Nasehat

Dari apa yang telah terpakarkan di atas, perlu digarisbawahi bahwasanya kehalalan menikah dengan Ahlul Kitab bukalah bersifat anjuran atau perintah sebagaimana anggapan sebagian orang namun hanya sekedar boleh. Dan tidak berarti bolehnya tanpa persyaratan apalagi pada zaman sekarang , dimana segala sesuatu menjadi mudah terutama hubungan antara umat yang berbeda asal-usul, bangsa, suku, bahasa, warna kulit, adat, budaya dan agama. Sementara bembauran budaya dan tradisi serta nilai-nilai agama apalagi peran misionaris yang sangat gencar dalam penyebaran seruan dan pemikiran telah terjadi sehingga mengakibatkan pergesekan agama dan perdeseran nilai. Maka gerakan tersebut telah banyak membuat pengaruh pada masyarakat, umat dan bangsa dan bahkan memberi dampak pada lembaga dan sistim pendidikan, media, perundang-undangan dan aturan pemerintah, sehingga membuat lemah aktifitas keagamaan, proses dakwah serta penyadaran kepada nilai kebaikan dan keutamaan agama. Maka kesadaran agama juga melemah pada kebanyakan ummat islam sehingga banyak di antara mereka yang sudah meninggalkan kewajiban dan masa bodoh terhadap prinsip dasar syari’at bahkan sampai pada puncaknya banyak di antara umat Islam yang terjebur ke dalam berbagai macam maksiat, kemungkaran dan dosa besar.

Oleh karena itulah, sudah menjadi keharusan dan tuntutan logis setiap umat untuk membentengi diri dari tipu muslihat keji dan proyek busuk yang ditujukan kepada Islam dan umatnya. Terutama dalam menentukan calon pasangan hidup yang akan membawa misi suci dan tanggung jawab besar sepanjang hidup yang berbagi suka dan duka, untung dan rugi secara bersama-sama

Dalam kondisi sangat normal dan lingkungan yang islami seorang Muslim harus tetap berhati-hati dalam memilihkankan jodoh untuk anak atau saudara perempuannya. Jangan hanya mengejar keuntungan dunia, posisi social, dan nasab serta pamor keturunan bahkan pernikahan harus dibangun di atas dasr agama dan memilih calon yang beragama dan ahli ibadah sebagaimana sabda Nabi,
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, nasabnya, kacantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang punya agama, dan bila tidak maka kamu akan mengalami kehancuran.” (HR. al-Bukhari dan yang lain) (Faidhul Qadiir, an-Nawawi, 3/271).
Nabi juga bersabda,
“Wasdalah terhadap wanita yang baik-baik tumbuh di keluarga yang rusak.”

Dengan demikian, sudah sepantasnyalah kita dituntut lebih berhati-hati ketika seseorang Muslim ingin menikah dengan wanita ahli kitab yang dapat menjaga kehormatan bahkan dengan wanita non muslim.

Bila seorang Muslim menikah dengan Ahlu Kitab sementara orang tersebut sangat bodoh terhadap ajaran agama, teledor dalam mengamalkan syari’at dan kewajiban agama maka pernikahan akan menuai badai dan bahaya dan bagi masa depan rumah tangga dan anak cucunya bahkan bagi seluruh keluarga dan sanak familinya. Apalagi bolehnya seorang Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab tidak bersifat mutlak tanpa syarat bahkan harus dibarengi dengan kuatnya keislaman seorang muslim yang hendak menikah dengan wanita ahli kitab. Dia harus memelihara dengan baik syiar dan rukum Islam seperti yang tertuang dalam sabda Nabi Sahallallaahu ‘alaihi wa salam,
“Islam dibangun di atas lima dasar; bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan-Nya, menegakkan shalat, membayar zakat, pergi haji ke Baitullah dan puasa Ramadhan.” (Muttafaq ‘Alaihi).

Begitu juga Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat al-Ma’idah,
Artinya, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikanAl-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. 5:5)

Meskipun seorang Muslim boleh menikahi wanita Ahli Kitab namun para shahabat sangat berhati-hati bahkan mereka saling memberi nasehat agar menghindar dari hal tersebut padahal tidak bisa diragukan lagi pemahaman mereka terhadap al-Kitab dan as-Sunnah.

Sebagaimana Umar bin Khattab r.a melarang seorang Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab dengan mengatakan, ”Aku tidak mengetahui bahwa ada kesyirikan yang lebih besar disbanding orang yang mengatakan “Tuhan kami adalah Isa a.s”. Padahal Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,Artinya, “Dan janganlah kamu menikah dengan wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman.” (Q.S al-Baqarah)

Begitu juga telah diriwayatkan bahwa Jabir bin Abdullah r.a pernah ditanya tentang pernikahan seorang Muslim dengan wanita Yahudi atau Nasharani maka beliau menjawab, “Kami menikahi mereka hanya pada waktu Fathu Makkah karena kami belum mendapatkan wanita Muslimah dengan mudah, dan ketika kami kembali ke Madinah maka mereka kami talak.” (Tafsir Ruhul Ma’ani, al-Alusi, 6/66)

Akhirnya, kami berharap pembahasan yang sederhana ini bermanfaat bagi pembaca yang budiman dan tegur sapa dan kritk membangun sangatlah kami harapkan agar kita selalu berada jalan yang lurus dalam setiap tindak dan tanduk kita dalam rangka mengharap ridha-Nya semata.

Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabat serta pengikutnya hingga hari Kiamat. Amin ya Rabbal ‘Alamin. (Red)

Disadur secara ringkas dari kitab
“Al-Zawaj bighairil Muslimin”,
Syaikh Hasan Khalid oleh Ibnu Arba’in.