Yang dimaksud dengan pengumpulan al-Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian.

Pertama: Pengumpulan dalam arti hifzhuhu(menghafalnya), Jummaa’ul Qur’an artinya huffazhuhu(penghafalnya, yaitu orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menggerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca al-Qur’an ketika al-Qur’an turun kepadanya sebelum Jibril ‘alaihissalam selesai membacakannya, karena hasrat besarnya untuk menghafalnya.

لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” (QS. Al-Qiyamah: 16-19)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat ingin segera menguasai al-Qur’an yang diturunkan. Beliau menggerakan kedua lidah dan bibirnya karena takut apa yang turun itu terlewat, beliau ingin segera menghafalnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan:

لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” (QS. Al-Qiyamah: 16-19)

Maksudnya adalah Kami lah yang bertanggung jawab mengumpulkannya (menjadikan kamu hafal) di dalam dadamu, kemudian Kami akan membacakannya. Firman-Nya:” Apabila Kami telah selesai membacakannya.” artinya:“Apabila Kami telah menurunkannya kepadamu.” Makna ayat:” maka ikutilah bacaannya itu.” adalah dengarkan dan perhatikanlah ia. Adapun maksud ayat:” Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.” yakni menjelaskannya melalui lisanmu. Dalam redaksi yang lain dikatakan, “Atas tanggungan Kami lah membacakannya.” Maka setelah ayat ini turun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam apabila Jibril ‘alaihissalam datang. Dalam redaksi yang berbeda, “Beliau mendengarkan.” Dan bila Jibril ‘alaihissalam telah pergi, barulah beliau membacanya sebagaimana diperintahkan Allah.”(Diriwayatkanoleh al-Bukhari dan Muslim)

Kedua: Pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kuluhu (penulisan al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan (mengurutkan) ayat-ayatnya saja dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagiannya ditulis sesudah sebagian yang lain.

Pengumpulan al-Qur’an Pada zaman Nabi dalam Konteks Hafalan.

Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, amat menyukai wahyu, beliau senantiasa menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti yang dijanjikan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ (17) ُ (19)

“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (QS. Al-Qiyamah: 17)

Oleh sebab itu, beliau adalah penghafal al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para Sahabat dalam menghafalnya, sebagai bentuk cinta mereka kepada sumber agama dan risalah Islam. Al-Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan diletakkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang memiliki daya hafal yang kuat. Sebab pada umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-beirta, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan dalam hati mereka (hafalan).

Dalam kitab Shahih-nya al-Bukhari rahimahullah telah mengemukakan tentang tujuh penghafal al-Qur’an dengan tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil maula Abu Hudzaifah, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu ad-Darda radhiyallahu ‘anhum.

1. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Ambillah al-Qur’an dari empat orang Sahabatku, Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz, dan Ubay bin Ka’ab.” (HR. al-Bukhari) Keempat orang tersebut dua orang dari Muhajirin, Abdullah bin Mas’ud dan Salim, dan dua orang dari Anshar yaitu Muadz, dan Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhuma.

2. Diriwayatkan dari Qatadah rahimahullah, ia berkata:“Aku bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, siapakah orang yang mengumpulkan (menghafal) di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Dia menjawab “Empat orang. Semuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid “ Aku bertanya lagi:“Siapa Abu Zaid?””Salah seorang pamanku” jawabnya. (HR. al-Bukhari)

3. Dan diriwayatkan pula melalui Tsabit, dari Anas radhiyallahu ‘anhu katanya:“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat sedang al-Qur’an belum dihafal kecuali oleh empat orang; Abu ad-Darda, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.” (HR. al-Bukhari)

Abu Zaid yang disebutkan dalam hadits-hadits di atas penjelasannya terdapat dalam riwayat yang dinukil oleh Ibnu Hajar rahimahullah dengan isnad yang memenuhi persyaratan al-Bukhari. Menurut Anas radhiyallahu ‘anhu,“Abu Zaid penghafal al-Qur’an itu, namanya Qais bin sakan. Ia adalah seorang laki-laki dari Bani Adi an-Najjar dan termasuk salah seorang paman kami. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, dan kamilah pewarisnya.”

Ibnu Hajjar ketika menuliskan biografi Sa’id bin ‘Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk seorang penghafal al-Qur’an dan dijuluki dangan al-Qari’pembaca al-Qur’an. (al-Ishabah)

Penyebutan para penghafal yang berjumlah tujuh atau delapan orang di atas bukanlah pembatasan jumlah, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan kitab Sunan menunjukkan bahwa para Sahabat radhiyallahu ‘anhum berlomba menghafal al-Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam shalat di tengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar bagai suara lebah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun sering melewati rumah-rumah orang Anshar, lalu beliau berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang sedang membaca al-Qur’an.

Menurut Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhum, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:“Seandainya engkau melihatku tadi malam, waktu aku mendengarkan engkau membaca al-Qur’an. Sungguh kamu telah diberi satu seruling dari seruling Nabi Dawud.” (HR. al-Bukhari)

Diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma berkata:“Aku telah menghafal al-Qur’an dan aku mengkhatamkannya pada setiap malam. Hal ini sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersbada:“Khatamkanlah dalam masa satu bulan saja.”(HR. an-Nasaa’i dengan isnad yang shahih)

Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:” Sesungguhnya aku mengenal kelembutan alunan suara keluarga besar Asy’ari di waktu malam ketika mereka berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari bacaan al-Qur’annya di waktu malam, sekalipun aku tidak melihat mereka masuk di rumah mereka pada siang hari.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Di samping ghirah (semangat-ed) para Sahabat radhiyallahu ‘anhum untuk mempelajari dan menghafal al-Qur’an, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun mendorong mereka kearah itu dan memilih orang tertentu untuk mengajarkan al-Qur’an kepada mereka. ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu berkata:“Apabila ada seseorang yang hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyerahkan kepada salah seorang di antara kami untuk mengajari al-Qur’an. Di Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering terdengar suara gemuruh suara orang-orang membaca al-Qur’an, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka agar merendahkan suara mereka supaya tidak saling mengganggu.” (Manahilul ‘Irfan az-Zarqani, 1/234)

Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan al-Bukhari dengan tiga riwayat di atas, maksudnya mereka itulah yang hafal seluruh isi al-Qur’an di luar kepala, dan selalu merujukkan hafalannya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedangkan para penghafal al-Qur’an yang lainnya –yang berjumlah banyak- tidak memenuhi hal-hal tersebut, terutama karena para Sahabat radhiyallahu ‘anhum telah tersebar di pelbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para Sahabat radhiyallahu ‘anhum yang terbunuh di Bi’ru Ma’unah (nama sumur) semuanya disebut sebagai qurra’, jumlahnya tujuh puluh orang sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih. Menurut al-Qurthubi rahimahullah, “Ada tujuh puluh orang qor’i yang terbunuh pada perang Yamamah. Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dalam pertempuran di Bi’ru Ma’unah, terbunuh juga sebanyak itu.”

Inilah pemahaman dan takwil (tafsir) para ulama terhadap hadits-hadits shahih yang menunjukkan pembatasan jumlah para penghafal al-Qur’an yaitu hanya tujuh orang seperti yang telah dikemukakan di atas. Dalam mengomentari riwayat Anas yang menyatkan,“Tak ada yang hafal al-Qur’an kecuali empat orang,” Al-Mawardi rahimahullah mengatakan bahwa ucapan Anas radhiyallahu ‘anhu tidak bisa diartikan apa adanya, sebab mungkin saja Anas radhiyallahu ‘anhu tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak, maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal al-Qir’an sedangkan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum amat banyak jumlahnya dan tersebar di pelbagai wilayah? Pengetahuan Anas radhiyallahu ‘anhu tentang orang-orang yang hafal al-Qur’an itu tidak dapat diterima kecuali kalau ia bertemu dengan setiap orang yang menghafalnya dan orang itu menyatakan bahwa ia belum sempurna hafalannya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang demikian ini amat tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan, karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu adalah pengetahuannya sendiri maka hal itu tidak berarti bahwa kenyataan yang sebenarnya memang demikian. Di samping itu, bukanlah syarat kemutawatiran juga menghendaki agar semua pribadi hafal, bahkan jika semua Sahabat radhiyallahu ‘anhum telah hafal –sekalipun tidak istimewa- maka itu sudah cukup.”

Dengan paragraph terakhir di atas al-Mawardi rahimahullah membantah/menjawab orang-orang yang tidak beriman (atheis) yang berdalil dengan riwayat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang menunjukkan sedikitnya jumlah penghafal al-Qur’an, sehingga al-Qur’an tidaklah mutawatir. Kami (Manna’ al-Qathtahan) menambah jawaban al-Mawardi terhadap mereka, bahwa di samping hafalan, juga masih ada catatan (tulisan) al-Qur’an yang akan kami jelaskan nanti. (lihat al-Itqon 1/72)

Dengan penjelasan ini, al-Mawardi rahimahullah telah menghilangkan keraguan yang mengesankan sedikitnya jumlah para penghafal al-Qur’an dari kalangan Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Al-Mawardi rahimahullah dengan cara meyakinkan, telah menjelakan kemungkinan-kemungkinan yang kuat mengenai pembatasan jumlah penghafal dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu tersebut, dengan penjelasan yang cukup memuaskan.

Abu ‘Ubaid menyebutkan dalam kitab Al-Qira’at sejumlah qari’ (pembaca dan penghafal al-Qur’an) dari kalangan Sahabat. Dari kaum Muhajirin dia menyebut nama empat orang khalifah, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin as-Saib, empat Abdullah (Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, dan Abdullah bin az-Zubair), ‘Aisyah, Hafshah, dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum. Adapun dari kalangan Anshar; ‘Ubadah bin Shamit, Muadz yang dijuluki Abu Halimah, Majma’ bin Jariyah, Fudhail bin ‘Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad radhiyallahu ‘anhum. Ditegaskannya bahwa sebagian mereka itu menyempurnakan hafalannya sepeniggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. (sl-Itqam 1/72)

Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan dalam Thabaqat al-Qurra’:“Jumlah qari’ tersebut adalah jumlah mereka yang menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan Sahabat-sahabat radhiyallahu ‘anhum yang hafal al-Qur’an namun sanadnya tidak sampai kepada kita, jumlah mereka itu banyak.”

Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa para penghafal al-Qur’an di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegang (bersandar) pada hafalan dalam penukilan sesuatu di masa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibnul Jazari rahimahullah (penulis kitab an-Nasyr fii al-Qurra’ al-‘Asyr) sebagai salah seorang syaikh (guru) para penghafal al-Qur’an pada masanya menyebutkan:“Penukilan al-Qur’an dengan berpegang pada hafalan –bukan pada tulisan dan kitab- merupakan salah satu jenis keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini.”

(Sumber: Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an, syaikh Manna al-Qaththan, edisi terjemah pustaka al-Kautsar hal. 150-156 dengan sedikit perubahan. diposting oleh Abu Yusuf Sujono)