MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah. Kami memuji, memohon pertolongan dan meminta ampun kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan rasul-Nya. Amma ba’du:

Sesungguhnya Allah Ta’ala mewajibkan beberapa kewajiban yang tidak boleh diabaikan, memberi beberapa ketentuan yang tidak boleh dilampaui dan mengharamkan beberapa hal yang tidak boleh dilanggar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَافِيَةٌ، فَاقْبَلُوْا مِنَ اللهِ الْعَافِيَةَ، فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ نَسِيًّا، ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآية:…..

“Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, maka itulah yang halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka itulah yang haram. Sedangkan apa yang didiamkan-Nya, maka itu adalah yang dima’afkan maka terimalah pema’afan dari Allah. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa. Kemudian beliau membaca ayat, “Dan tidaklah tuhanmu lupa.” (Maryam: 64).( Hadits riwayat Al-Hakim, 2/375, dihasankan oleh Al-Albani dalam Ghaayatul Maraam, hal 14.)

Perkara-perkara yang diharamkan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala. Allah berfirman, “Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (Al-Baqarah: 187)

Allah mengancam orang yang melampaui ketentuan-ketentuan-Nya dan melanggar apa yang diharamkan-Nya, seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an, yang artinya :“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka, sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisaa’: 14)

Menjauhi hal-hal yang diharamkan hukumnya adalah wajib. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.

“Apa yang aku larang atas kalian, maka jauhilah ia dan apa yang aku perintahkan pada kalian, maka lakukanlah dari padanya semampumu.”( Hadits riwayat Muslim, Kitaabul Fadhaa’il, hadits no. 130 cet. Abdul Baqi.
)

Sering kita saksikan, sebagian para penurut hawa nafsu, orang-orang yang lemah jiwa dan sedikit ilmunya, manakala mendengar hal-hal yang diharamkan secara berturut-turut, ia berkeluh kesah sambil berujar, “Segalanya haram, tak ada sesuatu pun, kecuali kamu mengharamkannya. Kamu telah menyuramkan kehidupan kami, kamu membuat gelisah hidup kami, menyempitkan dada kami, tidak ada yang kamu miliki, selain haram dan mengharamkan. Agama ini mudah, persoalannya tak sesempit itu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Untuk menjawab ucapan mereka, kita katakan sebagai berikut, “Sesungguhnya Allah Ta’ala menetapkan hukum menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya. Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, maka Dia menghalalkan apa yang Ia kehendaki atau mengharamkan apa yang dikehendaki-Nya pula dan di antara prinsip kehambaan kita kepada Allah Ta’ala adalah hendaknya kita ridha dengan apa yang ditetapkan oleh-Nya, pasrah dan berserah diri kepada-Nya secara total.”

Hukum-hukum Allah Ta’ala berdasarkan ilmu, hikmah dan keadilan-Nya, bukan berdasarkan kesiasiaan dan permainan. Allah berfirman, “Telah sempurnalah kalimat tuhanmu (Al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am): 115)

Allah menjelaskan kepada kita tentang kaidah halal-haram dalam firman-Nya, “Dan (Allah) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (Al-A’raaf: 157)

Maka yang baik-baik adalah halal dan yang buruk-buruk adalah haram. Tentang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu hanyalah hak Allah semata. Karena itu, barangsiapa yang mengklaim atau menetapkan dirinya berhak menentukannya, maka dia telah kafir dan ke luar dari Agama Islam. Allah berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” (Asy-Syuura: 21)

Tak seorangpun boleh berbicara tentang halal-haram, kecuali para ahli yang mengetahuinya, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Allah memberi peringatan keras kepada orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa ilmu pengetahuan, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta” ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (An-Nahl: 116)

Hal-hal yang diharamkan secara qath’i (tegas) terdapat dalam Al-Qur’an dan As Sunnah. Seperti dalam firman Allah, “Katakanlah, “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu, “Janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak dan jangalah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.” (Al-An’am: 151)

Dalam As-Sunnah juga disebutkan beberapa hal yang diharamkan, sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَاْلأَصْنَامِ.

“Sesungguhnya Allah mengharamkan penjualan khamar (minuman keras), bangkai, babi, dan patung-patung.”( Hadits riwayat Abu Daud: 3486; Shahih Abi Daud no. 977 (Hadits ini di sepakati keshahihannya, Ibnu Baz).)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ اللهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ.

“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, Ia mengharamkan (pula) harga (penjualannya)”(Hadits shahih riwayat Ad-Daruquthni, 3/7.)

Dalam sebagian nash terkadang disebutkan pula beberapa jenis yang diharamkan, seperti makanan yang dirincikan Allah dalam firman-Nya, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukuli, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan anak panah.” (Al-Ma’idah: 3)

Tentang yang diharamkan dalam pernikahan, Allah berfirman,

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan…” (An-Nisa’: 23)

Dalam hal usaha, Allah juga menyebutkan hal-hal yang diharamkan, Allah berfirman, “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba….” (Al-Baqarah: 275)

Kemudian Allah Yang Maha Pengasih terhadap hamba-Nya menghalalkan untuk kita hal-hal yang baik yang tidak terhitung banyak dan jenisnya. Oleh sebab itu, Allah tidak memberikan rincian hal-hal yang halal dan dibolehkan, karena semua itu tidak terhitung banyaknya. Allah menerangkan secara rinci hal-hal yang diharamkan karena dapat dihitung, sehingga kita mengetahui dan menjauhinya. Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu , kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya…” (Al-An’am: 119)

Adapun hal-hal yang dihalalkan maka Allah menerangkannya secara global, yakni selama hal-hal itu merupakan sesuatu yang baik. Allah berfirman, “Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Al-Baqarah: 168)

Termasuk di antara rahmat Allah, bahwa Dia menjadikan dasar segala sesuatu adalah halal, sampai terdapat dalil yang mengharamkannya. Hal ini menunjukkan bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Luas Rahmat-Nya atas segenap hamba-Nya. Oleh sebab itu, kita wajib ta’at, memuji dan bersyukur kepada-Nya.

Sebagian manusia, jika mereka menyaksikan hal-hal yang haram dihitung dan diperinci, jiwanya tiba-tiba merasa sesak karena keberatan terhadap hukum-hukum syari’at. Ini menunjukkan betapa lemah iman dan betapa sedikit pemahaman mereka tentang syari’at.

Apakah mereka menginginkan agar dirincikan bahwa daging sembelihan dari unta, sapi, kambing, kelinci, kijang, kambing hutan, ayam, burung dara, angsa, itik, burung unta halal? Bangkai belalang serta ikan juga halal? Dan sayur-sayuran, kol, buah-buahan dan semua biji-bijian serta hasil tanaman yang bermanfaat halal? Dan bahwa air, susu, madu, minyak, dan cuka halal? Garam, rempah-rempah dan bumbu-bumbu halal? Lalu menggunakan kayu, besi, pasir, kerikil, plastik, kaca serta karet halal? Menunggang hewan, mengendarai mobil, naik kereta, kapal laut dan pesawat terbang halal ?

Lalu kulkas, mesin cuci, alat pengering, mesin penggiling tepung, mixer, mesin pencincang daging, blender serta berbagai jenis peralatan kedokteran, teknik, alat menghitung, astronomi, arsitektur, alat pemompa air, pengeboran minyak, pertambangan, alat penyaringan, penyulingan air, percetakan dan komputer harus dirincikan bahwa semua itu halal?

Kemudian memakai kain dari bahan kapas, katun, kain lena, wol, bulu dan kulit yang diperbolehkan, nilon dan polister harus dijelaskan sebagai sesuatu yang halal?

Dan hukum dasar pernikahan, jual beli, kafalah (penanggungan), hawalah (transfer), sewa menyewa, profesi dan keahlian seperti tukang kayu, pandai besi, reparasi, menggembala kambing, semua harus diterangkan sebagai pekerjaan yang halal?

Mungkinkah kita bisa menyelesaikan dalam menghitung dan merincikan hal-hal yang dihalalkan? Sungguh, mereka itu adalah orang-orang yang hampir tidak memahami perkataan.

Adapun dalil mereka bahwa agama itu mudah, maka ucapan tersebut adalah benar tetapi diselewengkan dan disalahgunakan.

Makna mudah dalam agama, tidaklah berarti disesuaikan menurut hawa nafsu dan pendapat manusia, tetapi kemudahan itu harus disesuaikan menurut tuntunan syari’at.

Sungguh sangat besar perbedaan antara melanggar hal-hal yang diharamkan lalu berdalih secara batil bahwa agama adalah mudah. Memang tidak diragukan bahwa agama adalah mudah dengan menerapkan keringanan-keringanan yang diberikan oleh syari’at, seperti: Melakukan jama’ dan qashar dalam shalat dan berbuka puasa ketika bepergian; mengusap khuf (sepatu bot) dan kaos kaki bagi orang mukim sehari semalam dan tiga hari tiga malam bagi yang bepergian; tayammum ketika takut bahaya kalau menggunakan air; jama’ antara dua shalat bagi orang sakit dan ketika sedang turun hujan deras; boleh memandang kepada wanita bukan mahram untuk tujuan meminang; memilih dalam kaffarat (denda) sumpah antara memerdekakan budak, memberi makan orang miskin atau memberinya pakaian; makan bangkai ketika dalam keadaan darurat dan rukhsah-rukhsah serta keringanan syari’at lainnya.

Di samping hal-hal di muka, setiap muslim hendaknya mengetahui bahwa diharamkannya beberapa hal tersebut mengandung hikmah yang besar di antaranya:

Allah menguji segenap hamba-Nya dengan hal-hal yang diharamkan tersebut, lalu Dia melihat bagaimana mereka berbuat. Di antara sebab perbedaan antara penduduk Surga dengan penduduk Neraka adalah bahwa para penduduk Neraka telah tenggelam dalam syahwat yang dengannya Neraka dikelilingi, sementara para penduduk Surga sabar atas berbagai hal yang dibencinya yang dengannya Surga dikelilingi. Jika tidak karena ujian ini, tentu tidak akan bisa dibedakan antara tukang maksiat dengan orang ta’at.

Orang-orang beriman melihat beratnya kewajiban dengan cara pandang dari sisi perolehan pahala dan keta’atan terhadap perintah Allah, sehingga berharap mendapat ridha-Nya. Dengan demikian kewajiban itu terasa ringan. Berbeda halnya dengan orang-orang munafik, mereka melihat beratnya kewajiban dari sisi kepedihan, kesal dan pembatasan, sehingga kewajiban itu terasa berat untuk mereka lakukan dan keta’atan menjadi sesuatu yang sangat sukar.

Dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, orang yang ta’at akan merasakan buah manisnya. Barangsiapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya, lalu mendapatkan kelezatan iman dalam hatinya.

Dalam risalah ini, pembaca akan mendapati beberapa hal yang diharamkan, yang keharamannya jelas dalam syariat, disertai keterangan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.( Sebagian ulama telah mengarang kitab tentang hal-hal yang diharamkan atau tentang sebagian jenisnya, seperti dosa-dosa besar. Di antara kitab yang sangat bagus seputar hal-hal yang diharamkan adalah kitab “Tanbihul Ghafilin ‘an A’malil Jahilin” karya Ibnu Nahhas Ad-Dimasyqi v.) Hal-hal yang diharamkan ini merupakan sesuatu yang sering terjadi dan umum dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin. Saya sebutkan hal-hal tersebut dengan tujuan memberi keterangan dan nasihat.

Hanya kepada Allah saya memohon petunjuk, taufik serta kekuatan untuk selalu menjauhi larangan-Nya, untuk diri saya sendiri dan untuk segenap umat Islam. Dan mudah-mudahan Dia menjauhkan kita dari hal-hal yang diharamkan serta menjaga kita dari hal-hal yang buruk, sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.

Adapun hal-hal yang diharamkan adalah: