Salah satu karasteristik syariat Islam adalah keluwesan atau fleksibilitas, salah satu kaidah syariat berkata, “Jika perkara itu sempit maka hukumnya lapang, jika perkara itu lapang maka hukumnya sempit.” Artinya, kondisi sempit dan sulit melahirkan keluasan dan kelapangan dalam hukum, namun jika kondisi kembali normal maka hukum itu akan kembali menyempit seperti sedia kala.

Kaidah di atas berpijak kepada dalil-dalil, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (Al-Baqarah: 185), firman Allah Ta’ala, “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan kesempitan di dalam agama untukmu.” (Al-Haj: 78), firman Allah Ta’ala, “Bertakwalah kepada Allah semampumu.” (At-Taghabun: 16).

Sabda Nabi saw, “Jika aku melarang kalian dari sesuatu maja jauhilah dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sebatas kesanggupanmu.” (Muttafaq alaihi dari Abu Hurairah).

Sabda Nabi saw, “Sesungguhnya agama itu mudah dan agama tidak dipersulit kecuali ia akan mengalahkan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Kondisi safar (bepergian) tidak sama dengan kondisi iqamah (tinggal), kondisi safar secara umum lebih sulit dan lebih repot daripada kondisi iqamah, dari sini maka syariat yang luwes ini mempertimbangkannya dengan memberikan rukhshah (keringanan) bagi musafir dalam safarnya, di antaranya adalah rukhshah dalam mendirikan shalat berupa qashar dan jamak.

Qashar

Qashar secara bahasa berarti meringkas, secara istilah adalah meringkas shalat yang jumlah rakaatnya empat dengan melaksanakan setengahnya.

Dasar hukum qashar:

1- Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila kamu telah bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa bagimu jika kamu mengqashar shalat jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (An-Nisa`: 101).

Faidah, firman Allah, “Jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.” Bagaimana jika keadaannya sudah aman, tidak ada lagi ketakutan terhadap serangan dan gangguan mereka, apakah qashar masih berlaku?

Jawabannya adalah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ya’la bin Umayyah yang bertanya kepada Umar bin al-Khatthab, “Bagaimana pendapatmu tentang qashar di hari ini, bukankah Allah berfirman, ‘Jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.’ ketakutan itu sudah tidak ada lagi?” Maka Umar menjawab, “Aku menanyakan hal yang sama kepada Nabi saw, maka beliau bersabda, ‘Sedekah dari Allah, terimalah sedekahNya.

2- Ibnu Umar berkata, “Aku menyertai Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar dalam perjalanan mereka, semuanya tidak mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Para ulama telah bersepakat disyariatkannya qashar dalam safar, sekalipun di antara mereka terjadi perbedaan terkait dengan hukumnya, kita akan membahasnya nanti, insya Allah.

Syarat-syarat Qashar

1- Safar, tanpanya qashar tidak ada qashar, orang yang berhak mengqashar hanyalah musafir dan seseorang belum dihukumi musafir kecuali jika dia sudah berangkat meninggalkan kotanya, adapun orang yang baru berniat atau bersiap-siap maka dia bukan musafir, akan tetapi calon musafir.
Dalil dari syarat ini adalah ayat di atas yang menggunakan kata kerja betuk lampau, yaitu ضربتم yang berarti telah bepergian. Anas berkata, “Aku shalat Zhuhur bersama Nabi saw di Madinah empat rakaat dan di Dzul Hulaifah dua rakaat.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

2- Tujuan bepergian adalah sesuatu yang minimal dibolehkan, qashar adalah rukhshah, maka ia tidak boleh diberikan kepada musafir pelaku dosa, sebab hal itu berarti membantunya melakukan dosa.

3- Jarak tempuh perjalanannya mencapai batas minimal, yaitu delapan puluh kilo meter kurang lebih, menurut mayoritas ulama. Kita akan bahas lebih rinci insya Allah.

4- Tidak bermakmum kepada imam muqim. Ibnu Abbas ditanya, “Mengapa musafir shalat dua rakaat jika shalat sendiri dan empat rakaat jika di belakang muqim?” Dia menjawab, “Demikianlah sunnahnya.” (Diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad).

5- Niat qashar sebelum shalat, karena Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dengan niat.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
(Izzudin Karimi)