Malu, sebuah sifat mulia yang tidak menghadirkan kecuali kebaikan, lebih dari itu ia merupakan salah satu cabang iman, oleh karena itu ia layak dan patut dijaga dan dipelihara, lebih-lebih di zaman ini yang mana sifat ini mulai tergerus oleh keadaan dan kehidupan, rasa malu telah menipis bahkan terkadang hilang sama sekali, kalau pun masih ada, itu hanya kepada manusia, maksud saya penglihatan dan pengetahuan manusia, “Malu ah, dilihat atau diketahui orang.” Berarti di belakang orang sudah tidak lagi malu, karena malunya kepada orang bukan kepada Allah. “Mereka bersembunyi dari manusia tetapi tidak bersembunyi dari Allah.” (An-Nisa: 108).

Akibat, lahir sikap baik secara lahir namun bukan batin, bila ada orang maka ia baik, bila sebaliknya maka sebaliknya, pengawasannya adalah pengawasan manusia, bukan muraqabah dari Allah, di mata manusia dia shalih, tetapi di balik itu dia thalih, karena prinsip malunya hanya kepada manusia. Pertanyaannya, apakah manusia selalu bisa mengawasinya?

Hal tersebut berbeda bila malu seseorang karena Allah, keadaan hidupnya sama antara yang lahir dengan yang batin, tiada kepalsuan dan kepura-puraan, dilihat atau tidak dilihat manusia tidak berbeda, karena kalaupun manusia tidak melihat, maka Allah tetap melihat, kalaupun bisa bersembunyi dari manusia, tetapi tidak dari Allah.

Umar bin Ubaidullah bin Ma’mar melewati seorang laki-laki (berkulit hitam) sedang makan di sebuah kebun. Di depannya terdapat seekor anjing, jika dia makan satu suapan, dia melemparkan satu suapan kepada anjing itu.
Umar bertanya, “Apakah itu anjingmu?”
Dia menjawab, “Bukan.”
Umar bertanya, “Mengapa kamu memberinya makan seperti apa yang kamu makan?”
Dia menjawab, “Aku malu dari pemilik dua mata yang melihatku sementara aku menguasai makanan itu dan dia tidak makan.”
Umar bertanya, “Apakah kamu orang merdeka atau hamba sahaya?”
Dia menjawab, “Hamba sahaya milik keluarga di Bani Ashim.”

Lalu Umar mendatangi mereka dan membelinya sekaligus kebunnya… Kemudian dia menemuinya dan berkata, “Apakah kamu mengetahui bahwa Allah telah memerdekakanmu?”

Dia menjawab, “Segala puji bagi Allah semata dan rasa syukur bagi orang yang memerdekakanku sesudahnya.” Umar berkata, “Kebun ini untukmu.”
Dia berkata, “Saksikanlah bahwa kebun ini adalah wakaf kepada fakir miskin Madinah.” Umar berkata, “Celaka kamu, kamu melakukan itu padahal kamu sendiri memerlukan?”
Dia menjawab, “Aku malu kepada Allah, Dia telah memberiku karunia lalu aku kikir kepada-Nya.”

Ishaq bin Ibrahim Al-Mushili berkata, “Aku mendatangi Muhammad bin Kunasah untuk menulis hadits darinya. Tetapi para penulis hadits sedang mengerumuninya, dia sebal dan jengkel kepada mereka. Ketika mereka pulang aku mendekatinya. Maka dia tersenyum kepadaku menyambutku dengan wajah berseri-seri.”

Aku bertanya, “Sungguh aku heran terhadap perubahan yang secepat itu.” Dia menjawab, “Mereka membuatku jengkel karena kekurangajaran mereka. Manakala kamu datang aku menyambutmu dengan ramah. Mendekatlah aku katakan kepadamu dua bait yang aku baru saja dapatkan dalam hal ini, keduanya adalah,

Pada diriku terdapat kecanggungan dan rasa malu, tetapi
apabila aku melihat orang-orang yang berbudi lagi mulia
Aku bebaskan diriku sesuai dengan tabiatnya
dan aku berkata apa yang aku suka tanpa rasa malu.

Aku berkata, “Seandainya kedua bait itu aku yang mengatakannya dengan kemampuanku.” Ibnu Kunasah menjawab, “Tidak ada yang tahu. Ambil saja keduanya untukmu, anggaplah kamu yang mengatakannya. Demi Allah aku tidak mengucapkan kedua bait itu kecuali saat ini.”

Ishaq berkata, “Aku malu pada Allah kemudian pada diriku sendiri mengakui sesuatu yang tidak aku ucapkan.”

Dari Makarimul Akhlaq, Ali Shalih al-Hazza`.