عن أبي محمد الحسن بن علي بن أبي طا لب رضي الله عنهما قا ل:حفظت مك رسو ل الله صلى الله عليه وسلم ((دع ما يريبك إلى ما لا يريبك,فإن الصدق طمأنينة,والكذب ريبة)) رواه الترمذي وقال حسن صحيح

Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Aku pernah menghafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:”Tinggalkan apa yang meragukanmu dan lakukan yang tidak meragukan. Sesungguhnya kejujuran itu merupakan thuma’ninah (ketenagan), sedangkan kedustaan merupakan keraguan.”(HR.At-Tirmidzi dan dia mengatakan hasan shahih)

Pengeahan hadits :

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2518), An-Nasaai (VIII/327-328) dan Ahmad (I/299). Melalui jalan Syu’bah, dari Yazid bin Abi Maryam, dari Abul Haura As-Sa’di. Dia berkata, aku katakana kepada Al-Hasan bin ‘Ali:”Apa yang engkau hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”Dia menjawab dan disebutkan hadits tersebut.

Berkanaan dengan hal tersebut, saya (Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah) katakan:”Sanad hadits ini shahih, rijalnya tsiqah.”Hadits ini mempunyai beberapa syahid dari Anas bin Malik dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Penjelasan hadits :
Sabda beliau دع:Tingagalkanlah, ما يريبك :Apa-apa yang engkau ragukan, dan engkau tidak tenang dengan hal itu, إلى ما لا يريبك:kepada apa-apa yang tidak ada keraguan di dalamnya.

Ini merupakan salah satu hadits Arba’in Nawawi yaitu hadits yang ringkas yang memiliki makna luas dan penting, yang masuk kedalam bab tentang wara’ dan kehati-hatian (ihtiyath).
Dan para ulama telah menempuh metode ihtiyath ini dalam bab-bab fiqh dan mereka menyebutkan beberapa contoh diantaranya:
-Seseorang terkena najis pada pakaiannya, akan tetapi dia tidak tahu apakah dibagian depan pakaiannya atau dibagian belakang? Kalau dia mencuci bagian depan maka dia ragu karena mungkin yang terkena najis di bagian belakang, kalau yang dicuci bagian belakang maka diapun ragu karena mungkin saja yang terkena najis bagian depan. Maka bagaiman sikap Ihtiyath-nya? Ihtiyath-nya adalah dia mencuci bagian depan dan belakang pakaian supaya hilang keraguannya dan dia menjadi yakin akan kesucian pakaiannya, dan masalah lain yang bisa kita dapatkan di kitab-kitab fiqih.

Hadits ini merupakan salah satu pokok/ushul dalam ushul fiqh di mana sesuatu yang meragukan itu harus ditinggalkan menuju sesuatu yang tidak meragukan. Kemudian di dalam hal ini (meninggalkan yang meragukan dan mengambil yang meyakinkan) ada pendidikan terhadap kejiwaan,yaitu dia akan mendapatkan ketenangan dan terhindar dari keraguan dan kegoncangan jiwa, karena sebagian besar manusia kalau mengambil sesuatu yang meragukan maka dirinya akan mengalami kegalauan dan kegoncangan jiwa, kalau memang hatinya masih hidup.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam فإن الصدق طمأنينة,والكذب ريبة (sesungguhnya kejujuran itu merupakan thuma’ninah (ketenagan), sedangkan kedustaan merupakan keraguan) maknanya adalah bahwa kejujuran itu adalah ketenagan dan pelakunya tidak akan menyesal selama-lamanya, dia tidak akan mengatakan seandanya saya dan seanadainya…,karena kejujuran itu membawa keselamatan. Dan orang-orang yang jujur akan diselamatkan oleh Allah karena kejujuran mereka. Maka engkau akan mendapatkan bahwa dia akan selalu merasakan ketenangan karena dia tidak akan menyesalkan sesuatu yang telah terjadi di masa lalu dan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Barang siapa yang jujur maka dia selamat.

Adapun kedustaan maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa itu adalah keraguan. Oleh sebab itu engkau dapati bahwa yang pertama ragu terhadap seorang pendusta adalah dirinya sendiri, dia ragu apakah manusia akan membenarkan dan mempercayainya atau akan mendustakannya?.Oleh sebab itu sapabila seorang pendusta memberi kabar kepadamu pasti dia akan bersumpah dengan nama Allah supaya kabarnya diterima.

Kandungan faidah hadits :

1.Termasuk sifat wara’adalah berhenti pada hal-hal yang syubhat/ meragukan (yakni tidak menerjangnya) dan meninggalkannya, karena hal-hal yang jelas kehalalannya akan menumbuhkan ketenangan di hati seorang yang beriman dan tidak menimbulkan keraguan. Barang siapa meninggalkan sesuatu yang syubhat maka dia telah menjaga agama dan kehormatannya.

2.Kembali kepada hati ketika mendapatkan keraguan, maka apa-apa yang menenangkan hati dan melegakan jiwa itu adalah kebaikan dan kehalalan. Karena kebaikan membuat tenang jiwa, berbeda dengan keburukan dan hal yang haram maka hal itu akan menembuat keraguan dan jiwa tidak tenang, tentunya hal ini (kembali kehati) adalah bagi orang-orang yang hatinya bersihdan lurus agamanya, adapun orang-orang fasik dan durhaka maka dosa tidak akan membimbangkan mereka, bahkan mereka akan bangga dengan dosa yang mereka lakukan.

3.Wajib bagi kita untuk meninggalkn kedustaan dan menuju kejujuran, karena kedustaan adalah keragu-raguan dan kejujuran adalah ketenangan.Wallahu A’lam

(Sumber: Syarh Riyadhush Shalihin dan syarh Arba’in Nawawi (terjemahan) oleh Syaikh Utsaimin, Bahjatun Nazhirin oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilai, Abu Yusuf)