II. TAUHID ILMI I’TIQADI-(1) (Tauhid Rububiyah, Asma’ dan Sifat)

  • 1. Prinsip utama dalam masalah Asma ‘wa Sifat Allah Ta’ala ialah; meng-ITSBAT-kan (menetapkan) apa yang telah di-ITSBAT-kannya oleh Allah bagi diri-Nya, atau telah di-ITSBAT-kannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bagi Allah; tanpa TAMTSIL-(2) dan tanpa TAKYIF-(3) Juga menafikan apa yang telah dinafikan oleh Allah atau oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dari diri-Nya; tanpa TAHRIF-(4) dan tanpa TA’THIL-(5), sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, (artinya): “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Qs. Asy-Syura 42:11)

    Berbareng dengan itu, harus (pula) mengimani makna-makna dari setiap lafazh nushush (nash) dan yang ditunjuk oleh-Nya.

  • 2. Tamtsil (menyerupakan) dan ta’thil (menafikan) dalam masalah ‘asma dan sifat Allah adalah KUFUR.

    Adapun TAHRIF (Menyelewengkan lafazh atau makna asma’ dan sifat Allah) yang oleh ahlul bid’ah disebut TAKWIL-(6); maka di antaranya ada KUFUR seperti TAKWIL model BATHINIYAH-(7), di antaranya lagi ada yang bid’ah dhalalah (sesat) seperti takwil yang dilakukan oleh para penafi sifat (Allah), (Para penafi sifat di sini antara lain Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

    Salah satu prinsip ajaran Mu’tazilah di antara lima pokok ajaran ialah: TAUHID. Tetapi yang mereka maksudkan tauhid adalah menafikan sifat Allah, sebab kalau harus menetapkannya -menurut anggapan mereka- berarti harus menetapkan beberapa yang sifat QADIM; Dzat Allah qadim (tiada awal dan tiada yang mengawali-Nya), sifat-sifat-Nya qadim, dan juga sifat Allah banyak berarti terjadi banyak hal yang bersifat qadim; ini berarti (menurut mereka) SYIRIK.

    Sebagai konsekuensinya mereka harus menolak sifat Allah, mereka katakan: Allah mengetahui tetapi sifat Ilmu, Allah melihat, tetapi tanpa penglihatan (serba otomatis-pent.) dan seterusnya. Anggapan mereka ini jelas bertentangan dengan Al-Haq yang dianut oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah hal. 474, dan Ar-Risalah At-Tadmuriyah hal. 12)

    Sedangkan Asy’ariyah menetapkan tujuh sifat Dzatiyah bagi Allah berdasarkan ketetapan logika, dan mereka menafikan sifat-sifat Fi’liyah Allah serta mentakwilkannya kepada makna lain.(Lihat Ar-Risalah At-Taadmiyah hal. 22).) dan ada pula yang hanya sekedar kesalahan.

  • 3. Wihdatul Wujud (manunggaling kawula gusti) serta keyakinan bahwa Allah menjelma atau menyatu dengan suatu makhluk di antara makhluk-makhluk-Nya adalah KUFUR – keluar dari agama.

  • 4. Mengimani adanya MALAIKATUL KIRAM secara global. Adapun rincian nama-nama, sifat-sifat dan pekerjaan-pekerjaan mereka, harus didasarkan pada dalil yang shahih dan terbatas ilmu pengetahuan seorang mukallaf (dewasa).

  • 5. Iman kepada seluruh kitab yang telah diturunkan.

    Iman bahwa Al-Qur’an adalah yang paling afdhal (utama) dan menghapus (syari’at) kitab sebelumnya. Oleh karena itu wajib hanya ber-ittiba’ (mengikut) kepada Al-Qur’an tanpa kitab sebelumnya.

  • 6. Iman kepada para nabi dan rasul Allah –Shalawatullah wassalamuhu ‘alaihim- Mereka adalah orang-orang ter-afdhal dibanding manusia-manusia lain, dan siapa saja yang tidak beranggapan demikian, maka ia adalah KAFIR.

    Apabila ada dalil shahih tentang (berita) salah seorang tertentu di antara mereka, maka wajib mengimaninya secara tertentu pula. Wajib beriman kepada keseluruhan mereka secara global. Wajib mengimani bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling utama dan paling akhir di antara mereka, dan Allah telah mengutusnya untuk menusia seluruhnya.

  • 7. Iman dengan terputusnya wahyu sesudah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau adalah nabi dan rasul penutup. Siapa yang berkeyakinan tidak demikian adalah KAFIR

  • 8. Iman kepada hari Akhir, kepada berita-berita yang Shahih tentangnya dan kepada gejala serta tanda-tanda yang mendahuluinya.

  • 9. Iman kepada taqdir Allah -baik dan buruknya-, yakni dengan mengimani bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa yang bakal terjadi sebelum terjadi, dan Dia menuliskan hal itu di-LAUH MAHFUDH.-( LAUH MAHFUDH: Sebuah tempat yang tersebut dalam QS. Al-Buruuj 85: 21-22)

    بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيْدٌ فِيْ لَوْحٍ مَحْفُوْظٍ

    “Bahkan (yang didustakan oleh mereka) itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauhul Mahfudh”. Dan juga tersebut dalam hadits riwayat At-Thabrani (yang menurut Al-Haitsami MAUQUF kepada Ibnu Abbas tetapi rijalul isnadnya TSIQAT); (maknanya kurang lebih) “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Lauh Mahfudh, dari seberkas sinar putih, kedua tepiannya terdiri dari batu mulia berwarna merah, penanya adalah nur, dan luasnya seluas antara langit dan bumi. Allah melihat (Lauh Mahfudh ini) setiap hari (sampai) tiga ratus enam puluh kali. Setiap kali melihat Dia menciptakan, menghidupkan, mematikan, memuliakan, menghinakan, dan melakukan apa yang Dia kehendaki”.

    Lauh Mahfuzh tersebut adalah sebuah tempat yang di dalamnya Allah menuliskan segala takdir (ketentuan) makhluk-makhluk-Nya. (Perhatikan: Syarhut-Thahawiyah fil Aqidah As-Salafiyah hal. 217).)

    Bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, sedangkan apa yang tidak dikehendaki pasti tidak terjadi.

    Maka (sesuatu) tidak terjadi kecuali menurut apa yang telah Dia kehendaki. Allah Ta’ala berkuasa atas segala sesuatu Dia pencipta segala sesuatu dan Dia pasti berbuat sesuai dengan keinginan-Nya.

  • 10. Iman kepada perkara-perkara ghaib yang didasarkan pada dalil shahih seperti: Al-‘ARSY-(8), AL-KURSIY-(9), Surga, Neraka, nikmat atau siksa kubur, AS-SHI-RATH-(10), AL-MIZAN-(11) dan lain sebagainya; tanpa men-TA’WIL-kan sesuatu pun dari yang demikian.

  • 11. Iman dengan (adanya) Syafaat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam serta syafaat nabi-nabi lainnya, syafaat para malaikat, orang-orang shalih dan lain-lain pada hari Kiamat, sebagaimana telah dijelaskan rinciannya di dalam dalil-dalil yang shahih.

  • 12. Ru’yah (melihatnya) kaum Mukminin kepada Rabb’-nya pada hari kiamat di SURGA maupun di padang MAHSYAR adalah haq (benar) adanya. Siapa yang mengingkari atau mentakwilkannya berarti ia sesat dan menyimpang.

    Sedangkan ru’yah (melihat Rabb) itu tidaklah mungkin terjadi pada siapa pun di dunia.

  • 13. Karamah bagi para Wali (kekasih-kekasih) Allah serta orang-orang shalih adalah haq (benar) adanya, namun tidak setiap kejadian di luar nalar (KHARIQ LIL ‘ADAH) biasa disebut KARAMAH, tapi mungkin hal itu banyak merupakan ISTIDRAJ-(12) atau karena PENGARUH SYETAN DAN ORANG-ORANG BATHIL.

    TOLAK UKURNYA ialah sejalan atau tidaknya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

  • 14. Kaum mukminin kesemuanya merupakan wali-wali Ar-Rahman, dan setiap mukmin mendapat kasih-sayang (walayah) sesuai dengan kadar imannya.

Keterangan:

  • (1). Tauhid Ilmi I’tiqadi ialah tauhid yang berkaitan dengan pengilmuan (pemahaman dan pengenalan) terhadap Allah Ta’ala, Asma’, Sifat-sifat, perbuatan-perbuatan. qadla’ dan qadar-Nya.

    Tauhid inilah yang harus melandasi I’tiqad seseorang sebelum mengilmui dan mengimani tauhid ULUHIYAH.

    Seperti diungkapkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu Abil’Izzi Al-Hanafi, tauhid ini juga biasa disebut: Tauhid fil Ma’rifah wal Itsbat atau Tauhid Al’Ilmi Al-Khabari. (Syarhut Thahawiyah…hal.35 dan Fathul Majid Syarhu Kitabit Tauhid).

  • (2). Tamtsil artinya Tasybih yakni, menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti mengatakan: Allah punya tangan dan tangan-Nya seperti tangan manusia dan seterusnya

    (Perhatikan: Muhammad Khalil Harras-Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, terbitan Maktabah At-Turatsil Islami-Kairo tanpa tahun hal. 23. Lihat pula: Diktat Al-Majmu’ Al-Mufid li Masa’il Muhimmah Minat Tauhid untuk kelas ta’hilil tahun ajaran 1408 H. Ma’had ‘Ulumil-Islamiyah wal ‘Arabiyah-Jakarta, tulisan Ust. Abdulah bin Abdul Aziz Al-Iedan).

  • (3). TAKYIF artinya mempertanyakan bagaimana bentuk sifat Allah. (Perhatikan dua buku marji’ pada foot note no. (2)).

    Oleh karena itu, Imam Malik dan imam-imam salaf lainya ketika ditanya tentang makna ayat:

    اَلرَّحْمَـنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

    “Yang Maha Rahman bersemayam (ber-istiwa’) di atas Arsy” (Qs. Thaha 20: 5),

    mereka menjawab: ISTIWA’ (bersemayam) telah difahami maknanya, tetapi bagaimana bersemayam-Nya?, adalah MAJHUL (tidak diketahui oleh makhluk), sedangkan mengimani hal itu adalah wajib, adapun bertanya tentang BAGAIMANANYA adalah pertanyaan BID’AH. (Ibnu Taimiyah – Ar-Risalah At-Tadmu-riyah-Mujmal I’tiqadis Salaf, terbitan Jami’atul Imam Muh. Ibni Su’ud Al-Islamiyah – Fak. Syari’ah – KSA – tanpa tahun hal. 62).

  • .(4). TAHRIF: Tahriful Kalam artinya menyelewengkan makna suatu pembicaraan dari yang sebenarnya kepada yang tidak sebenarnya TANPA didukung dalil. (Muhammad Khalil Harras: Syarhul Aqidah Al-Wasithiyyah Syaikhul Islami Ibni Taimiyyah… hal. 22).

    Ustadz Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Iedan dalam diktat Al-Majmu’ Al-Mufidnya mendefinisikan bahwa:

    TAHRIF ialah: Menyelewengkan lafazh atau makna ayat-ayat sifat, misalnya; (Menyelewengkan lafazh):

    وَكَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

    Ayat (Qs. An-Nisa’/4: 164): Lafzhul Jalalah (الله) yang seharusnya RAFA’, bermakna: Dan Allah mengajak bicara kepada Musa secara langsung” oleh ahlul bid’ah di-NASHAB-kan menjadi:

    وَكَلَّمَ اللهَ مُوْسَى تَكْلِيْمًا

    hingga artinya berubah: “Musa mengajak bicara kepada Allah”. Hal itu dimaksudkan untuk mengingkari sifat “mengajak bicara”nya Allah

    (Menyelewengkan makna):

    Sifat Al-Ghadhab (الْغَضَبُ) yang berati “MARAH”, oleh ahlul bid’ah diartikan: “Kehendak untuk membalas”.

    Sifat Dzatiyah: Yad (tangan), diartikan: Nikmat atau kekuasaan dan lain-lain.

  • (5). TA’THIL artinya menafikan sifat-sifat Allah dan menafikan makna sesungguhnya dari ayat-ayat Asma’ dan Sifat. (Perhatikan Syarhul ‘Aqidah Al Wasithiyyah…..hal. 22)

  • (6). Makna TAKWIL menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah ialah:

    1. HAKIKAT yakni kenyataan sesungguhnya dari suatu pembicaraan atau suatu perkara. Contoh: Takwil tentang berita ghaib yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti SURGA, KENIKMATAN SURGA, NERAKA, HARI AKHIR dan seterusnya. ARTINYA: hal-hal itu benar ada secara hakiki. Hanya saja hakikat Surga seperti apa, madunya seperti apa (madunya benar-benar hakiki adanya, tetapi pasti beda dengan madu dunia. Inilah yang disebut MUTASYABIH/ serupa dari segi nama, namun dari segi hakikat MUHKAM/ pasti adanya), Neraka hakikatnya seperti apa ?, tidak seorang pun yang tahu hakikat sebenarnya. Tetapi adanya jelas hakiki. Itulah yang dimaksudkan oleh ayat:

    وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ

    jika dibaca waqaf sampai kata (إلا الله) (Ali Imran (3): 7) yang berarti: “Tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat sebenarnya melainkan Allah”.

    Contoh lain: Apa yang dikatakan oleh Nabi Yusuf alaihis salam kepada kedua orang tuanya ketika sudah duduk di singgasana sebagai raja:

    هَذَا تَأْوِيْلُ رُؤْيَايَ مِنْ قَبْلُ

    “Inilah takwil/ hakikat mimpiku sebelumnya” (Qs. Yusuf/12: 100).

    II .Berarti TAFSIR dan penjelasan. Istilah takwil ini banyak dipakai oleh para mufassirin (ahli tafsir) seperti Ibnu Jarir dan lain-lain.

    Kemudian istilah Takwil mnenjadi popular dikalangan MUTA’AKHIRIN dari para ahli fiqih dan AHLI KALAM dengan pengertian:

    “Mengalihkan makna suatu lafazh dari yang sebenarnya kepada yang bukan sebenanarnya karena dalil”. Inilah yang banyak mengundang permasalahan. Oleh karena itu jika istilah/ pengertian takwil yang terakhir ini benar-benar berdasarkan dalil, maka bisa dibenarkan. Tetapi jika tidak berdasarkan dalil, maka harus ditolak. (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah Fil Aqidah As-Salafiyah hal. 162-164. Ar-Risalah At-Tadmuriyah Mujmal I’tiqadus –Salaf-Ibnu Taimiyah hal. 59-60 dan Da’ru Ta’arudlil Aqli wan Naqli-Ibnu Taimiyah-Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim-cetakan pertama terbitan: Jami’atul Imam Muhammad Ibnu Su’ud Al-Islamiyah 1979/ 1299 H. hal. 14).

  • (7). Aliran BATHINIYAH: ialah aliran syi’ah Isma‘iliyah yang menetapkan imamah sesudah Ja’far (Ja’far As-Shadiq adalah seorang imam menurut faham syi’ah) adalah Isma’il bin Jafar berdasarkan ketetapan nash. Tetapi kemudian Isma’il ini mati maka satu kelompok diantara mereka beranggapan bahwa; ia tidak mati, tetapi hanya berpura-pura sebagai TAQIYYAH supaya tidak dibunuh oleh para khalifah Abbasiyah. Sedangkan satu kelompok lagi beranggapan bahwa ia mati sungguh-sungguh. Namun berhubung nash imamah sudah ditetapkan sedangkan nash itu tidak mungkin ditarik kembali, maka peristiwa kematiannya berfungsi sebagai pengalihan imamah kepada anaknya. Oleh karena itu imamah kemudian dipegang oleh Muhammad bin Isma’il.

    Dan AL-BATHINIYAH itu sendiri merupakan aliran yang berfaham bahwa imamah terhenti pada Isma’il bin Jafar dan Muhammad bin Isma’il. (Al-Milal wan Nihal-Asy-Syahristani, di dalam HAMISY daripada Al-Fashlu fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal – Ibnu Hazm Adh-Dhohiri, cet. II th. 1395 H./1975 M. Darul Ma’rifah-Beirut-Libanion, jld.2 hal. 5)

    (Selanjutnya pada buku yang sama hal. 29)

    Mereka adalah aliran yang mempunyai pola dakwah yang selalu berubah pada setiap zaman, dan mempunyai perkataan yang selalu baru tergantung pada siapa yang mengatakannya.

    Mereka disebut Al-Bathiniyah karena ketetapan bahwa setiap yang dhahir mempunyai makna bathin, dan setiap ayat yang turun harus ditakwil.

    Julukan mereka banyak. Di Irak dikenal: Bathiniyah, Qaramithah dan Mazdukiyah. Di KHURASAN dikenal: Taklimiyah dan Mulhidah (aliran yang menyimpang). Dan mereka menyebutkan diri sendiri sebagai: Isma’iliyah, karena anggapannya, dengan nama ini mereka terbedakan dari syi’ah-syi’ah lainya.

    Faham mereka tentang Allah: bahwa Allah, TIDAK dikatakan ADA dan tidak pula tidak ada. Dia tidak dikatakan pintar dan tidak dikatakan bodoh, tidak dikatakan KUASA dan tidak dikatakan TIDAK KUASA dan seterusnya.

    Dalam Ar-Risalah Attamdmuriyah-Ibnu Taimiyah hal. 11 dan seterusnya dikatakan bahwa mereka memiliki kesamaan faham dengan orang kafir, kaum musyrikin, ahlul kitab dan seterusnya yakni mereka menetapkan sifat negatif secara terinci bagi Allah, oleh karena itu apa yang mereka katakan benar-benar sudah sampai pada bentuk meniadakan hakekat Dzat Allah dan sampai pada bentuk menyerupakan Allah dengan hal-hal yang tidak mungkin ada atau dengan benda-benda mati .. demikianlah seterusnya .. mereka melakukan tahrif atau takwil terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala.

    (Kemudian dalam Ar-Risalah At-Tadmuriyah hal. 33-34 diungkapkan sebagai berikut:)

    Akhirnya mereka menjadikan SYARIAT, berupa perintah dan larangan mempunyai takhwil bathin yang bertentangan dengan pemahaman kaum muslimin. Mereka katakan bahwa: perintah shalat lima waktu berarti perintah untuk mengenal rahasia, puasa Ramadhan berarti perintah untuk menyimpan rahasia mereka dan seterusnya.

    Demikianlah mereka telah mendustakan ayat-ayat Allah serta perintahnya dengan kedok takwil. Mereka telah melakukan berbagai perubahan terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala.

    Dan Bathiniyah adalah golongan yang menyimpang atau ingkar yang menurut ijma’ kaum muslimin: Lebih KAFIR daripada Yahudi dan Nashrani.

  • (8). Al-‘Arsy ialah singgasana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat. Ia bagaikan kubah alam semesta. Ia adalah atapnya segenap makhluk. Allah berfirman (Qs. Al-Haaqah/69: 17)

    وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

    “Dan pada hari itu delapan orang malaikat mengangkat Arsy Tuhanmu di atas kepala mereka”.

    Lihat pula Qs. Al-Ghafir 40:70. Dari hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim; Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُوْنَ فَأَكُوْنُ أَوَّلَ مَنْ يَفِيْقُ فَإِذَا أَنَا بِمُوْسَى آخُذُ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ الْعَرْشِ فَلاَ أَدْرِيْ أَفَاقَ قَبْلِيْ أَمْ بَعْدِيْ.

    “Maka sesungguhnya manusia semuanya pingsan, aku adalah yang pertama siuman. Tiba-tiba aku bersama Musa ‘alaihis salam berpegang pada salah satu kaki di antara kaki-kaki Arsy. Aku tidak tahu apakah ia siuman sebelumku atau sesudahku….”

    Dalam Sunan Abi Dawud; kitab As-Sunnah No. 4726, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    إِنَّ عَرْشَهُ عَلَى سَمَاوَاتِهِ لَهَكَذَا، وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ مِثْلَ الْقُبَّةِ.

    “Sesungguhnya Arsy-Nya Allah di atas langit-langit adalah seperti ini -beliau mengatakan sambil mengisyaratkan dengan jari-jarinya- seperti KUBAH”.

    Dalam Kitab Shahih Bukhari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

    إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ الْجَنَّةَ فَاسْأَلُوْهُ فِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ.

    “Apabila kamu memohon Surga kepada Allah, maka mohonlah surga Firdaus, karena sesungguhnya Firdaus itu adalah Surga paling tengah-tengah dan Surga paling atas, dan DI ATAS-nya adalah ‘ARSY-Nya Yang Maha Rahman”.

    Kalimat (di –ATAS-nya) ditafsirkan: dan sebagai ATAP-nya.

    Kemudian Al’Arsy itu terletak di atas air, perhatikan QS. HUD 11: 7. Juga Shahih Muslim: 2: 300.

    (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah fil- ‘Aqidah As-Salafiyah hal. 229-231).

  • (9). Al-KURSIY: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab SIFAT ARSY, dan di riwayatkan pula oleh Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak –yang menurut beliau- periwayatannya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Bukhari Muslim namun beliau berdua tidak mengeluarkan riwayat ini: Dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat 255 surat Al-Baqarah:

    وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَـوَاتِ وَاْلأَرْضَ

    “Luasnya Kursi Allah seluas langit dan bumi”. Ibnu Abbas berkta: Al-Kursiy adalah tempat meletakkan kedua Telapak Kaki Allah.

    Ibnu Jarir At-Thabari (tafsir At-Thabrari J 3 Hal. 8 terbitan Bulaq) meriwayatkan dari Abu Dzar: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah Al-Kursy itu (dibandingkan Al-Arsy) melainkan seperti gelang dari besi yang dilemparkan ke tengah-tengah gurun pasir yang luas”.

    (Perhatikan Syarhut-Thahawiyah fil Aqidah As-Salafiyah hal. 232 dan Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid bab paling akhir).

  • (10). As-Shirath ialah jembatan membentang di atas Jahanam yang bakal dilintasi oleh manusia setelah mereka berada dalam sebuah kegelapan, seperti diceritakan oleh Aisyah radhiallahu ‘anha manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalla ditanya tentang “di mana manusia berada ketika bumi pijakannya sudah lain? Beliau menjawab: Mereka di dalam sebuah kegelapan di belakang JEMBATAN (As-Shirath)”.

    Menurut beberapa riwayat, antara lain diceritakan oleh Al-Baihaqi dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak: Bahwa ketajaman As-Syirath bagaikan tajamnya mata pedang, dan sangat licin. Kecepatan orang yang melintas di atasnya akan sesuai dengan nur yang mereka miliki, maka ada di antaranya yang berjalan secepat jatuhnya sebuah bintang, ada yang seperti angin, ada yang seperti orang-orang berlari-lari kecil, ada yang merayap dst….

    (Perhatikan cerita selengkapnya dalam Syarhut-Thahawiyah hal. 396-370, dan Mustadrakul Hakim 2: 275).

  • (11). Al-Mizan: adalah alat untuk menimbang amal perbuatan manusia Firman Allah:

    فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِيْنُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ، وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْا أَنْفُسَهُمْ.

    “Maka barangsiapa yang berat timbangan amalnya, mereka itulah orang-orang yang beruntung, dan barangsiapa yang ringan timbangan (amalnya) maka mereka itulah yang merugikan dirinya sendiri….” (Qs. Al-A’raf/7: 8-9)

    Menurut Al-Qurthubi: para ulama berpendapat bahwa berlakunya Mizan ini setelah manusia dihisab. Jadi setelah dihisab, baru amal mereka ditimbang dan akhirnya masing-masing mendapat balasannya.

    Dan menurut riwayat Ahmad dalam Al-Musnad: Al-Mizan mempunyai dua ujung, apabila salah satu ujungnya diisi dengan daftar catatan amal perbuatan manusia yang jumlahnya mencapai 99 daftar catatan, sedangkan masing-masing panjangnya sejauh mata memandang, dan satu ujungnya lagi diisi kartu yang berisikan kalimat syahadat, maka ujung yang diisi harta yang berisikan syahadat tersebut akan lebih berat.

    (Perhatikan cerita lengkapnya dalam Syarh Thahawiyah hal. 371-372.

    Perhatikan pula Fathul Majid – Bab Fadhlit-Tauhid wamaa Yukaffiru minadzunub yang menukil dari riwayat Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

  • (12). Firman Allah Ta’ala:

    وَالَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُوْنَ

    “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka secara bertahap (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui”. (QS. Al-A’raf/7: 182).

    (Istidraj) menurut Ibnu Katsir, artinya: akan dibukakan pintu-pintu rizki dan berbagai kemudahan hidup di dunia, hingga mereka menjadi lalai dengan apa yang mereka ada di dalamnya, sementara mereka tetap yakin bahwa hal itu berguna, sebagimana Firman Allah:

    فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ. فَقُطِعَ دَابِرُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

    “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, hingga jika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan pada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong maka ketika itu mereka terdiam putus asa. Maka orang-orang zhalim dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”. (QS. 6: 44-45)-Tafsir Ibnu Katsir, juz II hal. 270.