Hukum Menikahi Wanita Ahlu Kitab

Dalam masalah ini para ulama’ berbeda pendapat :

  • Jumhur (maryolitas) ulama membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahlul kitab, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:

    • Firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam surat al- Maidah:
      Artinya:” Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amal-amalnya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S al-Maidah: 5)
      Dan al-Qotaadah berkata tenatang ayat ini: “Allah Ta’ala telah mengahalkan untuk kita dua wanita yang terjaga, yang wanita yang terjaga dari kalangan mu’min dan wanita yang terjaga dari kalangan ahlul Kitab. Wanita-wanita muslimah haram untuk laki-laki ahlul Kitab dan wanita-wanita ahlul kitab halal bagi laki-laki muslim.”
      Dan ayat ini sebagai pengkhususan dari ayat yang ada dalam surat al-Baqarah ayat: 221.
    • Hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
      Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana diriwayatkan Ibnu Jarir dari Jabir bin Abdillah: “Kami menikahi wanita-wanita ahlul Kitab dan laki-laki ahlul Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami.”
    • Karena Ahul Kitab merupakan golongan tersendiri dari orang-orang musyrik dan orang-orang kafir. Dan dengan kesyirikan dan kekafiran yang mereka lakukan, tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang pada asalanya termasuk orang-orang musyrik. Dan dasar pijakannya adalah Firman Allah dalam beberapa ayat ketika berbicara tentang orang-orang kafir menyebutkan orang-orang musyrik setelah orang-orang Ahlul Kitab. Dan ungkapan seperti ini menunjukkan perbedaan mereka. Sebagaimana dalam firman-Nya:
      Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.” (Q.S al-Bayyinah: 1)
      Allah Subhaanahu wa Ta’ala juga berfirman:
      Artinya: “ Orang-orang kafir dari ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu…”(Q.S al-Baqarah: 105)

  • Sebagian ulama mengaharamkan secara keras pernikahan semacam ini, dan dalil-dalil mereka adalah sebagai berikut:

    • Firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:
      Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik….”(Q.S al-Baqarah: 221)
      Dan secara konteks keumuman larangan di dalam ayat ini menyangkut orang-orang penyembah berhala dan ahlul Kitab. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala:
      Artinya: ”Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang-orang Nashrani berkata: “al-Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling ?“(Q.S at-Taubah: 30)
    • Bahwa ahlul Kitab yang di zaman sekarang tidaklah seperti ahlul Kitab di zaman Rasulullah, karena ahlul Kitab yang pada zaman sekarang ahlul Kitab akibat pemurtadan atau nenek moyang mereka secara asal bukan dari ahlil Kitab.

    Dari argumentasi yang telah dipaparkan oleh dua kelompok di atas, maka pendapat yang paling kuat diantara pendapat yang ada adalah pendapat yang mengatakan bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi para wanita ahlul Kitab sebagaimana pendapat jumhur ulama. Dan hukum ini berlaku bagi setiap wanita yang perkataannya dan keyakinannya serta tuntunannya sesuai dengan perkataan dan keyakinan serta tuntunan ahlul Kitab.

    Syarat Dibolehkannya Menikahi
    Wanita Ahlul Kitab

    Meskipun para Ulama dan ahli Fiqh dikalangan kaum muslimin mengatakan bolehnya menikahi wanita ahli kitab secara mutlak dari kalangan Yahudi dan Nashrani sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’anul Karim, namun tidak mengenyampingkan perlunya peringatan dan penjelasan bagi kaum muslimin bahkan setiap muslim yang menghendaki pernikahan semacam ini kecuali dalam kondisi tertentu seperti telah memilikin aqidah yang kuat (lurus dan benar), memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’atnya, senantiasa berusaha mengaplikasikannya dan membiasakannya (dalam kehidupan sehari-hari). Kalau tidak demikian maka para Ulama menganggap pernikahan yang semacam ini tidak disukai dan haram hukumnya. Hal ini dikarenakan nikahnya seorang muslim dengan wanita ahlul kitab, sementara aqidah dia tidak kuat, bodoh terhadap hukum-hukum syari’at Islam, dan cenderung menyelisihi dari jalan yang benar menjadikan sebab dia binasa, juga keturunannya dan keluarnya mereka dari Islam seperti lepasnya busur panah dari sarangnya.

    Maka dalam kondisi dan keadaan seperti ini para Ulama mengutamakan pernikahan seorang muslim yang seperti ini dengan wanita muslimah yang memiliki agama yang kuat, dan yang demikian berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

    فاظفر بذات الدين تربت يداك

    Artinya: …..pilihlah wanita yang beragama, kalau tidak niscaya kamu akan celaka. (al-Hadits).

    Dan karena yang demikian juga dapat menjamin lurusnya aqidah seseorang, selamat agamanya, keluarganya bahagia, perkembangan anak-anaknya baik dalam naungan Islam.