Kritik dan Pesan

Itulah contoh-contoh dari propaganda para perusak sekitar masalah wanita yang menjadi perhatian pers dan diangkat dengan nada yang pedas sekitar tahun 1419. Contoh-contoh tersebut dirangkum dalam delapan file, setiap kliping ditulis nama media, edisi dan penulisnya. Mereka itu adalah para kaki tangan westernisasi. Sebagian yang lain menambah kejahatan itu dengan kejahatan lain, seperti mencemooh penggunaan jilbab, dan pemakainya serta ungkapan yang sinis terhadap sebagian hukum syariat maupun para pengamalnya.

Menurut kami, orang yang melakukan ini benar-benar terjerat dalam bahaya besar, dan terjebak antara tindak kekafiran, kemunafikan, kefasikan dan kemaksiatan.

Masalah-masalah seperti ini pernah dilontarkan sebelumnya, satu demi satu dengan selang waktu, namun begitu muncul langsung dibasmi oleh para ulama dan para penggagasnya pun diprotes oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia dan diberantas pengaruh-pengaruhnya. Sedang pada saat-saat, para perusak itu telah menuang pesan-pesan yang dibawakan kepadanya yang penuh dengan kehinaan selama beberapa bulan dengan segala kemampuan, keberanian dan kekuatan. Dan di antara kelicikan mereka, adalah upaya mereka untuk melontarkan apa yang mereka bawa itu justru pada situasi sulit dan masa krisis yang sedang menimpa kita. Propaganda-propaganda yang masuk dan hasil impor ini, penuh dengan kontradiksi baik pada materi, obyek maupun bentuknya.

Bila diperhatikan, ternyata para penulisnya menggunakan nama-nama Islam, akan tetapi kandungan isi dan penyajiannya penuh dengan unsur-unsur pemusnah Islam. Materi yang demikian itu hanya digunakan oleh para kaki tangan Barat, yang dipengaruhi oleh hawa nafsu dan nilai-nilai asing. Cukuplah ucapan dan tindakan mereka menjadi barometer keimanan dan kemunafikan. Bila diamati kata-kata yang digunakan adalah istilah asing, strukturnya lemah, banyak kesalahan dan memburu kosa kata-kosa kata pers yang terkesan dipaksakan sehingga sebagai seorang penulis mereka tampak tidak profesional. Tentu saja tindakan itu tidak dapat diterima oleh masyarakat yang mengerti bahasa Arab dengan baik.

Demikianlah, orang-orang yang tidak menguasai bahasa Arab, tidak tahu al Qur’an dan sunah akan melakukan tindakan-tindakan yang aneh. Di samping itu, diri mereka diliputi dengan kepongahan dan kecongkakan yang merupakan hasil dorongan dari sesama mereka.

Lalu, apakah pantas bila kelompok pengecut seperti ini diberi kesempatan tampil di media massa, dan untuk mengarahkan pemikiran umat ini?! Bukankan yang demikian itu amat menyedihkan dan menyakitkan hati, dan sungguh sangat disayangkan atas umat ini bila ada tipe penulis di lingkungan media massa mereka, yang tulisannya seperti itu.

Benar-benar memalukan, bila akhlak umat pada masa ini diarahkan oleh kelompok kaki tangan yang menyesatkan , yang menyelisihi kehendak kaum muslimin, berseberangan jalan dengan mereka, sibuk memupus kebenaran dan membela hawa nafsu. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah subhanahu wata’ala Kami memperingatkan mereka dari murka dan siksa Allah, dan sekali-kali mereka tidak akan dapat mengalahkan Allah. Allah berfirman:

وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ

Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya (QS. al-Baqarah:235).

dan firman-Nya:

وَلاَتَقُولُوا لِمَاتَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَيُفْلِحُونَ . مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka azab yang pedih. (QS. an-Nahl: 116-117)

Dan mereka yang lantang bersuara melalui kolom-kolom surat kabar dan media massa lainnya akan mendapatkan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله يبغض كلَّ جَعْظَريٍّ جوَّاظ -أي: مختال متعاظم- سَخَّابٍ بالأسواق، جِيفة بالليل حِمَار بالنهار، عالمٍ بأمر الدنيا، جاهل بأمر الآخرة

Allah subhanahu wata’ala membenci setiap orang yang sombong dan congkak, berbuat gaduh di pasar-pasar, seperti bangkai pada malam hari dan keledai di siang hari, mengerti masalah-masalah dunia akan tetapi tidak mengetahui perkara akhirat. (HR. Ibnu Hibban dan Shahihnya).

Mengomentari hadis Ibnu Hibban di atas Syeikh Ahmad bin Muhammad Syakir (W. 1377) berkata:

“Gambaran yang dituturkan Nabi ini sangat menarik, sehingga mencapai puncak keindahan dari segi balaghah dan penggunaan ungkapan kata yang sangat orisinil, berkenaan dengan sekelompok orang bahkan —astaghfirullah— sekelompok binatang tersebut. Hal itu Anda dapati setiap hari pada kebanyakan orang di sekitar Anda, yang mengaku beragama Islam. Bahkan Anda lihat pada kebanyakan pembesar umat Islam, yaitu pembesar dalam urusan dunia bukan agama. Bahkan bisa Anda jumpai pada orang-orang yang menyebut diri mereka dengan ulama, namun dengan memanipulasi sebutan ilmu dari makna yang sebenarnya sebagaimana tertera dalam al Qur’an dan sunah menjadi ilmu yang bersifat duniawi, industri dan harta. Hal itu menyebabkan pada diri mereka diliputi kesombongan dan kecongkakan. Dengan bekal yang dimiliki mereka hendak menetapkan hukum agama yang didasari dengan kebodohan dan ketidaktahuan. Mereka menganggap dirinya paling tahu akan Islam daripada ahlinya, mengingkari yang makruf dan mendukung yang mungkar, membantah orang-orang yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar dengan bantahan yang sengit yang sesuai dengan kepongahan dan kecongkakan mereka. Oleh karena itu, renungkan dan pikirkanlah hadis tersebut, Tentu Anda melihat mereka di depan Anda, berada di setiap tempat”.

Tidak ada tindakan yang lebih tepat bagi para kriminal itu melainkan mengkarantinakan mereka di dalam “Lembaga Pendidikan Etika Islam” di bawah ancaman cambuk para guru dan pendidik.

Selanjutnya, Syeikh Ahmad bin Muhammad Syakir menjelaskan keadaan para pendahulu mereka dari Mesir, dalam mukadimah tahqiq Jami’u at Tirmizi (1/71-72):

“Perlu diketahui oleh orang yang ingin mengetahui…dari seseorang yang hati dan akalnya terbelenggu oleh para missionaris, dia hanya melihat dengan mata mereka, mendengar dengan telinga mereka, tidak mencari petunjuk melainkan dari petunjuk mereka, tidak melihat dengan bantuan api mereka yang dikiranya cahaya, orang itu diberi nama dengan nama yang Islami oleh kedua orang tuanya. Dengan demikian, ia termasuk orang muslim dalam catatan akte kelahiran dan daftar sensus penduduk. Maka ia pun menolak jika tidak membela Islam yang telah tercantum dalam KTP-nya meski tidak diyakini sebagai agama. Karena Anda lihat dia menakwilkan al Qur’an sesuai dengan apa yang dipelajari dari para gurunya dan tidak menerima hadis yang bertentangan dengan pendapat dan kaidah yang mereka anut, dia merasa takut bila hujah mereka atas Islam akan terjadi, karena ternyata dia tidak banyak memahami agama Islam dengan baik.

Atau dari seseorang seperti juga pendahulunya tadi, hanya saja ia tidak mau merepotkan dirinya, maka ia ikuti saja yang mereka cekokkan ke dalam akalnya berupa akidah, akan tetapi dia enggan mengenal Islam sebagai agama, atau diperkenalkan tentang Islam kecuali beberapa bagian tertentu. Seperti dalam hal menggunakan nama Islam, atau sesuatu tentang pernikahan, warisan dan penguburan mayit.

Atau dari seorang muslim yang mendapatkan pendidikan dari suatu lembaga yang disebut-sebut sebagai sekolah Islam, lalu ia mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan, hanya saja ia tidak banyak mendapatkan pelajaran agama kecuali sangat terbatas. Kemudian dia tertipu dengan modernitas dan ilmu pengetahuan Barat, sehingga menganggap bahwa mereka dalam bidang peradaban telah mencapai kesempurnaan dan keunggulan, dan dalam bidang teori-teori telah sampai kepada keyakinan dan kebenaran hakiki. Maka dia pun lupa diri sehingga menganggap dirinya paling mengetahui ilmu agama, bahkan menganggap lebih tahu dari pada para ulama, para hafiz dan para penuntun agama yang tulus sekalipun. Ia pun mencoba membuat gebrakan-gebrakan dengan harapan dapat menyelamatkan agama dari tokoh agama, serta membesihkannya dari kekolotan para ulama, dan mengikis angan-angan mereka!!

Atau dari seorang yang membongkar isi hatinya dan mengumumkan pengingkaran permusuhannya terhadap Islam. Mereka itu adalah seperti yang sering disebut “Kafaru billahi Taqlidan” (mereka ingkar kepada Allah karena ikut-ikutan saja).

Atau dari seseorang yang termasuk kelompok pengganggu rakyat Mesir pada abad ini, dimana saudara kita, orang terkemuka, sastrawan besar, Kamil Kailani menyebut mereka al Mujaddidinat “.

Atau dari seseorang…. Atau dari seseorang yang ……”. Sampai di sini selesailah ucapan beliau.

Tuntutan-tuntutan yang menyeleweng ini diluncurkan dengan sebutan “emansipasi wanita”, yang secara teori mencakup dua hal; “kebebasan wanita” dan “kesetaraan gender”. Keduanya merupakan konsep Barat yang jelas-jelas bertentangan dengan akal dan syariat, tidak pernah sebelumnya dikenal kaum muslimin. Konsep ini diimpor dari orang-orang kafir yang mereka itu sebelumnya berlaku lalim (menjajah) terhadap negeri-negeri Islam. Karena itu mereka berupaya, di balik kedua slogan tersebut untuk menyesatkan para wanita mukminah dalam agama dan menyebut perbuatan keji di antara mereka. Karena mereka menyerukan tuntutan-tuntutan yang menyimpang dari jalan kaum mukminin, kemudian secara terang-terangan mereka mulai dengan propaganda “anti hijab atas muka”, setelah itu mereka ikuti dengan langkah praktis untuk melepasnya, menginjak-injak dan membakarnya. Dampak dari aksi-aksi ini, lahirlah ketika itu di beberapa negera Republik seperti Turki, Tunis, Iran, Afghanistan, Albania, Somalia dan Aljazair, undang-undang yang melarang hijab (penutup) muka dan wanita pelakunya disetarakan sebagai pelaku tindak pidana, bahkan menurut sebagian undang-undang wanita yang mengenakan hijab diancam dengan hukuman penjara dan denda!!

Demikianlah, dengan menggunakan kekuatan undang-undang rakyat digiring ke dalam kenistaan dan westernisasi (pembaratan), sehingga akibatnya banyak kaum wanita muslimah di dunia Islam menyaingi wanita barat yang kafir dalam berdandan, dan buka-bukaan serta kebebasan membuka tempat pelacuran secara resmi, bahkan untuk para pelacur itu dibuatkan institusi resmi yang menjamin pezina laki-laki maupun perempuan. Hal ini menimbulkan dampak yang lain, seperti penghapusan hukuman, menyebarnya perbuatan zina, hilangnya keperawanan wanita pada usia dini, bahkan menyebarnya fenomena perzinaan dengan famili sendiri, pernikahan wanita dengan sesama jenis, dan tindakan penyewaan rahim.

Kondisi itu pun diikuti dengan upaya sosialisasi alat-alat kontrasepsi (pencegah kehamilan), dimana promosinya dilakukan secara intensif di media massa, di samping hilangnya sarana utama tindakan preventif, yaitu pemberian atau penjualan obat hanya berdasarkan resep kepada seorang wanita bersuami yang telah mendapatkan izin suami ketika memerlukan hal tersebut. Kasus-kasus kriminalitas di kalangan wanita telah meningkat dengan pesat, begitu pula prosentase kasus bunuh diri. hal itu dikarenakan rusaknya mental mereka.

Setelah itu, muncul gerakan pembatasan anak (baca: Keluarga Berencana), larangan poligami, pembolehan adopsi (memungut anak), pengambilan seorang kekasih wanita, bahkan jika seseorang dipergoki sedang bersama seorang wanita lalu mengaku bahwa wanita itu adalah kekasihnya langsung dilepaskan, tetapi jika mengaku wanita itu adalah istri keduanya, maka akan diterapkan sanksi hukum yang terkutuk itu.

Apa yang disyariatkan Allah, seperti perkawinan dan anak, justru dibatasi dalam undang-undang. Akan tetapi apa yang diharamkan Allah, seperti pengambilan kekasih wanita dan adopsi anak haram, justru dibolehkan secara mutlak oleh undang-undang!

Betapa jauh kehidupan mereka dari firman Allah subhanahu wata’ala:

وَلاَتَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللهِ

dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, (QS. an-Nur: 2).

Akibat dari pergaulan bebas ini pun meningkatlah jumlah perawan/bujangan tua dan angka perceraian dikarenakan masalah yang sepele, serta menurunnya angka kelahiran dari perkawinan yang sah karena menurut mereka, kaum wanita sibuk berkarir di luar rumah tangga. Juga meningkat jumlah anak haram, dan menyebarlah berbagai penyakit kronis dimana para dokter masih belum mampu melakukan penyembuhannya.

Sungguh, mereka telah menjadikan kaum muslimin mengikuti peradaban barat,membuat luka yang parah dalam kehormatan dan agama, menyenangkan orang-orang kafir dengan bencana yang menimpa umatnya, menjerumuskannya ke dalam dosa, menjauhkannya dari agamanya, sedang mereka sendiri telah berpaling dari agama yang haq, menjadi kaki-tangan orang-orang kafir, baik Nashrani, Yahudi maupun para atheis komunis dan lain sebagainya. Maka bertemulah antara negeri Islam dan negeri Kafir. Inna lillahi wa inna ilaihi Raji’un.

Berikut ini, kami kemukakan kritikan atas tuntutan-tuntutan yang menyeleweng tersebut, yang terangkum dalam dua hal:

Pertama, berkisar pada sejarah konsep “kebebasan” dan “kesetaraan” dan pengaruhnya yang merusak di dunia Islam.

Perlu digarisbawahi, bahwa propaganda emansipasi wanita yang berada di bawah dua konsep; “kebebasan” dan “kesetaraan gender”, yang muncul di Perancis yang dilatari oleh faktor-faktor lokal dunia barat yang Nasrani. Menurut mereka wanita adalah sumber segala kemaksiatan, sarang kejahatan dan keburukan, ia adalah makhluk najis yang harus dijauhi, makhluk yang selalu menghncurkan segala usaha, meskipun wanita itu adalah ibu atau saudara perempuan sendiri.

Demikianlah sikap permusuhan keras yang disebarkan oleh biarawan Nasrani di Eropa berkenaan dengan wanita. Padahal mereka sendirilah yang fisik dan jiwanya kotor dan sarang kriminalitas akhlak, penculik anak-anak kecil untuk dididik di gereja dan dijadikan biarawan-biarawan yang pendengki. Sehingga jumlah mereka selalu bertambah banyak dan membentuk komunitas yang menakutkan bagi pemerintah dan rakyat.

Bermula dari sikap para biarawan yang keras ini, masyarakat menjadi ketakutan dan trauma yang berlebihan. Maka muncullah beberapa reaksi keras yang menentang sikap mereka, di antaranya konsep emansipasi wanita dan kesetaraan gender. Jargon konsep ini menentang apa saja yang datang dari gereja dan tokoh-tokoh gereja. Selanjutnya, reaksi ini terus menggelinding dan meningkat. Mereka pun menyeru bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak pernah bertemu, serta akal dan agama adalah dua hal yang bertentangan. Tuntutan itu terus meningkat, bahkan mereka menyerukan kebebasan yang mutlak dari segala ikatan dengan agama dan fitrah manusia. Seruan kebebasan ini merambah pada kesetaraan wanita dan pria, dengan menghapus dan membuang segala perbedaan antara keduanya, baik perbedaan dalam perspektif sosial maupun agama. Setiap laki-laki dan setiap wanita berhak melakukan apa saja yang dikehendaki. Agama, etika dan pranata sosial lainnya tidak dapat menghalanginya. Sehingga negara-negara Eropa dan diikuti oleh Amerika serta negara-negara kafir lainnya menerapkan konsep kehidupan bebas, tak perlu malu, dan lepas dari aturan-aturan hidup. Dan mereka pun menjadi sumber wabah kebejatan moral di dunia.

Tuntutan-tuntutan yang menyeleweng untuk emansipasi wanita dengan pemahaman yang atheis di bawah kedua konsep tersebut yang tercetus di negeri Barat yang kafir adalah wabah penyakit yang disebarkan oleh para kaki-tangan Barat di dunia Islam. Lalu bagaimanakah dengan sejarah hitam yang menjungkirbalikkan seluruh dunia Islam dari komunitas Islam yang melindungi wanitanya, dan menutup para wanitanya dengan hijab, sementara kaum pria menunaikan kewajibannya dengan baik dan kaum wanita melaksanakan kewajiban Allah atas dirinya, menjadi keadaan yang demikian menyedihkan, seperti tabarruj, kehidupan bebas dan lepas dari norma-norma.

Sebagaimana dikemukakan berulangkali, bahwa semula para wanita menggunakan hijab, menutup wajah dan tubuhnya, serta tidak menampakkan perhiasannya. Yang demikian ini berlangsung sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga pertengahan abad ke empat belas hijriah.

Menjelang keruntuhan Daulah Islamiah terpecah menjadi beberapa negara. Pada masa ini kaum kolonial barat mulai menancapkan kukunya di negeri-negeri Islam, mereka pun mulai melontarkan tuduhan dan keragu-raguan serta berupaya merubah rakyat dari identitas yang Islami kepada kekafiran dan kehidupan bebas.

Isu pertama yang mereka lontarkan untuk menghancurkan umat Islam yaitu berkenaan dengan sufur (pelucutan hijab) di Mesir, tatkala Muhammad Ali Pasya(Sebutan “Pasya”, artinya sendal penguasa. Lihat majalah ad Darah, tahun 1420. Fenomena semacam ini tidaklah mengherankan bagi orang-orang asing saat itu, karena mereka memang sering bersikap berlebih-lebihan dalam menggunakan sebutan.), Gubernur Mesir, mengirim kader-kadernyanya untuk belajar ke Perancis. Dalam rombongan ini disertakan seorang penasehat yaitu Rifa’ah Rafi’ ath Thahthawi (w. 1290 H.). Sekembalinya ke Mesir, Thahthawi menebarkan benih kebebasan dan menyeru kepada emansipasi wanita. Upaya ini diikuti oleh para weternis dari kalangan Kristen antara lain:

  • -Markus Fahhmi (w. 1374 H.) dalam bukunya al Mar’atu fi asy Syarqi (Wanita Timur) menyerukan untuk menanggalkan hijab dan membolehkan ikhthilat (campur antara wanita dan pria yang bukan muhrimnya).

  • -Ahmad Luthfi as Sayid (w. 1382 H.), mempelopori masuknya wanita Mesir ke perguruan tinggi bercampur dengan para mahasiswa putra, dengan menanggalkan penutup wajah. Kasus ini adalah kejadian pertama dalam sejarah Mesir. Seruan ini didukung oleh tokoh westernisasi, Thaha Husain (w. 1393 H.).

Upaya ini diteruskan oleh tokoh-tokoh yang getol memperjuangkan seruan menanggalkan hijab, Qasim Amin (w. 1326 H.) dalam bukunya Tahriru al Mar’ah (Emansipasi Wanita). Buku ini mendapat reaksi keras dari para ulama, bahkan sebagian mereka menghukuminya dengan murtad. Seruan itu disusul dengan karyanya yang lain, al Mar’ah al Jadidah (Wanita Modern), yang menginginkan perubahan wanita muslimah menjadi seperti wanita Eropa.

Gerakan ini didukung oleh ratu Nazili Abdurrahim Shabri, seorang ratu yang telah murtad dan beralih agama menjadi Kristen, sebagaimana yang telah diungkap dalam buku al Malikah Nazili (Ratu Nazili), halaman: 8 dan 226-227, karangan al Nahlawi.

Realisasi ide Qasim Amin ini mulai dilaksanakan oleh Saad Zaghlul (w. 1346 H.) dan saudaranya, Ahmad Fathi Zaghlul (w. 1332 H.).

Pada tahun 1337 H., muncullah gerakan wanita di Mesir yang dipelopori oleh Huda Sya’rawi (w. 1367 H.) yang menyeru kepada kebebasan wanita. Gerakan ini diawali dengan sebuah pertemuan yang diadakan di gereja Markus pada tahun 1338 H. Huda Sya’rawi adalah seorang wanita muslimah Mesir pertama yang menanggalkan hijab. Kisahnya sungguh amat menyedihkan, dan benar-benar telah menghancurkan sendi-sendi Islam. Ketika Saad Zaghlul kembali dari Inggris, di bandara ia disambut oleh rombongan yang terbagi menjadi dua; pertama sekelompok kaum pria yang menempati ruangan khusus, dan kelompok kedua adalah kaum wanita yang mengenakan hijab dan menempati ruangan khusus pula. Maka Saad Zaghlul langsung menuju ruangan wanita dan disambut langsung oleh Huda Sya’rawi yang saat itu mengenakan hijab untuk dilepas Zaghlul. Maka ia mengulurkan tangannya, dan membuka hijab Huda Sya’rawi, yang disertai tepukan tangan para hadirin, lalu para wanita yang ada di sekelilingnya mengikutinya, membuka hijab masing-masing.

Hari duka yang kedua, bahwa Shafiah binti Musthafa Fahmi, istri Saad Zaghlul yang namanya berubah menjadi Shafiah Hanim Saad Zaghlul (sebutan bagi wanita bangsawan, pent.) setelah menikah. Tindakan itu meniru cara-cara wanita Eropa dalam menisbatkan istri kepada suaminya. Ia, ketika itu, berada di tengah-tengah demonstrasi yang diadakan oleh para wanita di depan Qasru an Nil (istana Nil) kota Kairo. Dalam kesempatan ini Shafiah Hanim mendemonstrasikan penanggalan hijabnya dan diikuti oleh yang lainnya, kemudian menginjak-injak kain hijab itu dan diakhiri dengan membakarnya. Oleh karena itulah lokasi tempat peristiwa ini terjadi dinamakan Maidan Tahrir (taman kebebasan).

Demikianlah, gerakan ini ditindak lanjuti oleh tokoh-tokoh Mesir yang lain, seperti Ihsan Abdul Qudus, Musthfa Amin, Najib Mahfudz dan Thaha Husein. Sedangkan dari kalangan Kristen, terdapat nama Syibli Sumayil dan Farah Anton. Persekongkolan terhadap Islam dan kaum muslimin ini didukung oleh surat kabar, karena merupakan media massa pertama menjadi sarana terpenting dalam menghembuskan fitnah yang besar ini. Sampai pada tahun 1318 H. berdirilah majalah “as Sufur”, menampilkan penulis-penulis bejat, yang menuntut tabarruj dan kerusakan, serta menghujat akhlak yang mulia di media-media yang merusak. Di antaranya adalah sebagaimana berikut:

Mengekspos gambar-gambar wanita yang memalukan, melibatkan perempuan dengan laki-laki bersama-sama dalam suatu dialog dan diskusi, menfokuskan pada tema-tema baru yang datang dari luar negeri, seperti al Mar’atu Syarikatu ar Rajul (Wanita adalah mitra laki-laki) yang berkisar pada tuntutan akan kesetaraan kedua jenis, mencela tindakan laki-laki sebagai penguasa atas wanita, menampilkan pakaian model baru yang seksi, membuka salon-salon rambut, membuka kolam renang yang campur dengan pria, club-club hiburan, café-café, mengangkat peristiwa-peristiwa skandal, menjadikan para artis, penyanyi, seniman dan yang lain sebagai pujaan dan idola.

Gerakan yang tersusun rapi ini didukung oleh dua faktor: Pertama, dukungan dari dalam disamping lemahnya perlawanan para da’i, baik melalui media tulis menulis maupun ceramah. Juga tidak adanya tindakan yang kongkrit dari para da’i, bahkan mendiamkan kemungkaran dan tersebarnya perbuatan keji, serta tidak ada upaya mendiamkan untuk membuat diam pihak lain. Selain itu, tidak dipublikasikan atau penolakan mereka, dan mereka pun dituduh sebagai ekstrimis dan kolot.

Faktor kedua adalah pelimpahan kekuasaan kepada orang yang bukan ahlinya dari kalangan kaum muslimin yang kuat dan jujur.

Demikianlah awal mula penanggalah hijab yang terjadi pada umat ini, yang secara akurat dipaparkan dalam buku al Mu’amarah ‘ala al Mar’ah al Muslimah (Konspirasi terhadap Wanita Muslimah), karangan ustadz Ahmad Faraj dan buku ‘Audatu al Hijab (Kembalinya Hijab), jilid 1, karangan Syeikh Muhammad bin Ahmad bin Ismail. Bencana ini kemudian merambah ke dunia Islam hanya dalam beberapa tahun saja, laksana api makan ilalang kering, tiada dapat dipadamkan lagi.

Maka keluarlah undang-undang yang mewajibkan wanita untuk menanggalkan hijab, seperti halnya yang dilakukan Kemal Ataturk (w.1356 H.) di Turki, seorang pemimpin atheis mengeluarkan undang-undang tentang larangan hijab pada tahun 1338 H. Menyusul undang-undang sipil seperti undang-undang sipil Nustiale di Swiss, yang melarang praktek poligami dan hal-hal lain. Akibatnya, dalam waktu yang singkat wanita Turki berubah menjadi seperti wanita Swiss. Mereka mengenakan gaun-gaun pesta yang terbuka bagian pundak dan punggungnya. Semoga Allah melindungi kita dari malapetaka ini.

Reza Pahlevi (w. 1344 H.) di Iran, mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan wanita menanggalkan hijab. Begitu juga di Afghanistan, Muhammad Aman mengeluarkan keputusan melarang hijab, sebagaimana di Albania yang dikeluarkan oleh Ahmad Zugwa.

Di Tunis, Burguibah (w. 1421 H.) mengeluarkan undang-undang larangan hijab, dan menjerat praktek poligami sebagai tindak kriminal. Maka barangsiapa melanggar, ia akan dikenakan hukuman satu tahun penjara dan membayar denda. Selain itu, dikeluarkan pula undang-undang yang memojokkan syariat, seperti membebaskan wanita yang telah menginjak umur 20 tahun untuk menentukan sendiri calon suaminya tanpa persetujuan kedua orang tua. Begitu juga menindak seorang pria yang menikahi istri kedua secara sah. Ironinya orang yang mempunyai gundik dan wanita simpanan yang tidak terbilang dibiarkan saja.

Dalam sebuah jejak pendapat di Tunis, yang dipublikasikan oleh majalah al ‘Arabi, ada umbul-umbul propaganda yang dipajang di jalan-jalan besar. Pada setiap lapangan ada dua umbul-umbul: Pertama, memuat gambar sebuah keluarga yang mengenakan pakaian panjang yang sopan dan diberi tanda silang (X). Kedua, memuat gambar sebuah keluarga yang berpenampilan ala Barat, dan di bawahnya tertera tulisan: “Jadilah seperti mereka”.

Seorang penyair Irak, Muhammad Bahjat al Askari (w. 1416 H.) berkomentar dalam sya’irnya:

Burquibah sama sekali tidak mendapat perhatian,
sekalipun tidak pernah takut kepada Allah dan tidak memperhatikan-Nya.

Dialah di antara tokoh yang menanggung dosanya, selain itu orang yang disebut Thahir al Haddad, lahir pada tahun 1317 H. dan wafat pada tahun 1353 H. dalam bukunya Imr’atuna fi asy Syari’ah wa al Mujtama’ (Wanita Kita dalam Timbangan Syariat dan sosial), sekitar antara tahun 1338-1348 H., menyerukan emansipasi wanita. Terdapat dugaan, bahwa buku tersebut dikarang oleh seorang Kristen, Romo Salam, yang diatasnamakan Thahir al Haddad. Diakhir buku ini ia melontarkan 12 pertanyaan, yang dijawab oleh beberapa mufti. Oleh dua orang mufti Mazhab Maliki, dia telah dihukum telah keluar dari agama Islam. Oleh karena itu, sesuai dengan keputusan pemerintah ia dikenakan sangsi, tidak boleh mengikuti ujian pada fakultas hukum. Kemudian ia pun, karena bukunya ini, terisolir dan tercampakkan dari masyarakat hingga meninggalnya pada tahun 1353 H. Tidak ada seorang pun yang mengiringi jenazahnya kecuali keluarga dan beberapa sahabatnya saja. Dia adalah seorang sosialis, yang gemar nyanyian, dan sering mendatangi café. Sepeninggalnya buku ini tidak luput dari pemberitaan mass media, terutama sisi-sisi yang krusial. Keadaan ini terus berlangsung sehingga negara Tunis berubah menjadi laksana “badan yang sakit” disebabkan karena masalah penanggalan hijab. Anda jumpai rincian pertarungan atheis terhadap hijab dan kesucian dalam kitab yang memuakkan ini setebal sekitar 400 halaman. Inna lillahi wa inna ilahi aji’un.( Di antara keteledoran kitab “al A’lam”, karangan Az-Zirikly, bahwa Thahir al Haddad ini dimasukkan dalam jajaran tokoh pembaharu. Karena itu perlu diwaspadai.)

Di Irak gerakan serupa dipelopori oleh Zahawi Rushafi—Semoga Allah melindungi kita dari keduanya— sebagaimana yang dijelaskan dalam buku Hikayat Siyasiyah min Tarikhi al Iraq al Hadist (Kisah-kisah Politik dalam Sejarah Irak Modern), halaman: 91-143.

Lihatlah berita yang menyedihkan tentang penanggalan hijab di Aljazair, sebagaimana yang disebutkan dalam buku at Taghrib fi al Fikri wa as Siyasati wa al Iqtishadi (Westernisasi dalam Pemikiran, Politik dan Ekonomi), halaman:133-139. Mengisahkan suatu peristiwa yang terjadi pada tanggal 13 Mei 1998 tentang penanggalan hijab. Suatu kisah yang sangat menusuk hati. Seorang khatib suruhan pada shalat Jum’at ketika berkhutbah menyerukan penanggalan hijab. Setelah itu, muncullah seorang wanita melalui pengeras suara juga menyerukan kaum wanita menanggalkan saja hijabnya. Maka dia pun menanggalkan dan melemparkan hijabnya, yang kemudian diikuti oleh wanita-wanita lain —sekelompok wanita yang merekayasa peristiwa ini— kemudian diikuti oleh tepuk tangan orang-orang suruhan. Peristiwa serupa terjadi di kota Aljazair lainnya, seperti kota Wahran, dan Aljier ibukota Aljazair. Sementara, media massa berada di balik semua kejadian itu sebagai penyebar berita dan pendukungnya.

Di Negeri-negeri lain, Maghrib dan daerah-daerah Syam (Libanon, Siria, Yordania dan Palestina) pun telah menyebar tabarruj, penanggalan hijab, penampilan seronok dan kehidupan bebas melalui para provokator dari partai Ba’ats, atau dari partai nasionalis. Hanya saja sumber-sumber yang diperoleh tidak menjelaskan hal tersebut terjadi serta tidak menyebutkan nama-nama tokohnya. Sungguh tidak dapat dimengerti, kenapa para penulis dan sejarawan tidak mencatat asal mula peristiwa yang menyedihkan ini, khususnya di wilayah Syam. Sedangkan ledakan seksual, buka-bukaan, dan tak mengindahkan sopan santun serta kehidupan bebas merupakan fenomena yang tidak dapat disembunyikan.

Adapun buku pertama yang membahas emansipasi wanita di negeri-negeri syam adalah “as Sufur wa al Hijab” pada tahun 1347 H., tepatnya dua puluh tahun setelah meninggalnya Qasim Amin, karangan —atau dikarang atas nama— Nazhirah Zainuddin. Yang menarik perhatian kita adalah, buku ini dipuji-puji oleh Ali Abdurraziq, pengarang buku “al Islam wa Ushulu al Hukmi”, sebuah buku yang telah mencetuskan sekulerisme di Mesir, dan mendapat kritikan dan bantahan dari para ulama.

Di wilayah India dan Pakistan, pada mulanya para wanita muslimah mengenakan hijab untuk membentengi dirinya dan sebagai sikap rasa malunya. Akan tetapi pada tahun 1370 H., mulai muncul gerakan emansipasi wanita yang menyerukan kebebasan dan kesetaraan gender. Buku “Tahriru al Mar’ah”, karangan Qasim Amin pun diterjemahkan ke dalam bahasa mereka. Seruan ini berkembang lebih cepat karena didukung oleh media massa dalam mempromosikan pendidikan campur dan penanggalan hijab, sehingga kondisi wanita muslimah di dua negeri ini sungguh sangat menyedihkan. Semua itu, diuraikan dengan jelas dalam buku “Atsaru al Fikri al Gharbi fi Inhirafi al Mujtama’i al Muslim fi Syibhi al Qarah al Hindiah” (Pengaruh Pemikiran Barat dalam menyelewengkan masyarakat muslim di India), karangan Khadim Husain.

Demikianlah, di bawah desakan para penebar fitnah melalui seruan emansipasi wanita dengan nama kebebasan dan kesetaraan, akhirnya apa yang telah dicapai oleh wanita Barat menjadi starting point bagi wanita muslimah di wilayah-wilayah ini.

Atas nama kebebasan dan kesetaraan:

  • Wanita diseret keluar rumah agar berkompetisi dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan.

  • Ditanggalkan hijabnya dan diikuti dengan penanggalan akhlak-akhlak mulia, seperti kehormatan, rasa malu dan kesucian.

  • Wanita dibenamkan ke dalam tingkat paling rendah dari kehidupan tahu malu dan semau gue untuk memenuhi nafsu seksualitas kaum pria.

  • Peran tanggung jawab laki-laki diambil alih, untuk mempermudah wanita memperjual kehormatannya tanpa pengawasan dari siapa pun.

  • []Dihapus segala dinding pembatas yang menghalangi ikhthilat (campur antara perempuan dan laki-laki yang bukan muhrimnya) dan hubungan antara keduanya, untuk menghancurkan kemuliaan wanita dengan dalih kebebasan dan kesetaraan.
  • Dihancurkan risalah yang harus diemban oleh wanita dalam kehidupan, baik sebagai ibu, istri, pendidik generasi baru dan tempat ketenangan seorang suami. Wanita pun berubah menjadi barang yang dapat diperjualbelikan dengan harga yang murah dan dipermainkan oleh laki-laki hidung belang dan pengkhianat.

dan masih banyak lagi cobaan-cobaan yang berkesinambungan, yang terangkum dalam buku-buku yang dikarang oleh para ulama yang peduli terhadap umat ini, diantaranya adalah buku “Huququ al Mar’ah fi al Islam” (hak-hak wanita dalam Islam), karangan Muhammad bin Abdullah Arfah.

Inilah tuntutan-tuntutan yang menyimpang dari jalan kaum mukminin, dan inilah pengaruhnya yang merusak di dunia Islam.

Adapun perkara kedua yaitu pengulangan kembali tuntutan-tuntutan yang menyimpang itu untuk menghancurkan kemuliaan di benteng terakhir kaum muslimin, dan menjadikannya sebagai langkah pendahulu untuk perusakan moral secara terang-terangan.

Sungguh permulaan merupakan pintu gerbang menuju penghabisan. Rintangan pertama yang dihadapi oleh para penyeru emansipasi wanita adalah berkenaan dengan hijab wanita muslimah yang merupakan kemuliaan wanita dalam Islam. Apabila wanita menanggalkan penutup wajahnya, dia pun akan menampilkan bagian badan dan perhiasannya yang diwajibkan Allah untuk menutupnya dari pandangan kaum pria. Akibatnya, wanita muslimah yang semula dilindungi oleh keutamaannya kini berubah menjadi hina; bergaul bebas, melanggar etika, hidup seemau gue dan tak kenal lagi sopan santun, sebagaimana yang kini terjadi di dunia Islam. Semoga Allah memperbaiki keadaan umat Islam.

Kini, para kaki-tangan Barat itu menempuh cara yang sama dengan berusaha sekuat tenaga untuk menghancurkan keutamaan hijab di benteng terakhir umat Islam, hingga keadaannya—mau tidak mau— sampai pada target-target atheis di tengah-tengah negeri Islam, yang pertama dan terakhir, ibu kota umat Islam, dan dambaan kaum mukminin, yaitu jazirah Arab. Wilayah, dimana jantung dan kiblatnya dilindungi oleh Allah subhanahu wata’ala sejak masuk Islam dengan diutusnya penutup para nabi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sampai saat ini, hingga tidak dapat dimasuki oleh para penjajah. Islam di negeri ini, alhamdulillah tetap tegak, syariat diberlakukan, semua masyarakatnya menganut agama Islam, tidak tercemar oleh orang yang mangaku kafir. Dan orang-orang yang tak waras, yang membuat gaduh lewat surat kabar itu, mengikuti langkah yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat sebelumnya. Untuk menghadapi hijab, mereka mengusung strategi yang sama ke negara kita dan pers kita. Maka mereka memulai langkah yang dilakukan para pendahulunya melalui tuntutan-tuntutan seperti sebelumnya dengan merusak kondisi yang telah mapan, yaitu kondisi Islami, di mana para wanita muslimah mengenakan hijab, dalam kesucian dan kehormatan. Masing-masing dari kedua jenis: laki-laki dan perempuan pada posisinya, berdasarkan ajaran syariat yang suci. Lalu apa yang mesti mereka benci?

Sendi-sendir keutamaan yang telah dijelaskan di atas, menolak tuntutan-tuntutan yang menyeleweng dan batil ini, yang berkisar pada kehinaan, seperti menanggalkan hijab, ikhtilat (bercampur dengan jenis lain yang bukan muhrimnya), merampas kepemimpinan pria atas wanita, melucuti hak-hak khusus kaum pria dan target-target destruktif lainnya.

Sebenarnya hakikat tuntutan yang menyeleweng dari jalan yang ditempuh oleh orang-orang mukminin ini, adalah propaganda menuntut kemungkaran, mengenyahkan yang makruf, keluar dari fitrah, meninggalkan syariat, menanggalkan akhlak-akhlak mulia dan norma-norma dengan segala sendi-sendinya, keluar dari kepemimpinan Islam yang menerapkan syariat yang suci dan menjadikan negari ini sebagai arena tabarruj, pamer wajah, ikhtilat, tampil seronok dan pergaulan bebas.

Tuntutan-tuntutan tersebut merupakan bentuk perang dengan lisan— dan pena adalah salah satu dari dua jenis lisan— di mana kehancuran yang diakibatkannya bisa lebih fatal daripada perang dengan tangan, yaitu berbuat kerusakan di muka bumi.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah—rahimahullah— dalam ash-Sharim al-Maslul (2/735) mengatakan: “Kerusakan dalam agama-agama yang disebabkan oleh lisan berlipat ganda daripada kerusakan yang disebabkan oleh tangan. Sebagaimana kebaikan dalam agama-agama yang disebabkan oleh tangan berlipat ganda daripada yang disebabkan oleh lisan.

Hendaknya diketahui bahwa seruan membuka hijab, mempertontonkan kecantikan dan menyamakan wanita dengan pria tidak terbatas dilakukan oleh pers saja, akan tetapi masih banyak media lain yang terlibat secara serius, seperti radio, televisi, internet, buku, novel-novel dan lain sebagainya. Kesemuanya menjadi media yang dapat mempercepat langkah westernisasi di kalangan umat Islam, dimana langkah itu membawa umat Islam keluar dari agama, kesucian dan kemuliaannya. Oleh karena itu, perlu kami ingatkan kepada semuanya akan siksa dan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala dan kami ingatkan akan datangnya hari pembalasan, sesungguhnya janji Allah pasti akan datang.

Maka dari itu, tindakan yang harus ditempuh dalam menghadapi gelombang gerakan yang menyeleweng ini adalah sebagaimana berikut:

  • Bagi seorang pemimpin hendaknya mengeluarkan tindakan tegas untuk menjaga kemuliaan dari prilaku wanita yang melanggar batas dengan mempertontonkan kecantikan, membuka hijab dan bercampur dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya. Selain itu, melarang tulisan orang-orang murahan yang getol memperjuangkan tuntutannya, melindungi umat dari kejahatan yang dilakukan mereka dan menindak orang yang melecehkan hijab, menangkap dan menyerahkannya ke pengadilan agar dikenakan sanksi. Sanksi ini tidak hanya dikenakan kepada mereka saja, akan tetapi juga para wanita yang menanggalkan hijab dan mempertontonkan kecantikannya, karena para wanita itu telah ikut berperan dalam menyebarkan fitnah. Bahkan, wanita itu lebih patut diberi sanksi daripada pemuda yang menggodanya, karena wanitalah yang memperdaya laki-laki itu.

  • Para ulama dan penuntut ilmu hendaknya berupaya memberikan nasehat dan peringatan terhadap omongan tidak baik, meneguhkan para wanita muslimah agar mempertahankan kemuliaan dirinya, dan melindunginya dari tangan-tangan yang jahil, juga mengasihi mereka dengan jalan memberikan peringatan dari para penyeru kejahatan yang mereka itu adalah budak hawa nafsu.

  • Orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap wanita, seperti orang tua, anak, suami dan lain sebagainya, supaya takut kepada Allah berkenaan dengan wanita yang diamanatkan Allah kepadanya, dan melakukan usaha-usaha untuk menjaga mereka dari tindakan sufur (menanggalkan hijab), tabarruj (mempertontonkan kecantikan) dan ikhtilat (bercampur dengan kaum pria) serta faktor-faktor penyebabnya dan melindungi mereka dari para penyeru kerusakan. Dan hendaknya dicamkan, bahwa sebab utama kerusakan kaum wanita adalah karena kelalaian kaum pria.

  • Kepada para wanita mukminat, supaya takut kepada Allah terhadap dirinya sendiri dan anak-anak wanita yang di bawah asuhannya, yaitu dengan tetap menjaga kemuliaan, mengenakan pakaian yang disyariatkan, seperti hijab, pakaian panjang dan kerudung. Dan janganlah mereka mengikuti ajakan para penebar fitnah dan pengagum kebejatan.

  • Kita nasehatkan kepada para penulis itu agar bertaubat dengan yang sebenar-benarnya, dan jangan menjadi menjadi pintu kejelekan bagi keluarga dan umatnya. Dan hendaklah mereka takut akan murka dan siksa Allah yang pedih.

  • Setiap muslim supaya selalu waspada terhadap tindakan menebarkan dan memperluas kemungkaran. Perlu diketahui, bahwa sikap senang terhadap penyebaran kemungkaran, sebagaimana dikatakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiah dalam al Fatawa 15/332 dan 344 : “Tidak terbatas pada ucapan dan perbuatan saja, akan tetapi juga dengan membicarakannya, dengan hati, dengan memihak perbuatan itu, atau mendiamkannya. Sikap senang ini dapat memberi kesempatan untuk penyebarannya, juga pembelaan di hadapan orang-orang mukmin yang mengingkarinya. Oleh karena itu hendaknya setiap muslim merasa takut kepada Allah dari sikap senang terhadap penyebaran kemungkaran. Allah berfirman:
    إَنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ ءَامَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

    Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. an-Nur:19).

Demikianlah yang hendak saya jelaskan—dan hendaknya para ahli ilmu dan iman menyampaikannya kepada yang lain—, untuk meringankan tanggung jawabnya, dan dengan harapan dapat dimanfaatkan oleh siapa pun dari para hamba Allah dan sebagai nasihat, sebagaimana pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Agama adalah nasehat”, para sahabat bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya”. (HR. Muslim).

Al Hafidz bin Rajab, dalam bukunya “al Hikamu al Jadirah bi al Idza’ah” halaman: 43 mengatakan: “Diriwayatkan dari imam Ahmad, bahwa seseorang berkata kepadanya: Sesungguhnya Abdul Wahab al Warraq mengingkari demikian..demikian. Maka dia berkata: “Kita masih dalam keadaan baik selama di antara kita ada yang mengingkari”. Termasuk hal ini, sikap ucapan Umar bin Khathab ketika ada seseorang berkata kepadanya: “Takutlah kepada Allah wahai Amirul Mukminin”, Umar pun berkata: “Tidak ada kebaikan bagi kalian jika kalian tidak mengatakannya kepadaku dan tidak ada kebaikan bagi kami jika kami tidak menerimanya dari kalian”.

Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal, dan Allahlah yang memberikan balasan dan pahala. Semoga salawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan sahabat-sahabatnya.