Tangis dan tawa, dua hal yang bertentangan dan dalam logika sederhana, dua hal yang bertentangan tidak terkumpul pada saat yang sama dan tidak hilang bersama pada waktu yang sama, maka tidak ditemukan orang menangis sekaligus tertawa, atau tertawa sekaligus menangis pada saat bersamaan, atau orang yang diam sekaligus bergerak atau bergerak sekaligus diam, karena dua hal yang bertentangan tidak berkumpul di waktu yang bersamaan.

Tetapi mungkin bila tangis diikuti tawa sesudahnya atau tawa diiringi tangis setelahnya, jarang memang, tetapi bukan sesuatu yang mustahil karena ia bukan menyatukan dua hal yang bertentangan, akan tetapi mengiringkan salah satu dengan yang lain setelah yang lain pergi, menangis manakala perkara yang dia ketahui patut untuk diberi tangisan, namun begitu tahu perkara lain yang membahagiakan dan layak disikapi dengan tertawa, maka dia pun tertawa.

Tangis dan setelahnya tawa terjadi di hari terakhir kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada diri putri beliau Fatimah. Saat itu waktu Dhuha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil putrinya Fatimah, kemudian membisikkan sesuatu kepadanya dan Fatimah pun menangis seketika. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Fatimah untuk mendekat, beliau membisikkan sesuatu kepadanya dan seketika dia pun tertawa.

Ada apa gerangan? Tertawa hadir tidak lama setelah tangisan. Rasa penasaran menyergap Aisyah, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyaksikan pemandangan tersebut. Dia berkata, “Beberapa hari berikutnya kami bertanya kepada Fatimah tentang hal itu, dan Fatimah menjawab, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepadaku bahwa beliau meninggal pada saat yang beliau alami saat itu, maka aku pun menangis. Lalu beliau membisikkan kepadaku untuk kedua kalinya bahwa aku adalah orang pertama dari keluarga beliau yang akan menyusul beliau, dan aku pun tertawa.”

Tiada kesedihan melebihi kesedihan karena wafatnya ayahanda terkasih, lebih-lebih sang ayah adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sesuatu yang layak membuat orang lain, apalagi anak untuk menangis. Di sisi yang lain tiada kebahagiaan melebihi kebahagiaan menyusul ayahanda terkasih untuk menemaninya di sisi Rabbil alamin dalam naungan rahmat dan nikmatNya. Maka tangis pun segera berganti dengan tawa.

Dari ar-Rahiqul Makhtum, al-Mubarakfuri.