Tanya :

bagaimana hukumnya bagi suami yang ingin nikah kedua kalinya apakah harus sepengatahuan dan seijin isteri pertama. Mohon jawaban disertai hadis/ riwayat dari N. Muhammad saw. Sekian pertanyaan kami, atas perhatian dan jawabannya diucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr. Wb

Jawab :

assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokaatuh
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut, kami paparkan melalui tulisan berikut:

Menikah lebih dari empat orang isteri

Seorang laki-laki dilarang mengumpulkan lebih dari empat orang isteri dalam satu waktu karena syari’at hanya membatasi dengan empat orang saja sedangkan lebih dari itu berarti melanggarnya karena menyia-nyiakan berbuat baik yang disyari’atkan oleh Allah demi kepentingan kehidupan suami-isteri. Dalilnya: (surat an-Nisa’:3)
Makna ayat ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha berkata: “Senada dengan ayat tersebut, adalah ayat dalam firmanNya (artinya), “…dan kalian menginginkan untuk menikahi mereka…” ; yakni ketidaksukaan salah seorang diantara kalian untuk menikahi seorang wanita yang yatim yang dibawah pemeliharaannya manakala wanita-wanita yatim tersebut tidak memiliki harta dan kecantikan.

Oleh karena itulah, kaum laki-laki dilarang untuk menikahi mereka bila hanya melihat sisi harta dan kecantikan semata kecuali bila dapat berlaku adil, memang menginginkannya meskipun mereka tidak memiliki harta ataupun kecantikan yang memadai.

Jadi, makna ayat diatas adalah bahwa Allah Ta’ala mengarahkan imbauan kepada para wali wanita-wanita yatim tersebut, dengan (seakan) berfirman: “Jika si wanita yatim yang berada dalam pemeliharaan salah seorang diantara kalian dan berada dibawah perwalian (kewenangan)nya, dan dia khawatir tidak dapat memberikan mahar yang setimpal, maka hendaklah mengurungkan niatnya dengan memilih wanita-wanita lain selainnya yang begitu banyak. Dan Allah tidak ingin menyusahkannya dan menghalalkan baginya seorang wanita hingga empat orang”.

Maka jika dia khawatir akan berbuat zhalim bila menikahi lebih dari empat orang wanita, maka wajib baginya untuk hanya menikahi seorang saja atau boleh ditambah tetapi dengan budak wanita.

Pemaknaan ayat hanya sebatas empat orang saja

Imam asy-Syafi’i berkata, “sunnah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam yang merupakan pemberi keterangan dari Allah, menunjukkan bahwa tidak boleh seorangpun memiliki lebih dari empat orang isteri selain Rasulullah”.

Ucapan Imam asy-Syafi’i diatas telah disepakati oleh para ulama secara ijma’ kecuali oleh kalangan Syi’ah sebab diantara mereka ini, ada yang mengatakan bahwa boleh memiliki isteri lebih dari empat orang, ada lagi yang mengatakan tidak terbatas jumlahnya.

Sebagian mereka mengaku berpegang kepada perbuatan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam yang memiliki lebih dari empat orang isteri (yaitu sampai 9 isteri) sebagaimana yang termuat di dalam hadits yang shahih.

Pendapat ini dibantah oleh Imam al-Qurthubiy: “ketahuilah bahwa jumlah ini (bilangan) “matsna”, “tsulâts”, “rubâ’ ” (dalam ayat tersebut) tidak dapat dijadikan patokan pembolehan menikah hingga sembilan isteri sebagaimana anggapan orang yang amat jauh pemahamannya terhadap al-Kitab dan as Sunnah sehingga bertolak belakang dengan pendapat yang dipegang oleh para pendahulu umat ini (ulama Salaf). Orang semacam ini mendakwa bahwa huruf waw dalam bilangan tersebut adalah menunjukkan penggabungan. Dia menguatkan pendapatnya dengan menyatakan bahwa Nabi menikahi sembilan orang isteri dan masih tetap mengumpulkan mereka sebagai isteri. Orang yang sampai sejauh ini ketololannya dan mengatakan pendapat semacam ini adalah golongan Râfidlah (Syi’ah ekstrem) dan Ahl azh-Zhâhir. Mereka menjadikan makna kata matsna sebagai itsnain-itsnain (dua-dua), demikian pula dengan kata tsulâts dan rubâ’. (artinya 2+3+4= 9 -red)
Pendapat golongan Ahl azh-Zhâhir lebih konyol lagi, mereka membolehkan untuk mengumpulkan hingga 18 orang isteri dengan berpegang kepada pendapat sendiri bahwa bilangan yang terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan makna pengulangan dan huruf waw bermakna penggabungan. Jadi, kata matsna maknanya adalah itsnain-itsnain (dua-dua), demikian selanjutnya. (Artinya 2+2+3+3+4+4= 18 -red).

Tentu, ini semua disebabkan kejahilan mereka terhadap makna bahasa dan as-Sunnah serta bertentangan dengan hal yang sudah menjadi ijma’ ummat ini, sebab tidak pernah didengar dari seorang shahabat atau Tabi’in pun yang memiliki isteri lebih dari empat orang”.

Kondisi Para Shahabat Saat Turunnya Ayat Tersebut

Di dalam kitab al-Muwaththa’, Sunan an-Nasâiy dan Sunan ad-Dâruquthniy bahwasanya Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafiy yang ketika masuk Islam masih memiliki 10 orang isteri, “Pilih empat orang saja di antara mereka dan ceraikan selain itu.”

Di dalam sunan Abi Dâud dari al-Hârits bin Qais, dia berkata: “ketika masuk Islam, aku masih memiliki 8 orang isteri dan hal itu aku laporkan kepada Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, “Pilihlah empat orang saja diantara mereka.”
Muqâtil berkata, “Sesungguhnya al-Hârits bin Qais masih memiliki 8 orang isteri, maka tatkala ayat tersebut turun, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam memerintahkannya untuk menceraikan empat orang dan mempertahankan empat orang yang lainnya.”

Tanggapan Atas Argumentasi Syi’ah Dan Ahl azh-Zhâhir

1. Bahwa pembolehan terhadap Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam tersebut adalah khusus buat diri beliau saja.

2. perkataan mereka bahwa waw bermakna penggabungan, memang terkadang dikatakan demikian tetapi dalam hal ini, Allah Ta’ala berbicara kepada orang Arab dengan bahasa yang paling fashih. Dan orang Arab tidak pernah mengucapkan “sembilan” dengan menggantinya dengan ucapan “dua dan tiga dan empat”. Demikian pula, mereka tidak membenarkan seseorang berkata: “berikan kepada si fulan empat, enam, delapan” sementara tidak pernah mengucapkan dengan “delapan belas”.

3. Kedudukan huruf waw dalam ayat tersebut adalah sebagai Badal (pengganti), yakni ” Nikahilah sebanyak tiga orang sebagai ganti dari (ketimbang) dua orang; empat orang sebagai ganti dari (ketimbang) tiga orang”. Oleh karena itulah (dari sisi bahasa), angka tersebut di’athaf-kan (dihubungkan) kepada huruf waw bukan kepada huruf aw. Andaikan huruf tersebut diganti dengan huruf aw tentu boleh dikatakan bahwa tidak mesti yang memiliki dua orang isteri bisa memiliki tiga orang isteri dan yang memiliki tiga orang isteri bisa memiliki empat isteri.

4. Adapun perkataan mereka, “Sesungguhnya kata matsna maksudnya adalah itsnain; tsulâtsa maksudnya adalah tsalâtsan ; rubâ maksudnya adalah arba’ an” ; ini merupakan kebohongan belaka yang tidak sesuai sama sekali dengan pendapat ahli bahasa dan merupakan kebodohan mereka.

5. Ada lagi yang karena kebodohannya mengatakan maksud dari kata matsna adalah itsnain-itsnain (dua-dua), tsulâtsa adalah tsalâtsan-tsalatsan (tiga-tiga), rubâ’ adalah arba’an arba’an (empat-empat) ; mereka tidak tahu bahwa kalau memang maksudnya itsnain-itsnain, tsalâtsan-tsalatsan, arba’an-arba’an justeru ini akan membatasi angkanya, padahal makna matsna, tsulâtsa, rubâ’ adalah sebaliknya.

Kewajiban berlaku adil di antara para isteri

Allah membolehkan poligami dan membatasi jumlahnya menjadi empat isteri saja serta mewajibkan berlaku adil di antara mereka dalam makanan, tempat tinggal, pakaian dan giliran bermalam (lamanya sama seperti yang lainnya) dan semua yang bersifat materil tanpa boleh membedakan antara yang kaya dan miskin, agung dan hina. Jika seseorang takut bertindak zhalim dan tidak dapat memberikan hak-hak mereka semua, maka haram baginya mengumpulkan semuanya.

Tetapi jika dia hanya mampu memenuhi hak tiga orang di antaranya saja tanpa yang ke-empat, maka haram baginya melaksanakan ‘aqad nikah atasnya (yang ke-empat ini). Demikian pula, bila hanya mampu memenuhi hak dua orang saja, maka haram baginya untuk mengadakan ‘aqad terhadap yang ke-tiga.

Lebih dari itu, barang siapa yang khawatir akan bertindak zhalim terhadap isteri kedua bila menikahinya, maka wanita inipun haram atasnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “…maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q,.s. 4/an-Nisâ’ :3)….Maksud kalimat (dalam teks ayat tersebut), adna allâ ta’ûlû artinya aqrab alla tajûrû (lebih dekat kepada tidak berbuat zhalim/aniaya)..

Juga berdasarkan hadits nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam (artinya), “Ya Allah! inilah bagianku yang aku miliki, maka janganlah Engkau cela aku terhadap apa yang Engkau miliki (menambahkan rasa cinta dan kecenderungan) dan tidak aku miliki.” (H.R.at-Turmuziy)

Dan di dalam hadits yang lain, beliau Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), “Barangsiapa yang memiliki dua isteri lantas condong/cenderung kepada salah satunya; maka di hari Kiamat nanti dia akan datang dalam kondisi salah satu sisi badannya timpang/jatuh.”

Dalam hal ini, bila dia memiliki tiga dan empat isteri juga akan mengalami hal yang sama.
Kemudian seakan keadilan yang ada di dalam al-Qur’an kontra antara ayat yang menyatakan bahwa tidak dapat berbuat adil walau berusaha seoptimal mungkin dengan ayat yang menyatakan keharusan berlaku adil.
Antara kedua bentuk ayat tersebut tidak kontradiksi sebab keadilan yang dituntut adalah keadilan yang bersifat lahiriah yang mampu dilakukan.

Artinya bukan keadilan di dalam rasa kasih sayang dan cinta sehingga harus sama rata perasaan itu terhadap para isteri sebab hal ini tidak dapat dilakukan oleh siapapun. Bahkan keadilan yang dinafikan di dalam ayat yang menafikannya tersebut adalah keadilan dalam cinta, kasih sayang dan jima’.

Demikian salah satu penafsiran Ibnu ‘Abbas mengenai ayat yang menafikan tersebut bahwa maksudnya adalah di dalam rasa cinta dan jima’.

Jadi, dari dalil-dalil yang menyatakan kewajiban untuk berlaku adil terdapat perintah untuk adil dalam pembagian baik itu hari, giliran, dst tetapi yang dimakruhkan itu adalah adanya kecenderungan di dalam menggaulinya bukan kecenderungan hati. Dan hal inilah yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap isteri-isteri beliau.

Bila seorang suami yang memiliki isteri lebih dari satu ingin bepergian, misalnya, dan ingin mengajak salah seorang diantara mereka, maka dia boleh mengajak siapa saja di antara mereka yang dia kehendaki akan tetapi bila diundi, maka ini lebih baik.
Demikian pula, bagi isteri yang kebetulan memiliki hak giliran boleh mengundurkan diri dan memberikan haknya kepada ‘madunya’ sebab itu adalah murni haknya sehingga dia boleh berbuat apa saja.

Hak Wanita Untuk Tidak Di- ‘madu’

Sebagaimana Islam mengaitkan poligami dengan kemampuan untuk berlaku adil dan membatasinya dengan empat isteri, begitu pula ia menjadikan sebagian dari hak wanita atau walinya untuk memberikan syarat agar tidak di-‘madu’.

Maka, bila seorang isteri mensyaratkan di dalam ‘aqad nikahnya agar suami tidak menikah lagi (memadunya), maka syarat ini adalah shah hukumnya dan berlaku.
Implikasinya, sang isteri memiliki hak untuk membatalkan pernikahannya bila sang suami tidak menepatinya dan haknya di dalam pembatalan tersebut tidak gugur kecuali bila dia sendiri yang menggugurkannya dan rela melanggarnya.

Ini merupakan pendapat Imam Ahmad yang diperkuat oleh Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. Demikian pula, ini adalah pendapat ‘Umar bin al-Khaththab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Mu’awiyah, ‘Amr bin al-‘Ash, Jabir bin Zaid, Thawus, Imam Auza’iy, Ishaq dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
Alasannya, bahwasyarat-syarat di dalam pernikahan lebih besar dampaknya ketimbang syarat-syarat di dalam jual-beli, sewa, dst. Oleh karena itulah, wajib komitmen terhadapnya dan menepatinya.

Pendapat ini didukung oleh beberapa dalil, diantaranya:

1. Hadits riwayat Bukhariy dan Muslim bahwasanya Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk ditepati adalah apa yang dengannya dihalalkan bagi kalian faraj (nikah).”

2. Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah bahwasanya al-Miswar bin Makhramah mengatakan kepadanya bahwa dirinya mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam ketika diatas mimbar bersabda, “Sesungguhnya Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, lantas aku tidak mengizinkan mereka, kemudian tidak aku izinkan, kemudian tidak aku izinkan kecuali bila Ibnu Abi Thalib (yakni ‘Ali) rela untuk menceraikan anakku dan menikahi anak perempuan mereka (tersebut). Sesungguhnya anakku adalah bagian dariku, apa yang menyangsikannya (akibatnya fatal baginya) adalah juga apa yang aku rasakan, dan apa yang menyakitinya adalah juga menyakitiku.”

3. Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “Sesungguhnya Fathimah adalah dariku dan aku khawatir hal itu akan membuatnya terfitnah di dalam agamanya.”

Terkait dengan hadits tersebut, Ibnu al-Qayyim mengomentari,
“Hukum tentang hal ini mengandung beberapa hal: bahwa seorang laki-laki bila memberikan syarat kepada isterinya bahwa dirinya tidak menikah dengan selainnya (memadunya), maka dia mesti menepati syarat tersebut dan bilamana dia menikah dengan selainnya (memadunya) maka adalah hak sang isteri untuk membatalkannya (fasakh). Sedangkan sisi cakupan hadits terhadap hal tersebut adalah bahwa dalam hadits tersebut Rasulullah memberitahukan bahwa hal itu menyakiti Fathimah radhiallaahu ‘anha, membuatnya sangsi/takut akan akibatnya yang fatal dan hal ini juga akan dirasakan oleh beliau…”.

Tentunya, ada pendapat ulama yang lain berkaitan dengan pensyaratan ini, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, dll bahwa persyaratan itu dianggap tidak ada dan tidak mesti dipenuhi oleh suami. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah,

Hadits Rasulullah bahwa beliau bersabda: “(ikatan yang terjadi diantara) kaum Muslimin berdasarkan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”. mereka berkata: syarat yang disyaratkan tersebut (mensyaratkan tidak dimadu) adalah mengharamkan hal yang dihalalkan, yaitu menikah (secara terang-terangan), menikah (secara sembunyi dengan budak) dan bepergian. semua ini adalah halal, jadi kenapa diharamkan. dan banyak lagi dalil yang lain, demikian pula dengan pendapat pertama, banyak lagi dalil-dalil mereka.

Ibnu Qudamah menguatkan pendapat pertama, diantara alasannya, bahwa pendapat-pendapat para shahabat yang telah disebutkan (oleh beliau di dalam bukunya al-Mughni yang mendukung pendapat pertama) tidak ada yang menentangnya pada masa mereka di kalangan para shahabat, maka ini dapat dikatakan sebagai Ijma’.

Kami cenderung dengan pendapat pertama karena argumentasinya lebih kuat. wallahu a’lam.

Semoga anda dapat menjalankan sunnah dengan tidak lupa mempertimbangkan sunnah lainnya. wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokaatuh.