LAMPIRAN I

Penjelasan sekitar pakaian wanita muslimah

Dikeluarkan oleh Komite tetap Urusan Riset dan Fatwa

Segala puji bagi Allah, Rabb sekalian alam. Salawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Wa ba’du:

Sungguh, pada masa permulaan Islam, para wanita muslimah telah mencapai puncaknya dalam kesucian, kehormatan, rasa malu dan kesopanan. Hal itu terjadi berkat keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, serta mengikuti petunjuk al Qur’an dan sunah. Pada masa itu, wanita mengenakan pakaian yang tertutup, mereka tidak mengenal membuka hijab dan berpakaian tak sopan di depan wanita lainnya, atau di depan muhrimnya. Tradisi yang lurus inilah yang dianut para wanita muslimah—segala puji hanya milik Allah—dari abad ke abad. Belakangan, banyak wanita muslimah terjebak dalam kerusakan berpakaian dan moral, karena berbagai sebab-sebab yang tidak perlu dipaparkan di sini.

Mengingat banyaknya permohonan fatwa yang masuk ke meja kami, sekitar batas-batas pandangan wanita terhadap wanita lain dan pakaian yang harus dikenakannya, maka kami, Komite Tetap Urusan Riset dan Fatwa dengan ini menegaskan kepada seluruh wanita muslimah, agar mempunyai rasa malu, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya sebagai bagian dari keimanan. Di antara menjaga rasa malu yang diperintahkan, menurut syariat atau pun adat kebiasaan, adalah mengenakan hijab, menjaga kehormatan dirinya dan berakhlak mulia yang dapat menjauhkan dari fitnah dan kecurigaan.

Ayat-ayat al Qur’an yang menyinggung masalah ini secara dhahir menunjukkan bahwa wanita tidak boleh menampakkan bagian tubuhnya di depan wanita lain, kecuali seperti yang dibolehkan di depan muhrimnya sebagaimana yang biasa dilakukan ketika berada di dalam rumah dan dalam keadaan melakukan aktifitas rumah tangga. Allah berfirman:

وَلاَيُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ …إلخ

dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam..dst. (QS. an-Nur: 31).

Jika demikian penegasan nas al Qur’an, dan itu pula telah dijelaskan dalam sunah, maka itulah tradisi yang berlaku pada istri-istri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabat-sahabat, dan istri orang-orang yang mengikuti jejaknya dengan baik hingga sekarang.

Sedangkan yang dimaksud dengan kebiasaan yang berlaku, sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas, adalah bagian-bagian wanita yang biasanya tampak selama di dalam rumah, atau pada saat melakukan aktivitas di dalam rumah, sementara terasa repot baginya bila harus mengenakan penutup, seperti kepala, tangan, leher dan kaki. Adapun lebih dari itu selain tidak ada dalil yang membolehkan dari al Qur’an dan sunah, juga dapat menjadi jalan bagi terjadinya fitnah, dan akan berakibat menarik perhatian sesama jenisnya, dan yang demikian ini benar-benar ada di antara mereka. Selain itu, hal ini akan menjadi contoh yang buruk bagi para wanita lainnya, dan merupakan tindak tasyabuh dengan orang-orang kafir, dan para wanita pelacur yang tak punya rasa malu. Padahal ditegaskan dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang bertasyabuh (meniru) suatu kaum maka dia termasuk di antara mereka”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Dalam Shahih Muslim, diriwayatkan dari Abdullah bin Amru, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya mengenakan dua pakaian yang bergambar burung, beliau bersabda: “Ini termasuk pakaian orang-orang kafir maka janganlah kamu mengenakannya”.

Disebutkan juga dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Terdapat dua golongan penghuni neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, yaitu suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi untuk mereka cambukkan ke tubuh manusia. Kemudian sekelompok wanita yang mengenakan pakaian tipis dan tampak terlihat bayangan tubuhnya, berjalan melenggak lenggok dan kepalanya condong seperti condongnya punggung unta. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan dapat mencium baunya. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dalam jarak perjalanan..segini..segini”.

Makna kata كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ , yaitu mengenakan pakaian yang tidak menutup tubuh, maka dia berpakaian tetapi pada hakikatnya telanjang, seperti wanita yang mengenakan pakaian tipis yang tampak kulitnya, atau pakaian yang sempit, sehingga menampakkan lekak-lekuk bagian tubuhnya, atau juga pakaian yang pendek yang tidak menutup sebagian anggota tubuhnya.

Semestinya para wanita muslimah mengikuti tradisi yang dianut para umahatul mukminin (istri-istri Nabi), istri-istri sahabat dan wanita-wanita yang mengikutinya dengan baik dari umat ini. Di samping itu, hendaknya wanita muslimah tetap konsisten mengenakan hijab dan menjaga kehormatan dirinya, karena hal itu menghindarkan dari berbagai sebab fitnah, dan untuk menjaga dirinya dari dorongan hawa nafsu yang menjerumuskan ke dalam perbuatan keji.

Selain itu, wajib bagi para wanita muslimah bersikap hati-hati agar tidak terjebak dengan perilaku yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, seperti bertasyabuh (meniru) dengan wanita kafir dan pelacur dalam berpakaian, sebagai sikap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan karena mengharap pahala-Nya serta takut akan siksa-Nya.

Dan hendaknya setiap muslim merasa takut kepada Allah subhanahu wata’ala atas wanita yang berada di bawah tanggung jawabnya, tidak membiarkan mereka mengenakan pakaian yang seksi, terbuka dan merangsang, yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. Hendaknya diketahui, bahwa dia adalah pemimpin dan kelak akan dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat.

Mudah-mudahan Allah memperbaiki keadaan umat Islam dan memberikan hidayah kepada kita semua kepada jalan yang lurus, sesungguhnya Dia Maha Mendengar, dekat dan mengabulkan segala permintaan. Dan semoga salawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Komite Tetap urusan Riset dan Fatwa

Ketua

Abdul Aziz bin Abdillah bin Muhammad Al-Syaikh

Anggota:

Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudaiyan

Bakar bin Abdillah Abu Zaid

Shaleh bin Fauzan al Fauzan