Segala sesuatu ditakdirkan oleh Allah, yang baik dan yang buruk, nikmat dan azab, bahkan iman dan kufur juga ditakdirkan oleh Allah, tidak ada apa pun atau sesuatu apa pun yang luput dari takdir Allah. Dari sini muncul pertanyaan, apakah takdir bisa dijadikan sebagai dalil? Dalam perkara baik, nikmat dan iman, orang biasanya tidak mempersoalkan takdir, karena hal-hal tersebut sesuai dengan keinginannya, yang terjadi adalah dalam perkara-perkara yang buruk; musibah dan maksiat. Dalam perkara yang terakhir ini orang terkadang mengaitkannya dengan takdir. Benarkah berdalih kepada takdir?

Dalam perkara musibah tidak masalah, karena hal ini akan meringankan pengaruh musibah pada diri dan membuatnya sabar menerima, “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.â€‌ (At-Thaghabun: 11). Alqamah berkata, “Dia adalah orang yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui bahwa ia dari Allah maka dia ridha dan menerima.â€‌

Berdalih kepada takdir atas musibah dilakukan Adam, dia membela diri pada saat Musa mengkritiknya.

أ‡أ¶أچأ؛أٹأ³أŒأ¸أ³ أ‚أڈأ³أ£أ³ أ¦أ³أ£أµأ¦أ؛أ“أ³أ¬ أ‌أ³أ‍أ³أ‡أ،أ³ أ£أµأ¦أ؛أ“أ³أ¬: أ­أ³أ‡أ‚أڈأ³أ£أ³ أƒأ³أ¤أ؛أٹأ³ أƒأ³أˆأµأ¦أ؛أ¤أ³أ‡ أژأ³أ­أ¸أ³أˆأ؛أٹأ³أ¤أ³أ‡ أ¦أ³أ‡أ³أژأ؛أ‘أ³أŒأ؛أٹأ³أ¤أ³أ‡ أ£أ¶أ¤أ³ أ‡أ،أŒأ³أ¤أ¸أ³أ‰أ¶. أ‌أ³أ‍أ³أ‡أ،أ³ أ،أ³أ¥أµ أ‚أڈأ³أ£أ³ : أƒأ³أ¤أ؛أٹأ³ أ£أµأ¦أ؛أ“أ³أ¬. أ‡أ•أ؛أکأ³أ‌أ³أ‡أںأ³ أ‡أ،أ،أ¥أµ أˆأ¶أںأ³أ،أ‡أ³أ£أ¶أ¥أ¶ أ¦أ³أچأ³أ™أ¸أ³ أ،أ³أںأ³ أˆأ¶أ­أ³أڈأ¶أ¥أ¶آ، أƒأ³أٹأ³أ،أµأ¦أ؛أ£أµأ¤أ¶أ­أ؛ أڑأ³أ،أ³أ¬ أƒأ³أ£أ؛أ‘أ¶ أ‍أ³أڈأ¸أ³أ‘أ³أ¥أµ أ‡أ،أ،أ¥أµ أڑأ³أ،أ³أ­أ¸أ³ أ‍أ³أˆأ؛أ،أ³ أƒأ³أ¤أ؛ أ­أ³أژأ؛أ،أµأ‍أ³أ¤أ¶أ­أ؛ أˆأ¶أƒأ³أ‘أ؛أˆأ³أڑأ¶أ­أ؛أ¤أ³ أ“أ³أ¤أ³أ‰أ° آ؟ أ‌أ³أ‍أ³أ‡أ،أ³ أ‡أ،أ¤أ¸أ³أˆأ¶أ­أ¸أ° أ•أ، أ‡أ،أ،أ¥ أڑأ،أ­أ¥ أ¦أ“أ،أ£ : أ‌أ³أچأ³أŒأ¸أ³ أ‚أڈأ³أ£أ³ أ£أµأ¦أ؛أ“أ³أ¬. أ‌أ³أچأ³أŒأ¸أ³ أ‚أڈأ³أ£أ³ أ£أµأ¦أ؛أ“أ³أ¬ .

“Adam dan Musa berbantah-bantahan, Musa berkata, â€کWahai Adam, Anda adalah bapak kami, Anda telah mengecewakan kami dan mengeluarkan kami dari surga.’ Maka Adam berkata kepadanya, â€کEngkau Musa, Allah telah memilihmu dengan kalamNya dan menuliskan untukmu dengan tanganNya. Apakah engkau (pantas) mencelaku berdasarkan suatu perkara yang telah ditakdirkan Allah menimpaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi saw bersabda, â€کMaka Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa as’.â€‌ (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tetapi ada yang perlu diperhatikan, bahwa berdalih kepada takdir atas musibah dilakukan setelah musibah terjadi tidak sebelumnya, karena jika sebelumnya maka kita tidak mengetahui apa yang takdirkan, berarti kita berdalih kepada apa yang tidak kita ketahui, di samping itu ia menafikan kewajiban berusaha dan berikhtiar serta mengikuti sunnatullah, hukum sebab akibat.

أڑأ¤ أƒأˆأ­ أ¥أ‘أ­أ‘أ‰ أ‘أ–أ­ أ‡أ،أ،أ¥ أڑأ¤أ¥ أ‍أ‡أ،: أ‍أ‡أ، أ‘أ“أ¦أ، أ‡أ،أ،أ¥ أ•أ، أ‡أ،أ،أ¥ أڑأ،أ­أ¥ أ¦أ“أ،أ£ : أ‡أ،أ£أµأ„أ؛أ£أ¶أ¤أµ أ‡أ،أ‍أ³أ¦أ¶أ­أ¸أµ أژأ³أ­أ؛أ‘أ± أ¦أ³أƒأ³أچأ³أˆأ¸أµ أ…أ¶أ،أ³أ¬ أ‡أ،أ،أ¥أ¶ أڑأ³أ’أ¸أ³ أ¦أ³أŒأ³أ،أ¸أ³ أ£أ¶أ¤أ³ أ‡أ،أ£أµأ„أ؛أ£أ¶أ¤أ¶ أ‡أ،أ–أ¸أ³أڑأ¶أ­أ؛أ‌أ¶ آ، أ¦أ³أ‌أ¶أ­ أںأµأ،أ¸أ² أژأ³أ­أ؛أ‘أ± آ، أ‡أ¶أچأ؛أ‘أ¶أ•أ؛ أڑأ³أ،أ³أ¬ أ£أ³أ‡ أ­أ³أ¤أ؛أ‌أ³أڑأµأںأ³ آ، أ¦أ³أ‡أ“أ؛أٹأ³أڑأ¶أ¤أ؛ أˆأ¶أ‡أ،أ،أ¥أ¶ أ¦أ³أ،أ‡أ³ أٹأ³أڑأ؛أŒأ¶أ’أ؛ آ، أ¦أ³أ…أ¶أ¤أ؛ أƒأ³أ•أ³أ‡أˆأ³أںأ³ أ”أ³أ­أ؛أپأ± أ‌أ³أ،أ‡أ³ أٹأ³أ‍أµأ،أ؛ : أ،أ³أ¦أ؛ أƒأ³أ¤أ¸أ¶أ­ أ‌أ³أڑأ³أ،أ؛أٹأµ أںأ³أ‡أ¤أ³ أںأ³أگأ³أ‡ أ¦أ³أںأ³أگأ³أ‡ آ، أ¦أ³أ،أ³أںأ¶أ¤أ؛ أ‍أµأ،أ؛ : أ‍أ³أڈأ¸أ³أ‘أ³ أ‡أ،أ،أ¥أµ أ¦أ³أ£أ³أ‡ أ”أ³أ‡أپأ³ أ‌أ³أڑأ³أ،أ³ آ، أ‌أ³أ…أ¶أ¤أ¸أ³ (أ،أ³أ¦أ؛) أٹأ³أ‌أ؛أٹأ³أچأµ أڑأ³أ£أ³أ،أ³ أ‡أ،أ”أ¸أ³أ­أ؛أکأ³أ‡أ¤أ¶ .

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan masing-masing baik, berusahalah meraih apa yang bermanfaat bagimu dan jangan merasa lemah, jika kamu ditimpa sesuatu maka jangan berkata, â€کSeandainya aku melakukan niscaya akan begini begini’, akan tetapi katakanlah, â€کAllah mentakdirkannya dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan’ karena â€کseandainya’ membuka perbuatan setan.â€‌ (HR. Muslim).

Sebelum kita memasrahkan perkara kepada takdir karena perkara tersebut belum terjadi, hadits ini meminta kita untuk berusaha, baru setelah berusaha kita menyerahkannya kepada takdir. Jadi iman kepada takdir justru menuntut kita untuk berusaha.

Terkadang takdir dijadikan sebagai dalih oleh para pelaku kemaksiatan untuk berbuat maksiat. Katanya, apa yang aku lakukan sudah ditakdirkan maka aku melakukannya, jadi jangan menyalahkan aku.

Walaupun segala perkara sudah ditakdirkan, akan tetapi berdalih kepada takdir untuk bermaksiat adalah keliru. Ini adalah bantahan Syaikh Ibnu Utsaimin terhadap orang yang berhujjah kepada takdir dalam Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah.

“Kami katakan pengambilan dalilmu atas perbuatan dosa kepada takdir dibantah oleh dalil naqli, aqli dan realita.

Dalil naqli, firman Allah, “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: â€کJika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami.â€‌ (Al-An’am: 148). Mereka menjadikan takdir sebagai alasan berbuat dosa maka Allah berfirman, “Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul).â€‌ Dan berdalih kepada takdir “Sampai mereka merasakan siksaan Kami.â€‌ Ini menunjukkan bahwa hujjah mereka adalah batil, karena jika benar niscaya mereka tidak ditimpa siksa Allah.

Dalil naqli yang lain firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.â€‌ (An-Nisa’: 163) Sampai “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.â€‌ (An-Nisa’: 165). Titik pengambilan dalil dari ayat ini adalah seandainya takdir itu adalah hujjah untuk berbuat dosa niscaya ia tidak batal dengan diutusnya para rasul, hal itu karena takdir tidak batal dengan diutusnya para rasul, ia tetap ada.

Jika ada yang berkata, dalil yang pertama mungkin disanggah dengan firman Allah, “Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik, dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan(Nya). Dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka; dan kamu sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka.â€‌ (Al-An’am: 106-107). Di sini Allah berfirman, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan(Nya).â€‌

Kami jawab: Ucapan seseorang tentang orang-orang kafir, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan(Nya).â€‌ Adalah shahih dan sah, akan tetapi ucapan si musyrik. “Kami tidak mempersekutukanNya,â€‌ dengan maksud berdalih kepada takdir atas perbuatan dosa adalah ucapan batil. Allah berfirman kepada RasulNya demikian untuk menghibur dan menjelaskan bahwa apa yang terjadi, terjadi dengan masyi`ahNya.

Adapun dalil aqli atas kebatilan berdalih kepada takdir atas perbuatan dosa kepada Allah maka kami katakan kepadanya, Dari mana kamu mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan kamu berbuat dosa sebelum kamu berbuat dosa? Kita semua tidak mengetahui apa yang Allah takdirkan kecuali setelah ia terjadi. Adapun sebelumnya maka kita tidak mengetahui apa yang ditakdirkan kepada kita. Kami katakan kepada pelaku dosa: â€کApakah kamu mempunyai ilmu bahwa Allah telah mentakdirkanmu berbuat dosa sebelum kamu melakukannya?’ Dia akan menjawab, â€کtidak,’ kami katakan: â€کJadi mengapa kamu tidak memperkirakan Allah mentakdirkan kebaikan lalu kamu pun melakukannya? Pintu di depanmu terbuka lebar, mengapa kamu tidak masuk melalui pintu yang membawa kebaikan untukmu karena kamu tidak mengetahui apa yang ditakdirkan untukmu?’ Berdalih dengan sesuatu atas perkara yang dilakukannya sebelum diketahuinya dalih tersebut sebelumnya adalah batil karena hujjah adalah sebuah jalan yang dengannya seseorang berjalan karenanya, dalil pasti mendahului madlul (apa yang ditunjukkan oleh dalil tersebut).

Kami katakan padanya: Kalau dikatakan kepadamu bahwa Makkah mempunyai dua jalan: yang pertama bagus lagi aman, yang kedua sulit lagi berbahaya, bukankah kamu akan memilih yang pertama? Dia akan menjawab: Ya kami katakan: Mengapa dalam beribadah kamu memilih jalan yang berbahaya yang dibalut oleh resiko-resiko berat dan membiarkan jalan aman di mana Allah menjamin keamanan bagi yang memilihnya. FirmanNya, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan.â€‌ (Al-An’am: 82). Ini adalah hujjah yang jelas.

Dari Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin dan Kitab Tauhid Ibnu Fauzan.