Shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain atas setiap mukallaf kecuali yang berhalangan berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jumu’ah: 9).

Dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar bahwa keduanya mendengar Rasulullah saw bersabda di atas pijakan mimbarnya,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدَعِهِمُ الجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ علىَ قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الغَافِلِينَ

Hendaknya suatu kaum menghentikan meninggalkan Jum’at atau Allah akan mengunci hati mereka rapat-rapat kemudian mereka akan menjadi orang-orang yang lalai.” Diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah.

Atas siapa?

Jum’at fardhu ‘ain atas setiap muslim, berakal, dewasa, merdeka, laki-laki, muqim dan sehat. Dari Thariq bin Syihab bahwa Nabi saw bersabda,

الجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إلا أَرْبَعَة عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ وَامْرَأةٌ وَصَبِيٌّ وَمَرِيْضٌ

Shalat Jum’at adalah hak wajib atas setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang sakit.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Imam an-Nawawi berkata, “Sanadnya shahih di atas syarat al-Bukhari dan Muslim.”

Ancaman Meninggalkan Shalat Jum’at

Dari Abu al-Ja’ad adh-Dhamri dari Nabi saw bersabda,

مَنْ تَرَكَ الجُمُعَةَ ثَلاثًا مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ فَهُوَ مُنَافِقٌ

Barangsiapa meninggalkan Jum’at tiga kali tanpa udzur maka dia adalah orang munafik.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaemah dan Ibnu Hibban. Syaikh al-Albani berkata, “Hasan shahih.”

Safar di hari Jum’at

Tidak boleh safar di hari Jum’at bagi siapa yang wajib shalat Jum’at setelah masuk waktu.
Adapun sebelum masuk waktu maka Imam Abu Hanifah membolehkan secara mutlak.
Imam Malik berpendapat tidak mengapa safar sebelum zawal sekalipun yang terpilih adalah tidak safar jika fajar hari Jum’at telah terbit sehingga dia shalat Jum’at.
Imam asy-Syafi’i mempunyai dua qaul: qadim, boleh dan jadid, tidak boleh.
Imam Ahmad mempunyai tiga riwayat, tidak boleh, boleh dan boleh jika untuk keperluan jihad secara khusus.

Semua ini jika seorang musafir tidak takut tertinggal oleh rekan-rekannya, jika dia khawatir tertinggal oleh teman-temannya sehingga tidak bisa menyusul mereka maka boleh safar secara mutlak, dan dalam masalah ini tidak ada hadits shahih. Wallahu a’lam.

Mandi Jum’at

Jumhur ulama berpendapat bahwa mandi Jum’at mustahab bukan wajib, mereka berdalil kepada hadits Samurah bahwa Nabi saw bersabda,

مَنْ تَوَضَّأ يَوْمَ الجَمَعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتَ وَمَنْ اغْتَسَلَ فالغُسْلُ أَفْضَلُ

Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at maka ia bagus dan barangsiapa mandi maka ia lebih bagus.” Diriwayatkan oleh Ashab Sunan dan Ahmad.

Sebagian ulama berkata wajib berdasarkan hadits Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,

مَنْ جَاءَ مِنْكُم الجُمُعَةَ فَاليَغْتَسِلْ

Barangsiapa di antara kalian menghadiri Jum’at maka hendaknya dia mandi.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Pendapat ini juga berdalil kepada hadits,

غُسْلُ يَوْمِ الجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلىَ كُلِّ مُحْتَلِمٍ

“Mandi di hari Jum’at wajib atas setiap orang dewasa.” Muttafaq alaihi.

Imam asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan mandi Jum’at sekalipun, baik di waktu panas maupun di waktu dingin.”

Ibnul Qayyim berkata, “Kewajibannya lebih kuat daripada witir, membaca basmalah dalam shalat, berwudhu karena menyentuh wanita dan kelamin dan bershalawat kepada Nabi saw di tasyahud akhir.” Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)