Jabatan dengan kursinya yang empuk dan kepemimpinan dengan fasilitasnya yang nyaman menjadi magnet kuat yang menyedot keinginan banyak orang untuk berlomba-lomba meraihnya, siapa yang tidak ingin duduk di kursi empuk dengan fasilitas gratis dan ditambah dengan ‘buntut-buntut’ yang menggiurkan? Lebih dari itu terbukanya kesempatan untuk mendapatkan ‘sabetan-sabetan’ yang membuat kantong menjadi tebal dan perut semakin buncit, walaupun tidak semuanya demikian, tetapi fakta lapangan cenderung kepadanya. Lihat saja bagaimana saat seseorang berhasrat memegang sebuah kursi kepemimpinan, apa yang dia lakukan demi itu? Gedebak-gedebuk ‘menjual diri’ merogoh kocek sebagai modal berapa pun jumlahnya, maka lumrah saat dia sudah menjabat, dia lalu gedebak-gedebuk catut sana catut sini untuk mengembalikan modal, inilah lahan basah yang orang sekarang menyebutnya korupsi.

Sebenarnya kalau kita berpikir jernih, kepemimpinan yang didapat dengan ‘membeli’ bukanlah kepemimpinan yang baik, rakyat yang dipimpin bukan pendudukung yang baik bila mereka hanya mau mendukung dengan bayaran, bila demikian lalu untuk apa sebuah kepemimpinan, kursinya buruk dan obyeknya juga buruk, sehingga yang dihasilkan juga bukan kebaikan. Kepemimpinan dengan selimutnya yang menggiurkan membuat orang-orang meminta, bahkan tidak sebatas meminta tetapi memburu, apa pun caranya, bagaimana pun kendaraannya, situasi ini dimanfaatkan oleh orang-orang semodel dengan orang-orang yang memburu kepemimpinan itu, mereka akhirnya menjual hak pilih mereka dengan beberapa keping dirham yang tidak seberapa. Jadilah simbiosis mutualisme, sama-sama diuntungkan karena keduanya sama-sama berhasrat kepada duit.

Cobalah sejenak menengok sirah hidup para pemimpin shalih di zaman dulu, lihatlah jarak perbedaan antara mereka dengan pemimpin zaman ini, bainas sama`i was sumur (antara langit dengan dasar sumur).

Musa bin Uqbah berkata, manakala Iyadh bin Ghanam menjadi gubernur, beberapa orang keluarganya datang kepadanya, mereka meminta kebaikannya. Iyadh menyambut mereka dengan baik dan menghormati mereka. Beberapa hari mereka menjadi tamu Iyadh, lalu mereka menyampaikan maksud kedatangan mereka, yaitu agar Iyadh berbuat baik karena dalam kondisi membutuhkan.

Mereka yang berjumlah lima orang diberi sepuluh dinar untuk masing-masing orang, karena kecilnya pemberian Iyadh, maka mereka menggerutu dan menyumpahinya. Iyadh berkata, “Saudara-sudaraku, demi Allah, aku tidak memungkiri kekerabatan kita, bahkan kalian mempunyai hak, lebih-lebih kalian datang dari negeri yang jauh, akan tetapi perlu kalian ketahui bahwa apa yang aku berikan kepada kalian itu adalah hasil dari menjual budak dan perlengkapan yang aku sendiri sebenarnya membutuhkannya. Maafkan aku.”

Mereka menjawab, “Demi Allah tidak, karena engkau adalah gubernur setengah dari wilayah Syam, tetapi engkau hanya memberi kami beberapa keping yang kalau dipakai pulang ke kampung halamannya saja belum tentu cukup.” Iyadh menjawab, “Kalian memintaku mencuri harta Allah? Tidak demi Allah, aku digergaji dari ubun-ubunku adalah lebih baik bagiku daripada aku mengkorup harta Allah walaupun hanya sekeping.”

Mereka berkata, “Kami bisa memaklumi hal ini, tetapi engkau bisa mengangkat kami sebagai pegawaimu sehingga kami bisa mengambil manfaat dari pekerjaan tersebut, lebih-lebih engkau sudah mengenal keadaan kami.” Iyadh menjawab, “Aku mengenal kalian sebagai orang-orang yang baik, akan tetapi apa yang akan aku katakan kepada Umar bin al-Khatthab bila dia tahu kalau aku menunjuk para pegawai dari keluargaku sendiri.” Mereka berkata, “Abu Ubaidah merekomendasikanmu kepada Umar padahal engkau masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya dan Umar menyetujui, kalau engkau menunjuk kami maka Umar pasti tidak keberatan.” Iyadh menjawab, “Aku tidak setara dengan Abu Ubaidah di mata Umar.” Maka mereka bubar dengan menggerutu. Wallahu a’lam.