Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan mengenai korelasi ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam menakwilkan (menafsirkan) dan memahami ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu, sebagian ulama mengkhususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan itu. Di antaranya adalah Al-Burhaan fii Munasabati Tartiibi Suwar Al-Qur’an karya Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim Ibnu az-Zubair al-Andalusi An-Nahwi, kitab Nuzhum Ad-Durar fii Tanasubi Al-Ayat wa As-Suwar karya Burhanudin al-Biqa’i dan kitab-kitab yang lainnya.

Munasabah secara bahasa berarti kedekatan/kesesuaian. Dikatakan, ”fulan yunasibu fulanan” (si fulan seperti si fulan) maknanya ia mendekati dan menyerupai si fulan itu. Dan di antara pengertian ini ialah kesesuaian ’illat hukum dalam bab Qiyas, yakni sifat yang berdekatan dengan hukum.

Yang dimaksud dengan Munasabah di sini ialah sisi-sisi korelasi antara suatu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat-ayat yang lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat al-Quran secara balaghoh, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya, dan keindahan gaya bahasanya.

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ {1}

”Alif Laam Raa’,(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Huud:1)

Az-Zarkasy rahimahullah berkata:”Manfaatnya ialah menjadikan sebagian perkataan (kalimat) berkaitan dengan sebagian yang lainnya, hingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya kukuh dan bersesuaian dengan bagian-bagiannya laksana sebuah bangunan yang unsur-unsurnya saling terkait.” Menurut al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi, mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat yang lain hingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu yang besar.

Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antar ayat-ayat tersebut bukanlah hal yang tauqifi (langsung ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) tetapi didasarkan pada ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) dan penghayatannya terhadap kemukjizatan al-Quran, rahasia di balik balaghohnya, segi keterangannya yang mandiri, dan sesuai dengan dasar-dasar bahasa dalam ilmu bahasa Arab. Jika ada maka korelasi dapat diterima.

Tidak berarti bahwa seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena al-Quran turun secara bertahap sesuai dengan peristiwa yang terjadi. Seorang muffassir terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat dan terkadang tidak menemukan. Oleh sebab itu, ia tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu, sebab kalau memaksakan juga, maka kesesuaian itu hanyalah dibuat-buat dan hal itu tidak disukai. Syaikh Al-‘Izz bin ‘Abdussalam rahimahullah mengatakan:”Munasabah adalah ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata-kata secara baik itu disyaratkan hanya dalam hal yang mempunyai sebab yang berlainan, tidak disyaratkan adanya hubungan antara yang satu dengan yang lain.” Selanjutnya ia mengatakan:”orang yang menghubung-hubungkan hal demikian berarti ia telah memaksakan diri dalam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubungkan kecuali dengan cara yang sangat lemah dan tidak dapat diterapkan pada kata-kata yang baik, apalagi yang lebih baik. Itu semua mengingat al-Quran diturunkan dalam waktu lebih dari dua puluh tahun, mengenai berbagai hukum dan karena sebab-sebab yang berbeda. Oleh karena itu tidak mudah menghubungkan sebagiannya dengan sebagian yang lain.”

Sebagian Mufassir telah menaruh perhatian besar untuk menjelaskan korelasi antara kalimat dengan kalimat, dan ayat dengan ayat, surat dengan surat, dan mereka telah mengumpulkan segi-segi kesesuaian yang cermat. Hal itu disebabkan karena sebuah kalimat terkadang merupakan penguat terhadap kalimat sebelumnya, sebagai penjelasan, tafsiran atau sebagai komentar akhir. Yang demikian itu banyak contohnya.

Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang menyatukan, seperti perbandingan atau pengimbangan antara sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk mereka, penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat adzab, ayat-ayat berisi anjuran sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan setelah ayat-ayat tentang alam….dst.

Terkadang munasabah itu terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti ayat:

أَفَلاَ يَنظُرُونَ إِلىَ اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ {17} وَإِلىَ السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ {18} وَإِلىَ الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ {19} وَإِلىَ اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ {20}

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan Dan bumi bagaimana ia dihamparkan.” (QS. Al-Ghasiyah: 17-20)

Penggabungan antara onta, langit dan gunung-gunung ini karena memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, di mana kehidupan mereka bergantung pada onta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan minum onta. Hujan pun turun menyiramnya. Inilah yang menjadi sebab mengapa wajah mereka selalu menengadah ke langit. Kemudian juga mereka memerlukan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik daripada gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga mereka menjadi nomaden (hidup yang berpindah-pindah, maksudnya meninggalkan suatu daerah dan menetap di daerah lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat yang subur). Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat di atas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka.

Terkadang munasabah itu terjadi antara satu surat dengan surat yang lain, misalnya pembukaan surat al-An’am dengan Al-Hamdu:

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ {1}

”Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi,dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka.” (QS. Al-An’aam:1)

Ini sesuai dengan penutup surat al-Maa’idah yeng menerangkan keputusan di antara para hamba berikut balasannya:

} إِن تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِن تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ {118} قَالَ اللهُ هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتُُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ {119} للهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَافِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرُُ {120}

”Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.Allah berfirman:”Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadapnya. Itulah keberuntungan yang paling besar”. Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maa’idah: 118-120)

Sama juga dengan ayat

…وَقُضِيَ بَيْنَهُم بِالْحَقِّ وَقِيلَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {75}

” Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan:”Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Az-Zumar: 75)

Demikianlah pula surat al-Hadid yang dibuka dengan tasbih:

سَبَّحَ لِلَّهِ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ {1}

”Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hadiid:1)

Pembukaan ini sesuai dengan akhir surat al-Waqi’ah yang memerintahkan bertasbih (artinya):” Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Mahabesar.”(QS. Al-Waqi’ah: 96)

Begitu juga hubungan antara surat Quraisy dengan surat al-Fiil. Ini karena kebiasaan “tentara gajah” mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surat ini termasuk hubungan sebab-akibat seperti dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَالْتَقَطَهُ ءَالُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُاوا خَاطِئِينَ {8}

”Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (QS. Al-Qashash: 8)

Munasabah juga terjadi antara awal surat dengan akhir surat. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surat al-Qashash. Surat ini dimulai dengan menceritakan kisah Musa ‘alaihissalam, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya, kemudian menceritakan tentang tindakannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan do’a Musa ‘alaihissalam:

قَالَ رَبِّ بِمَآ أَنعَمْتَ عَلَىَّ فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ {17}

”Musa berkata:”Ya Rabbku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-Qashash: 17)

Kemudian surat ini diakhiri dengan menghibur Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa ia akan keluar dari Mekkah dan akan dijanjikan akan kembali lagi, serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir.

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَى مَعَادٍ قُلْ رَّبِّي أَعْلَمُ مَن جَآءَ بِالْهُدَى وَمَنْ هُوَ فِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ {85} وَمَاكَنتَ تَرْجُوا أَن يُلْقَى إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلاَّرَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُونَنَّ ظَهِيرًا لِلْكَافِرِينَ {86}

”Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.Katakanlah:”Rabbku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata”.Dan kamu tidak pernah mengharap agar al-Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia diturunkan karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu, sebab itu janganlah kamu sekali-kali manjadi penolong bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Qashash: 85-86)

Orang yang membaca dengan cermat kitab-kitab tafsir tentu akan banyak menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.

(Sumber: Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an Syaikh Manna’ al-Qohthon (edisi Indonesia) Pustaka al-Kautsar 18-123. oleh Abu Yusuf Sujono)