9-Memberi kesempatan
Suatu aktifitas memerlukan persiapan, olah raga membutuhkan pemanasan, sebuah pidato membutuhkan mukadimah, sebuah buku memerlukan pengantar, hal yang sama berlaku untuk aktifitas suami istri, ia memerlukan kesiapan dan persiapan agar hasil yang dirasakan dan diperoleh oleh suami istri sebagai aktornya membahagiakan dan memuaskan keduanya.

Bukan masalah jika istri melakukan persiapan dengan berdandan semenarik mungkin untuk memancing perhatian suami, memakai pakaian yang bagus, menggunakan wewangian yang menggugah, mengucapkan kata-kata manja atau melakukan geraka-gerakan khusus untuk suami, dari sisi syar’i hal ini bukan masalah bahkan bisa jadi anjurkan selama tujuannya adalah kebahagiaan suami, Ummu Sulaim istri Abu Thalhah pernah melakukan hal ini, dia berhias dan mempercantik diri sehingga Abu Thalhah tertarik dan terjadilah apa yang terjadi di antara keduanya dan darinya lahir seorang putra yang bernama Abdullah yang kelak menjadi anak yang penuh berkah.

Suami juga demikian, di samping dia sendiri melakukan persiapan dengan menjaga kebersihan diri dan kebugaran tubuh, dia juga patut memberi kesempatan kepada istri untuk bersiap, hal ini bukan demi siapa-siapa atau apa-apa, akan tetapi demi suami sendiri, bukankah suami tidak suka melihat istri dalam keadaan yang tidak enak dipandang, rambut tidak tersisir rapi, badan tidak harum dan pakaian lusuh?

Dari sini maka Rasulullah saw meminta para suami yang meninggalkan istri karena sebuah keperluan yang menuntut suami melakukan perjalanan luar kota agar tidak pulang mendadak atau tiba-tiba tanpa memberitahu istri sebelumnya, jika hal ini dilakukan maka tidak tertutup kemungkinan suami akan melihat atau mencium sesuatu yang membuatnya menjauh, padahal sudah beberapa hari berpisah dan saatnya untuk melepaskan rindu, tetapi ternyata kondisi istri memprihatinkan, tidak dalam kondisi siip atau siap.

Jika salah seorang dari kalian datang di malam hari maka janganlah dia datang kepada istrinya dengan tiba-tiba, agar wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya berkesempatan untuk membersihkan bulu kelaminnya dan menyisir rambutnya yang acak-acakan.” Diriwayatkan oleh Muslim.

10- Boleh ‘azal

Jika suami istri menyetujui maka tidak mengapa keduanya melakukan ’azal, membuang air mani di luar, tetapi jika istri tidak suka suami melakukan demikian maka suami tidak melakukan, karena istri tetap mempunyai hak untuk mendapatkan kenikmatan yang tidak patut diabaikan.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir berkata, “Kami melakukan ’azal di zaman Rasulullah saw sementara al-Qur`an turun.” Hadits ini menunjukkan dibolehkannya melakukan perbuatan ini pada saat suami istri berhubungan intim.

Namun perlu disadari bahwa sekalipun azaldilakukan, ia tetap tidak bisa menolak apa yang Allah takdirkan bagi suami istri, kemungkinan istri hamil tetap terbuka, air mani bisa saja mendahlui, lebih-lebih kenikmatan pada saat itu bisa membuat suami terlambat menarik sehingga sudah ada yang sempat menyusup ke dalam rahim, dan jika apa yang Allah takdirkan ini terjadi, istri tetap hamil sekalipun suami telah melakukan, maka suami tidak boleh mengingkarinya dengan alasan dia telah melakukan ’azal, atau menuduh istri telah melakukan dengan orang lain sehingga dia hamil. Semua itu tidak halal bagi suami.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku mempunyai seorang hamba sahaya dan aku tidak ingin dia hamil.” Nabi saw bersabda, “Jika kamu mau maka lakukanlah azal karena apa yang ditakdirkan untuknya akan tetap mendatanginya.” Beberapa waktu setelah itu laki-laki itu datang lagi dan berkata, “Wahai Rasulullah, hamba sahayaku hamil.” Nabi saw menjawab, “Aku telah katakan kepadamu sebelumnya bahwa apa yang ditakdirkan kepadanya akan tetap menimpanya.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri berkata, “Rasulullah saw ditanya tentang ’azal, maka beliau menjawab, ‘Tidak semua hubungan suami istri membuat istri hamil, namun jika Allah hendak menciptakan sesuatu maka tidak ada yang menghalangiNya.

11- Mandi besar

Setelah suami istri berhubungan intim, keduanya dalam keadaan junub maka keduanya wajib mandi besar atau mandi junub, sekalipun dalam hubungan tersebut suami atau istri tidak mengeluarkan air, karena mandi besar ini menjadi wajib hanya dengan masuknya sebagian alat milik suami ke dalam istri.

Suami istri perlu meneladani mandi Rasulullah saw, bukan asal basah sekujur tubuh, karena mandi ini merupakan salah satu bentuk ibadah yang darinya seorang muslim bisa meraih pahala, di samping apa yang dia lakukan dengan pasangan juga merupakan ibadah, maka sepatutnya yang bersangkutan meneladani Rasulullah saw, dengan itu seorang muslim selalu meraih kebaikan dan berada dalam kebaikan.

Tentang sifat mandi besar ini Anda bisa klik di link Fikih. (Izzudin Karimi)