VII. JAMA’AH DAN IMAMAH

  • 1. Rasullulah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ اِفْتَرَقُوْا فِيْ دِيْنِهِمْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ اْلأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً، يَعْنِيْ اْلأَهْوَاءَ كُلَّهَا، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٍ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ.

    “Sesungguhnya dua hal ahlul kitab (Yahudi & Nashara) telah terpecah dalam agama mereka menjadi tujuhpuluh dua agama, dan sesungguhnya ummat ini (umat Islam) akan terpecah menajdi tujuhpuluh tiga sakte (golongan), semunya di dalam nereka kecuali SATU yaitu Al-JAMA’AH”. (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Al-Albani).

    Al-Jama’ah dalam Hadits tersebut diterangkan melalui riwayat hadits yang lain:

    مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.

    “Apa yang kau dan shahabatku (berjalan) diatasnya”

    Jadi Al-Jama’ah di sini tolak ukurnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Shahabatnya.

    Perhatikan dan simak ungkapan para ulama yang pendapatnya dinukil oleh Muhammad Abdul Hadi Al-Misri; ahlus Sunnah Wal-Jama’ah Ma’alim Inthilaqatul Kubra, mengenai Ta’rif Al-Jama’ah, hal . 45-48.

  • 2. Allah Ta’ala berfirman: “Dan berpegang teguhlah kamu kepada tali Allah (Al-Qur’an/Ibnu Katsir Tafsirul Qur’anil Adhim hal. 388) semuanya, dan jangan kamu berpecah belah”. (Qs. Ali-Imran 3: 103)

    Menurut Ibnu Katsir: “Allah telah memerintahkan kepada meraka supaya berjama’ah dan melarang mereka untuk berpecah belah…” (Tafsirul Qur’anil Adhim Ibnu Katsir Juz I surat Ali-Imran hal. 389)

    Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yag memecah belah agamanya dan mereka menjadi bergolong-golong, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka …” (QS. Al-An’am 6: 159).

    Mengenai ayat (وكانوا شيعا/dan mereka menjadi bergolong-golong), Ibnu Katsir mengatakan: (Mereka adalah orang-orang Khawarij; (dan) ada pula yang mengatakan: Mereka adalah Ahlu bid’ah. Tetapi yang jelas, ayat tersebut umum bagi setiap orang memecah belah nama Allah, dan dia menyelisihi agama Allah tersebut. Padahal Allah telah mengutus rasul-Nya untuk membawa petunjuk dan agama yang haq supaya Dia memenangkan agama-Nya atas agama-agama lain. Dan Syari’at agama Allah (yang dibawa rasul-Nya) adalah satu, tidak ada perselisihan dan tidak ada pula pertentangan di dalamnya. Maka barangsiapa yang berbeda degan apa yang ada di dalam agama itu, ia berarti: menjadi bergolong-golong, sebagaiman ahlulAhwa’ (pengikut hawa nafsu) dan orang-orang yang sesat….)

    (Tafsirul Qur’anil Adhim Ibnu Katsir juz II, tentang Surat Al-An’am ayat 159. hal. 196).

    – Kemudian tentang pengembalian persoalan yang di-perselisihkan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah. Lihat QS. An-Nisa ‘ 4: 59.

    – Mengenai pengembalian kepada kesepakatan (ijma’) As-Salafus-shahih, perhatikan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah Jld. III hal. 157.

  • 3. Berdasarkan kesepakatan para shahabat, maka Khawarij (setelah mereka tidak mau bertobat), diperangi oleh Ali radhiallahu ‘anhu, dan oleh para shahabat yang lain, demikian pula Rafidhlah (kaum Syaiah) diperangi oleh kaum Muslimin, oleh karena mereka keluar dari jamaah.

    (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah Jld. III hal. 381-382).
    (Ibid. Jld. 28, hal 357-359/ Ahlus Sunnah Abd Hadi Al-Misri 95)

  • 4. Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan: (Seseorang yang menyampaikan pembicaraan kepada suatu kaum tetapi tidak difahami oleh mereka (akal mereka tidak sampai), maka hanya akan membawa fitnah kepada mereka.

    Ali radhiallahu ‘anhu juga pernah memperingatkan: (Berbicaralah kepada manusia, apa yang mereka bisa mengerti…) Dan perhatikan lebih lanjut; ilmu apakah yang wajib ‘ain harus diketahui oleh tiap-tiap orang dan apakah yang fardlu kifayah….(Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah jld. III hal. 311-314).

  • 5. Simak Syarhut-Thahawiyah hal, 445 dan QS. An-Nisa’ 4: 115.

  • 6. Simak alasan-alasan termasuk hadits-hadits tentang ahlul-Qiblah, di dalam Syarhut-Thahawiyah, hal. 264-267.

  • 7. Simak Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jld. III hal 280- 281.

  • 8. Sama dengan no. 7, juga Syarhut-Thahawiyah hal. 327-329. (riwayat-riwayat tentang no. 7 & 8 bahwa para shahabat serta tabi’in melakuknnya, Shahihah).

  • 9. Imamah atau Khifalah ditetapkan berdasarkan ijmak ummat Islam, dan Ijma’ umat Islam tersebut bisa terwakili melalui bai’at yang dilakukan oleh AHLUL HALLI WAL ‘AQDI, sebab ijma’ dalam arti kesepakatan seluruh umat Islam dari berbagai pelosok negeri, berbagai tingkatan serta berbagai jenis manusia, untuk menetapkan satu imamah, tanpa adanya perse-lisihan di antara mereka, amatlah sulit terjadi . Oleh karena itu ijmak mereka harus dipimpin oleh ahlul-halli wal ‘aqdi. Jadi jika ahlul halli wal’aqdi telah bersepakat untuk membai’at seorang iman, maka seluruh uamt Islam wajib mengikutinya.

    Ahlul Halli Wal‘aqdi ialah (sekelompok manusia dari kalangan ulama., pemimpin, dan tokoh umat yang memungkinkan berkumpul dan dipilih sebagai majelis syura dalam pemilihan imamah). Ia memiliki beberapa persyaratan tetapi tidak di sini pembebarannya.

    Kenyatan bahwa pemilihan imamah atau khalifah selalu dipimpin, diprakarsai serta diwakili oleh para tokoh umat terkemuka, sudah terjadi semenjak pemilihan atau pengangkatan Abu Bakar As-Shiddq radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah.

    Jadi, seseorang yang telah dimusyawarahkan dan dipilih oleh kaum terkemuka atau ahlul halli wal ‘aqdi sebagai imam, maka dia wajib ditaati oleh semua lapisan masyarakat, (tentunya dalam hal makruf, dan wajib pula memberikan nasehat-nasehat yang makruf). (perhatikan: Al-Imamatul Udhma ‘Inda Ahlis-sunnah wal jamaah Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad-Damiji-cet. II 1409 H. Dar. Thayyihah –Riyadh_KSA hal. 144-167)

    Tentang haramnya keluar dari imamah, lihat Syarhut-Thahawiyah: “wajib taat kepada imam walaupun imam fajir.”

  • 10.Perhatikan Syarhut-Thahawiyah…hal 342.

  • 11.Perhatikan kisah perang melawan Khawarij berdasakan isyarat perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ijma’ shahabi, dan juga kisah melawan Rafidlah…(Majmu’ Fatawa…Jld. III hal. 282-283 dan hal. 381-383).

  • 12.Lihat dan simak Syarhut-Thahawiyah hal. 420-425/ 425-436. Majmu’ Fatawa Ibnu Tamiyah jld. III 152-154

  • 13.Perhatikan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah Jld. III hal. 154 dan Syarhut-Tahawiyah hal. 443-444.

    Di dalam dua kitab tersebut dinukilkan hadits Muslim dan hadits Bukhari tentang wajibnya cinta kepada ahlil bait. Misalnya hadits Muslim: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari GHADIRKHUM….;

    (… Dan aku tinggalkan kepadamu dua hal: yang pertama: Kitabullah, di dalamnya ada petunjuk dan nur, maka ambilah kitabullah dan berpeganglah kepadanya. (Maka beliau menekankan untuk berpegang pada kitabullah dan memberikan dorongan mengenainya), aku perintahkan kamu kepada Allah tentang ahli baitku (beliau mengatakan tiga kali)” (Sahhih Muslim: 2: 237-238)

    Selanjutnya tentang cinta kepada para imam salaf, para ulama ahlus-Sunnah serta para pengikut mereka. Penjelasannya terdapat pada Syarhut-Thahawiyah hal 445.

  • 14.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ.

    “Pokok perkaranya adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya yang paling atas adalah jihad”. (Sunan At-Tirmizi Abwabul iman 7/281 hadits no. 2619 dan Ibnu Majah 2/1314 hadits no. 3973 Albani mengatakan: Hadits ini shahih).

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

    لَغَدْوَةٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَوْ رُوْحَةٌ خَيْرٌ مِنَ الدُّيْنَا وَمَا فِيْهَا.

    “Pergi pagi-pagi atau pergi sore hari dalam rangka berjihad fisabilillah, lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya”. (HR. Bukahri-Muslim)

    (Lihat Al-Walak Wal Barak fil Isalmimin Mafahimi ‘Aqidatis-Salaf- Muhammad Bin Sa’id Salim Al-Qahthani, taqdim: Abdur-Razzaq Afifi, cet. I Darut –Thayyibah Riyadh –KSA. Psal ketiga: Al-Jihad Fi Sabilillah, hal. 293.

  • 15.Simak Majmu‘ Fatawa Ibnu Taimiyah Jld. III hal. 158. hal. 421-422-423. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

    اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا. وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

    “Seorang mukmin dengan mukmin lainya seperi bangunan (kokoh) yang memperkokoh satu sama lainnya”, Dan Rasulullah mempertautkan antara jari-jemarinya”. (HR. Bukhari Muslim)