Mush’ab bin Muhammad bin Mush’ab berkata, Abu Muhammad al-Marwazi datang ke Baghdad, dia hendak menunaikan ibadah haji ke Makkah, aku ingin menyertainya dalam perjalanannya ini, aku menemuinya dan meminta izin menyertainya namun dia tidak mengizinkanku di tahun tersebut.

Setahun kemudian dia datang lagi dan aku memintanya berkenan mengizinkanku menyertainya, kali ini dia menjawab, “Dengan syarat, salah seorang dari kita menjadi pemimpin bagi yang lain dan yang dipimpin tidak boleh membantah.” Maka aku berkata kepadanya, “Engkaulah yang menjadi pemimpin.” Dia menjawab, “Engkau pemimpin.” Aku berkata, “Engkau lebih tua dan lebih berilmu.” Dia berkata, “Bila demikian maka jangan membantahku.” Aku menjawab, “Baik.”

Lalu kami berangkat, setiap kali waktu makan tiba, dia selalu mendahulukanku, bila aku menyatakan ketidaksetujuanku, maka dia berkata, “Bukankah aku sudah menetapkan syarat atasmu agar tidak membantah?” Hal ini berlangsung terus sehingga aku menyesal pergi bersamanya karena dia lebih mementingkan diriku daripada dirinya.

Suatu kali saat kami hampir masuk Makkah, hujan turun dengan deras, kami berteduh di bawah batu besar yang didirikan sebagai rambu bagi para musafir, dia memintaku duduk di pangkal batu, sementara dia sendiri berdiri membungkukkan badannya melindungiku dari hujan sehingga tubuh basah kuyup, melihat itu aku menyesal menyertainya dalam perjalanan ini, karena dia rela mengorbankan dirinya demi diriku dan aku tidak bisa membantahnya karena terikat dengan syarat yang kami sepakati sebelumnya. Peristiwa seperti ini terus terjadi dengan kami sampai kami masuk Makkah.