Selayaknya seorang muslim belajar apa yang dibutuhkannya dalam hidup terkait dengan apa yang bermanfaat dalam agama dan dunianya, mempertimbangkan umur yang terbatas, maka sepatutnya seorang muslim mendahulukan yang lebih penting di atas yang penting, yang penting di atas yang kurang penting. Manakala prinsip ini dibalik, maka seorang muslim hanya akan sibuk dengan hal-hal yang tidak dibutuhkannya dan melalaikan apa yang menjadi kepentingannya, dengan itu dia akan rugi tenaga dan waktu, kedua sudah terbuang percuma untuk yang tidak penting, padahal keduanya tidak bisa dikembalikan bila sudah pergi.

Imam adz-Dzahabi menyebutkan dalam Siyar A’lam an-Nubala` 10/31 tentang salah seorang murid Imam asy-Syafi’i, dia adalah al-Muzani, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Mishri, di mana sang guru berkata tentangnya, “Al-Muzani adalah pembela madzhabku.”

Ali bin Muhammad al-Qadhi berkata, Abu Yahya Zakariya as-Saji menyampaikan kepada kami, al-Muzani menyampaikan kepada kami, dia berkata, Aku berkata, “Bila ada seseorang yang bisa mengeluarkan apa yang ada dalam hatiku dan apa yang berkait dengan benakku tentang perkara tauhid maka orang itu adalah asy-Syafi’i. maka aku datang kepadanya yang saat itu sedang berada di dalam masjid Mesir, manakala aku duduk di depannya, aku berkata, “Dalam hatiku terdapat sesuatu tentang tauhid, aku tahu bahwa tidak ada yang mengetahui seperti apa yang engkau ketahui, sampaikan apa yang ada padamu kepadaku?”

Maka asy-Syafi’i marah dan dia berkata, “Apakah kamu tahu di mana dirimu?” Aku menjawab, “Ya.” Dia berkata, “Di tempat ini Allah menenggelamkan Fir’aun. Apakah kamu mendengar bahwa Rasulullah memerintah untuk bertanya tentang hal itu?” Aku menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Apakah para sahabat membicarakannya?” Aku menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Kamu tahu berapa bintang di langit?” Aku menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Satu bintang darinya, apakah kamu tahu jenisnya, terbitnya, terbenamnya dan dari apa ia diciptakan?” Aku menjawab, “Tidak.” Dia berkata, “Sesuatu yang kamu lihat dengan matamu, ia makhluk, namun kamu tidak mengetahuinya, bagaimana kamu membicarakan ilmu Penciptanya?”

Kemudian dia bertanya kepadaku tentang sebuah masalah dalam wudhu, maka aku menjawab dengan salah, lalu dia membaginya menjadi empat sisi dan aku tidak bisa menjawab dengan benar. Dia berkata, “Sesuatu yang kamu butuhkan lima kali dalam sehari, kamu tidak mengetahuinya, namun kamu justru memaksakan diri menjamah ilmu sang Khalik. Bila dalam hatimu terdapat sesuatu dari itu maka kembalilah kepada Allah dan kepada firmanNya, “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang satu, tidak ada Tuhan yang haq selainNya, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi…” Allah berdalil kepada makhluk atas Khalik. Jangan memaksakan diri menjangkau ilmu yang tidak dijangkau oleh akalmu.” Aku berkata, “Saya bertaubat.” Wallahu a’lam.