan ayat di atas, ia berkata:

عَلِّمُوْهُمْ وَأَدِّبُوْهُمْ

“Ajari dan didiklah mereka” (HR. Ibnu Abi Dunya dalam bab al ‘Iyal: 1/495).

Keturunan yang saleh adalah dari doa kaum mukminin. Allah berfirman:

وَالَذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لنَا من أزْواجِنَا وذُرِّيَاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ واجْعلنَا للمتِّقينَ إِمَاماً

Dan orang-orang yang berkata:”Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai kesenangan hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Furqan: 74).

Hasan al Bashri berkata: “Seseorang merasa senang melihat istri dan anaknya taat kepada Allah Ta’ala, adakah sesuatu yang dapat menyenangkan hatinya selain melihat istri dan anaknya dalam keadaan taat kepada Allah Ta’ala”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad Dunya, dalam kitab al ‘Iyal: 2/617.

Disebutkan dalam sebuah hadis sahih dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Orang laki-laki bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya, dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya atas mereka.”

Nash-nash di atas jelas-jelas menunjukkan akan kewajiban mendidik anak dalam Islam dan itu merupakan amanat yang harus dipikul di atas pundak para walinya. Juga merupakan hak anak-anak-anak atas kedua orang tua atau wali-wali mereka. Bahkan mendidik anak termasuk amal saleh yang dapat mendekatkan kedua orang tua kepada Allah subhanahu wata’ala, yang pahalanya terus mengalir seperti pahala sedekah jariah. Disebutkan dalam hadis yang sahih, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ: عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٌ صَالحِ ٌيَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ

“Apabila anak Adam mati maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga perkara; ilmu yang bermanfaat, anak saleh yang mendoakannya atau shadakah jariah”.

Dan orang yang melalaikan amanat ini, sungguh berdosa dan berlaku maksiat kepada Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan hamba-Nya.

Diriwayatkan dari Humaid adh Dhabbi, ia berkata: “Kami mendengar bahwa ada kaum-kaum yang telah diseret oleh anak-anaknya ke dalam jurang kehancuran”. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al ‘Iyal: 2/622.

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتُصْفِحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. at-Taghabun: 14).

Di antara permusuhan mereka kepada kedua orang tuanya adalah kelalaian mereka dalam mendidik anak sehingga berakibat mendatangkan dosa.

Qatadah bin Di’amah as Sadusi berkata: “Pernah dikatakan bahwa jika seorang anak telah menginjak balig, sementara orang tuanya tidak mengawinkannya sehingga sang anak melakukan kemungkaran (zina) maka sang ayah telah berdosa”. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad Dunya, dalam kitab al ‘Iyal: 1/172.

Disebutkan oleh Muqatil bin Muhammad al ‘Ataki, ia berkata: “Aku, ayah dan saudaraku mendatangi Abu Ishak—Ibrahim al Harbi—, lalu Ibrahim al Harbi bertanya kepada ayahku: Apakah mereka anak-anak laki kamu?, “benar”, jawab ayah. Ia berkata: Berhati-hatilah, jangan sampai mereka melihatmu melakukan perbuatan yang dilarang Allah subhanahu wata’ala sehingga wibawamu jatuh di mata mereka”, seperti yang disebutkan dalam kitab Shafwatu ash Shafwah, karangan Ibnu al-Jauzi.

Tindakan lalai para wali seperti yang demikian ini mengharuskan pencopotan hak perwalian atas dirinya, dan hendaknya anak dibawahi oleh wali yang saleh. Sebagaimana telah ditentukan dalam suatu ketetapan kaidah hukum, bahwa orang yang kafir atau fasik tidak dapat menjadi wali. Hal itu disebabkan karena akibat yang akan ditimbulkan sangat membahayakan terhadap moral dan agama anak-anak yang diasuhnya.

Masalahnya di sini, dalam mendiagnosis tahap-tahap awal yang membahayakan dan langkah-langkah dini yang menyesatkan, yang dihadapi oleh anak-anak dimana mereka mencapai masa Tamyiz (kemampuan membedakan) antara manfaat dan mudarat. Tentu saja, masa tamyiz (kemampuan membedakan) ini bagi setiap anak berbeda satu dengan yang lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing.

Tahap-tahap awal inilah yang sering diremehkan dikarenakan faktor emosional dan perasaan, sehingga sang anak sudah terlanjur menikmati hal-hal yang bahaya tersebut dan telah mendarah daging dengan dirinya, serta memecah dinding pembatas antara dirinya dan hal-hal yang membahayakan atau menyesatkannya. Akibatnya, orang tua dan para wali menjadi risau dan merasa bingung serta berupaya untuk mengembalikan anak-anaknya ke jalan yang benar. Seakan-akan dia Menyesalinya, seperti yang tersebut dalam firman Allah:

يَاحَسْرَتَى عَلَى مَافَرَّطتُ فِي جَنْبِ اللهِ

“Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah. (QS. az-Zumar: 56).

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kami untuk menjelaskan prinsip ini, yang berlandaskan pada fitrah, akidah yang benar dan akal sehat, dalam koredor kitab dan sunah, juga untuk menarik perhatian para orang tua maupun wali. Pada gilirannya dapat menjadi media pendidikan tahap awal bagi anak dan dapat menjadi perisai dari tahap-tahap awal yang membahayakan urusan dunia maupun agama mereka.

Di antara tahap-tahap awal atau permulaan-permulaan yang dapat membahayakan akhlak mulia, apalagi terhadap eksistensi hijab adalah sebagai berikut:

  • Pengasuh yang fasik. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهًوِدَانِهِ، أَوْ يُنَصِرَانِهِ، أَوْ يُمَجِسَانِهِ

    “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari dan Muslim).

    Hadis mulia ini menjelaskan tentang pengaruh kedua orang tua dalam mewarnai anak, dan potensinya dalam menyelewengkan fitrah anaknya ke dalam kekafiran dan kefasikan. Dan ini merupakan permulaan langkah awal pendidikan.

    Seorang ibu misalnya, jika ia tidak mengenakan hijab, berikhtilat, mempertontonkan kecantikan dirinya, membaurkan dirinya dengan komunitas laki-laki lain dan tindakan-tindakan lainnya, maka tindakan dan sikapnya ini menjadi pendidikan praktis bagi sang anak untuk berlaku menyimpang, dan dapat memalingkan mereka dari pendidikan yang baik, dan unsur-unsur yang menjadi tuntutannya seperti hijab, kesopanan, kesucian dan rasa malu. Inilah yang disebut pendidikan fitrah (naluri).

    Di samping itu, pembantu rumah tangga juga mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan baik dan buruknya anak. Atas dasar inilah para ulama melarang seorang kafir maupun fasik mengasuh anak, karena dikhawatirkan akan dapat membahayakan anak dari sisi moral, agama dan kepatuhannya.

  • Ikhtilat dalam tempat tidur antara anak laki-laki dan perempuan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَلاَةِ لِسَبْع، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْر، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي المَضَاجِعِ

    “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mendirikan salat jika menginjak usia tujuh tahun. Apabila menginjak sepuluh tahun tidak melakukan salat maka pukullah mereka, dan pisahkanlah ranjang mereka. (HR. Ahmad dan Abu Daud). Hadis ini merupakan larangan akan ikhtilat sejak dini. Apabila sang anak telah menginjak usia sepuluh tahun maka wajib bagi orang tua atau wali memisahkan tempat tidur mereka. Hal ini dimaksudkan untuk menanamkan kesucian dan kehormatan pada diri mereka dan agar terhindar dari malapetaka hawa nafsu sebagai akibat dari ikhtilat yang terjadi pada usia dini. Barangsiapa yang bermain-main di sekitar tempat terlarang, dikhawatirkan akan terjatuh di dalamnya. Ibrahim al Harbi, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi dalam Dzammu al Hawa berkata: “Awal mula kerusakan anak-anak adalah timbul dari pergaulan antara mereka sendiri”.

  • Ikhtilat di taman kanak-kanak. Hal ini merupakan awal mula seorang anak mengenal ikhtilat di luar rumah. Hukumnya tentu saja dilarang, karena ikhtilat di ranjang dengan sesama saudara di bawah pengawasan langsung orang tua di bawah satu atap hukumnya haram, maka tentu saja ikhtilat di luar rumah tanpa pengawasan langsung dari orang tua adalah dilarang. Lalu bagaimana dengan ikhtilat di luar rumah! Oleh karena itu, hendaknya orang tua takut kepada Allah subhanahu wata’ala untuk memasukkan anaknya ke dalam pendidikan yang penuh dengan ikhtilat.

  • Memberikan hadiah sekuntum bunga. Tindakan ini merupakan langkah awal dari tindak penanggalan hijab dan tabarruj, awal mula dari hilangnya rasa malu dan lenyapnya rasa cemburu. Hal itu akan tertanam ke dalam jiwa anak-anak dan merebak pada rekan-rekan perempuan sebayanya bagaikan menjalarnya api di tengah tumbuh-tumbuhan yang kering. Maka takutlah kalian kepada Allah atas anak-anak perempuan Anda.

  • Awal mula tabaruj (mempertontonkan diri) dalam berpakaian. Berupa mengenakan pada anak yang bisa mulai membedakan jenis pakaian yang dilarang untuk dikenakan oleh wanita dewasa. Seperti pakaian yang sempit, tipis atau pakaian yang tidak menutup seluruh badan. Seperti pakaian mini, atau berwarna-warni, bergambar salib, pakaian model pria, atau menyerupai gaun orang kafir dan pakaian-pakaian lainnya yang seronok dan tidak sopan, yang menurut pengamatan dikenakan oleh para pelacur, yang memperjual harga dirinya. Semoga Allah memberikan keselamatan dan kesudahan yang baik bagi kita.