1- Jika seseorang meninggalkan shalat ketika dia muqim karena lupa atau tertidur, lalu dia hendak melaksanakannya ketika dia musafir, maka dia melaksanakannya dengan tidak mengqasharnya, karena shalat tersebut adalah shalat yang wajib pada saat dia muqim, maka dia melaksanakannya sebagai muqim, sekalipun saat itu dia musafir.

2- Jika seseorang meninggalkan shalat ketika dia musafir karena lupa atau tertidur, lalu dia hendak melaksanakannya ketika dia muqim, maka dia melaksanakannya dengan tidak mengqasharnya, karena kondisinya saat itu adalah muqim bukan musafir, maka dia shalat sebagai muqim.

3- Jika musafir berniat tinggal di suatu daerah dalam waktu tertentu, seminggu atau dua minggu atau sebulan, maka dia dianggap musafir dan berhak mengambil rukhshah safar selama empat hari, berdasarkan perbuatan Nabi saw di haji Wada’, bahwa beliau datang ke Makkah di Shubuh hari keempat Dzul Hijjah, beliau bermuqim hari keempat, kelima, keenam dan ketujuh, dan beliau shalat Shubuh hari kedelapan lalu berangkat ke Mina, selama empat hari itu beliau mengqashar shalat dan beliau memang berniat untuk tinggal.

Berbeda dengan musafir yang tidak berniat untuk tinggal dalam waktu tertentu, akan tetapi dia tinggal sebatas hajat atau kepentingan yang belum dipastikan kapan akan terselesaikan dan begitu hajatnya tersebut terselesaikan maka dia akan pulang, maka dia tetap musafir dan berhak mengambil rukhshah safar sekalipun waktunya lama, berdasarkan perbuatan Nabi saw, bahwa beliau tinggal di Makkah di tahun Fathu Makkah selama sembilan belas hari, selama itu beliau mengqashar shalat dan beliau tinggal di Tabuk selama dua puluh hari, selama itu beliau mengqashar shalat.

4- Jika musafir tinggal di suatu daerah dan di sana ada masjid untuk shalat berjamaah, maka hendaknya yang bersangkutan shalat di masjid dengan berjamaah sekalipun hal itu membuatnya tidak bisa mengqashar shalat, karena shalat berjamaah lebih tinggi derajatnya daripada qashar, namun jika menggabungkan jamaah dengan qashar dimungkinkan maka hal tersebut baik.

Perbincangan Seputar Qashar

1- Hukum qashar

Madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berkata, boleh qashar, boleh itmam (menyempurnakan) dan qashar lebih utama. Madzhab Hanafi berkata, qashar wajib.

Madzhab yang mewajibkan berdasar kepada perbuatan Nabi saw yang selalu mengqashar dalam safar, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang disebutkan sebelumnya. Madzhab ini juga berdalil kepada hadits Aisyah yang berkata, “Shalat diwajibkan dua rakaat dua rakaat, lalu shalat safar ditetapkan (dua rakaat) dan shalat hadhar (tinggal) ditambah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Sementara madzhab yang membolehkan berdasar kepada firman Allah Allah, “Jika kamu bepergian di muka bumi maka tidak mengapa bagimu… (An-Nisa`: 101). Imam Syafi’ berkata, “Kalimat ‘La junaha, tidak mengapa’ hanya digunakan untuk yang mubah.

Madzhab ini juga berdasar hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Usman shalat di Mina empat rakaat dan hal itu diikuti oleh para sahabat. Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw shalat di Mina dua rakaat, Abu Bakar dan Umar setelahnya, juga Usman di awal khilafahnya, kemudian setelah itu Usman shalat empat rakaat.” Nafi’, rawi dari Ibnu Umar berkata, “Jika Ibnu Umar shalat bersama imam maka dia shalat empat rakaat dan jika dia shalat sendiri maka dia shalat dua rakaat.” Diriwayatkan oleh Muslim.

2- Kriteria safar qashar

Madzhab Maliki, Sayafi’i dan Hanbali berkata, qashar boleh dalam segala safar yang bukan kemaksiatan, mencakup safar wajib, safar ketaatan atau safar mubah dan tidak boleh dalam safar maksiat.

Madzhab Hanafi berkata, qashar boleh dalam segala safar sekalipun safar maksiat.

Madzhab kedua berdalil kepada ayat qashar, “Jika kamu bepergian…” Ayat ini membolehkan qashar tanpa membatasinya dengan safar tertentu.

Sedangkan madzhab pertama, dan ini adalah madzhab yang kuat, berdalil kepada firman Allah, “Barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa berbuat dosa…” (Al-Maidah: 3), Allah memberi rukhshah bagi orang yang terpaksa untuk makan yang haram dengan syarat tidak berbuat dosa, ini berarti bahwa rukhshah hanya berlaku dalam keadaan tidak berbuat dosa, di samping itu pemberian rukhshah kepada pelaku dosa, dalam batas-batas tertentu, mengandung bantuan kepadanya dan ini berarti tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.

3- Jarak Safar Qashar

Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali menetapkan jarak safar qashar adalah 4 (empat) barid, 1 barid adalah 4 farsakh, maka 16 (enam belas) farsakh, 1 farsakh adalah 3 (tiga) mil, jadi 3 X 16 = 48 mil.
Madzhab Hanafi berkata tidak boleh qashar kecuali dalam perjalanan tiga malam.

Pendapat pertama berdalil kepada riwayat Atha` bin Abu Rabah bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas shalat dua rakaat dan berbuka jika melakukan safar dengan jarak empat barid ke atas. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih.”

Atha` berkata, “Ibnu Abbas ditanya, ‘Bolehkah aku mengqashar shalat ketika aku pergi ke Arafah?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Tidak, akan tetapi ketika kamu pergi ke Usfan, Jeddah dan Thaif.” Diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dan al-Baihaqi.

Adapun pendapat kedua maka ia berkata bahwa safar hanya disebut safar jika perjalanannya mengambil waktu tiga malam, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Janganlah seorang wanita melakukan safar tiga malam kecuali bersama mahramnya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Perbedaan pendapat dalam masalah ini berawal dari tidak adanya patokan jarak yang diletakkan oleh Nabi saw secara langsung dan biasanya perjalanan dengan jarak kurang lebih empat puluh delapan mil layak disebut dengan perjalanan. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)