Menjamak shalat berarti mengabungkan dua shalat dan mengerjakannya dalam satu waktu. Kita mengenal beberapa alasan yang membolehkan kita untuk menjamak dua shalat di antaranya adalah sakit ada pun menjamak shalat karena hujan ,itulah yang akan menjadi temapembahasan kita padakesempatan kali ini. Hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini:

Hadits yang pertama:

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: « صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الظهر والعصر جميعاً، والمغرب والعشاء جميعاً، في غير خوف ولا سفر ») رواه مسلم في صلاة المسافرين ( باب الجمع بين الصلاتين في الحضر ) .

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata:”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat Dzhuhur dan Ashar secara bersamaaan (jamak),dan Maghrib dan Isya secara bersamaaan (jamak), dalam kondisi tidak takut dan juga tidak safar. (HR. Muslim, Kitab Shalat Musafirin bab Jamak antara dua Shalat dalam kondisi Muqim)
Dalam riwayat lain:

« في غير خوف ولا مطر »

“Dalam kondisi tidak takut dan tidak hujan”
Imam Malik rahimahullah berkata:

أُرى ذلك كان في مطر الموطأ ( 1 / 144 ) .

“Aku melihat bahwa hal itu dalam kondisi hujan”(al-Muwatha 1/144)

Hadits yang kedua:

عن صفوان بن سليم قال: ( جمع عمر بن الخطاب رضي الله عنه بين الظهر والعصر في يوم مطير) رواه عبد الرزاق في المصنف ( 2 / 556 ) .

“Dari Shafwan bin Salim, berkata:”Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menjamak shalat Maghrib dan Isya ketika haru hujan.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)

Hadits yang ketiga:

وروى أيضاً عن معمر عن أيوب عن نافع: ( أن أهل المدينة كانوا يجمعون بين المغرب والعشاء في الليلة المطيرة، فيصلي معهم ابن عمر رضي الله عنهما لا يعيب ذلك عليهم )

Dan dia meriwayatkan juga (Abdurrazzaq) dari Ma’mar dari Ayyub dari Nafi’:”Bahwa Ahli Madinah dahulu mereka menjamak antara Maghrib dan Isya pada malam turun hujan, dan shalat bersama mereka Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan beliau tidak mencela perbuatan mereka (menjamak shalat karena hujan).” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)

Hadits yang keempat:

روى مالك عن نافع أن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما : ( كان إذا جمع الأُمراء بين المغرب والعشاء في المطر جمع معهم ) الموطأ ( 1 / 145 ) (

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dari Nafi’ rahimahullah bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:”Dahulu apabila para Umara/Pemimpin menjamak antara maghrib dan isya karena hujan, maka beliau ikut menjamak bersama mereka.”(al-Muwatha1/145)

Perbedaan Pendapat Ulama

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah menjamak shalat karena hujan menjadi beberapa pendapat/madzhab:

Pendapat pertama: madzhab Imam Abu Hanifah

Tidak boleh menjamak antara dua shalat dalam kondisi muqim maupun safar (bepergian), jamak menurut mereka hanya khusus untuk shalat zhuhur dan ashar di ‘Arafah, dan maghrib dan isya di Muzdalifah (ketika melakukan ibadah haji). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjamak shalat pada kedua kondisi ini.

Pendapat kedua: madzhab Imam Malik

Boleh menjamak shalat ketika muqim (tidak safar) karena udzur hujan, hanya saja itu dikhususkan untuk hujan di malam hari, maksudnya antara shalat maghrib dan isya’, demikian juga dalm kodisi jalanan becek. Beliau berkata:”Dijamak antara shalat maghrib dan isya walaupun tidak hujan apabila tanahnya becek dan malam gelap, dan juga dijamak apabila hujan.(Bidayatul Mujtahid dan al-Fiqh al-Islami). Dan dalil yang digunakan oleh Imam Malik dalam mengkhususkan jamak shalat tersebut adalah jamak pada shalat malam hari (magrib dan isya) adalah amalan ahli Madinah, dan bahwasanya ada hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:

( أنه كان إذا جمع الأمراء بين المغرب والعشاء في المطر جمع معهم ).

”Sesungguhnya apabila para Umara/Pemimpin menjamak antara maghrib dan isya karena hujan, maka beliau (Ibnu Umar) ikut menjamak bersama mereka.”(al-Muwatha1/145)

Pendapat ketiga: madzhab Imam Syafi’i

Boleh menjamak antara zhuhur dan ashar dan antara maghrib dan isya, jamak taqdim dan tidak boleh jamak takhir, karena keberlangsungan hujan tidak berada dalam kekuasaanya , bisa jadi hujan itu berhenti dan hal itu menyebabkan kita mengeluarkan shalat pertama dari waktunya tanpa udzur, berbeda dengan safar.(al-Iqna’ asy-Syarbini, Bidayatul Mujtahid, al-Fiqh al-Islami). Disyaratkan dalam pembolehan jamak shalat karena hujan, adalah terjadinya hujan ketika takbiratul ihram dan ketika salam dari shalat yang pertama, supaya bersambung dengan shalat yang kedua. Dan tidak boleh menjamak shalat yang disebabkah karena lumpur/becek, angin dan gelap. (al-Iqna’ asy-Syarbini, Bidayatul Mujtahid, al-Fiqh al-Islami).

Pendapat keempat: madzhab Imam Ahmad

Boleh menjamak shalat antara maghrib dan isya, dalam kondisi hujan, es (yang membeku dijalan-jalan), hujan salju, lumpur, dan angin kencang dan dingin. (Manr as-Sunnah-Sabil 1/137). Dan tidak boleh menjamak antara zhuhur dan ashar, imam Ahmad berkata: Aku belum pernah mendengar hal itu (menjamak antara zhuhur dan ashar) (al-Kafi, Ibnu Qudamah al-Maqdisi 459)

Sebagian ulama dari madzhab Hambali berpendapat bolehnya menjamak antara zhuhur dan ashar karena hujan. Di antara mereka adalah al-Qadhi (Abu Ya’la), dan Abu al-Khathab. Boleh menjamak shalat menurut madzhab Hambali bagi munfarid (shalat sendirian), orang yang jalannya menuju ke masjid ada naungan (tidak terkena hujan) dan juga orang yang tinggal di masjid. Hal itu karena apabila udzur itu (dalam hal ini hujan) ada, maka sama saja hukumnya (bolehnya jamak), baik ada kesulitan atau tidak dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjamak shalat ketika hujan padahal antara rumah beliau menuju masjid tidak tidak ada jarak (maksudnya beliau tidak mendapati kesulitan untuk menuju masjid).(Manar as-Sabil, al-Kaafii, dan al-Inshaf)

Pendapat Yang Kuat

Pendapat yang kuat dalam masalah ini –Wallahu a’lam- adalah bolehnya menjamak antara zhuhur dan ashar dan antara mahgrib dan ‘isya karena hujan, sebagaimana itu adalah pendapat Imam Syafi’i rahimahullah, dan hal itu tidak khusus untuk shalat magrib dan ‘isya saja, sebagaimana itu pendapat madzhab Hambali dan Maliki rahimahumallah

Syarat dibolehkannya menjamak shalat karena hujan

1. Syarat yang partama: Yang dijamak adalah dua shalat siang (zhuhur dan ‘ashar) atau dua shalat malam (maghrib dan ‘isya), maka tidak boleh menjamak antara shalat siang dengan malam seperti menjamak shalat ‘ashar dengan maghrib, atau shalat ‘isya dengan shubuh, atau shubuh dengan zhuhur.

2. Syarat yang kedua: Niat untuk menjamak, namun para ulama berbeda pendapat dalam masalah waktu niatnya.

a. Menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki dan Hambali, bahwa niat menjamak dilakukan pada waktu takbiratul ihram shalat yang pertama.(Manaru as-Sabil 1/138, al-Kharasyi ‘ala Mukhtasar Khalil 1/426)

b.Yang shahih dalam mazhab Syafi’i adalah bolehnya niat itu pada takbiratul ihram shalat pertama, atau di tengah-tengah shalat atu di akhirnya. Dan di sana ada pendapat lain dari madzhab Syafi’i bahwa niat menjamak boleh dilakukan setelah salam dari shalat pertama sebelum takbiratul ihram untuk shalat kedua, dan Imam Muzani (murid Imam Syafi’i) menyebutkan hal itu sebagai pendapat Imam Syafi’i. Imam Nawawi berkata:”Itu adalah kuat.” (al-Majmu’ syarah al-Muhadzab 4/374-375)

Al-Muzani rahimahullah dan sebagian sahabatnya dalam madzhab Syafi’i berkata:”Tidak disyaratkan niat (jamak), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjamak shalat dan tidak dinukil dari beliau bahwasanya beliau niat menjamak atau memerintahkan untuk meniatkannya. Dan menjamak bersama beliau orang-orang yang tidak mengetahui niat ini, maka seandainya niat ini wajib pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menjelaskannya. (al-Majmu’ syarah al-Muhadzab 4/374)

Inilah pendapat al-Muzani rahimahullah dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau berkata:”Dan ImamAhmad rahimahullah tidak dinukil dari beliau –sejauh pengetahuan saya-bahwa beliau mnsyaratkan niat dalam menjamak atau mengqashar shalat, akan tetapi hal itu disebutkan oleh sekelompok pengikutnya, seperti al-Khiraqi, al-Qadhi (Abu Ya’la). Adapun Abu Bakar Abdul Aziz dan selainnya mereka berkata:”Sesungguhnya itu sesuai dengan perkataan beliau (Ahmad) yang Mutlak.” (Fatawa Ibnu Taimiyah)
Adapun dalil yang digunakan oleh Ibnnu Taimiyah rahimahullah:

.Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zhuhur bersama para shahabat di ‘Arafah dan beliau tidak memberi tahu mereka kalau beliau akan menjamak shalat ashar setelahnya, lalu beliau shalat ashar bersama mereka radhiyallahu ‘anhumdan mereka tidak meniatkan jamak, dan ini adalah jamak taqdim. Demikian juga ketika beliau keluar dari Madinah, beliau shalat ‘ashar bersama para shahabat di Dzul Khulaifah dengan dua rakaat (qashar), dan beliau tidak menyuruh mereka meniatkan qashar. (Fatawa Ibnu Taimiyah 24/50).
Beliau berkata:”Tidak satu pun sahabat yang menukil/meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,bahwa beliau menyuruh para shahabat radhiyallahu ‘anhum untuk meniatkan qashar maupun jamak, dan tidak pula para khalifah dan shahabat radhiyallahu’anhum menyuruh hal itu kepada orang-orang yang shalat di belakang mereka. (Fatawa Ibnu Taimiyah 24/104).

.Di dalam hadits shahih, bahwa ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam shalat zhuhur atau ‘ashar, dan salam pada rakaat kedua, berkata Dzul Yadain:”Apakah shalatnya diqashar, atau anda lupa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab:”Aku tidak lupa dan shalat tidak diqashar.”Dia berkata lagi:”Bahkan anda telah lupa.”Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata (kepada para sahabat yang lain):”Apakah benar yang dikatakan Dzul Yadain?”Mereka menjawab:”Benar.”Maka beliau menyempurnakan shalat (Bukhari dan Muslim). Seandainya shalat qashar itu tidak diperbolehkan kecuali apabila diniatkan pasti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan hal itu dan pasti mereka mnegetahui hal itu (Fatawa Ibnu Taimiyah 24/50).

Dan di dalam kitab Mudawanah al-Kubra (kitab fiqh madzhab Imam Malik) di sebutkan:Imam Malik berkata tentang orang yang shalat magrib di rumah ketika hujan, lalu dia mendatangi masjid dan mendapati manusia, telah menunaikan shalat maghrib dan belum ‘isya, kemudian dia ingin shalat ‘isya bersama mereka -padahal dia telah shalat maghrib sendirian di rumah- maka beliau (Imam Malik) berkata:”Aku berpendapat tidak mengapa baginya untuk shalat ‘isya bersama mereka.”( Mudawanah al-Kubra 1/203 dan 204)

3. Syarat yang ketiga: Tertib (maksudnya berurutan antara shalat pertama didahulukan di atas shalat yang kedua). Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa disyaratkan dalam jamak taqdim untuk memulai dengan shalat yang pertama, karena itu adalah waktunya, dan shalat yang kedua mengikutinya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjamak demikian, dan beliau berkata:

صلوا كما رأيتموني أصلي

“Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

Seandainya memulai dengan shalat yang kedua maka tidak sah dan wajib untuk mengulang dengan memulai shalat yang pertama kemudian yang kedua.(al-Majmu’ syarah al-Muhadzab 4/374 dan al-Iqna’ 1/369)

4.Syarat yang keempat: Muwalah (bersambung) dengan cara tidak memisahkan antara shalat yang pertama dengan yang kedua kecuali dengan jarak waktu yang sedikit, karena jamak adalah mengikuti dan bersamaan. Hal itu tidak disebut jamak apabila dioisahkan dengan sesuatu jarak waktu yang lama. Lama dan tidaknya dikembalikan kepada kebiasaan, maka apabila perlu untuk berwudhu sebentar hal itu tidak mengapa (al-Majmu’ syarah al-Muhadzab 4/374 dan al-Iqna’ 1/369)

Adapun Ibnu Taimiyah rahimahullah, berpendapat bahwa tidak disyaratkan Muwalah, beliau berkata:”Dan yang shahih adalah tidak disyaratkan Muwalah, baik pada waktu shalat yang pertama ataupun yang kedua, dan sesungguhnnya hak itu tidak ada pembatasannya dalam syariat. Maka memeprsyaratkan hal itu (muwalah), menggugurkan tujuan dari rukhsah itu sendiri (rukhsah menjamak shalat) (al-Fatawa 24/54)

Bolehnya tidak menghadiri shalat jama’ah di masjid dalam kondisi hujan

Hadits-hadits yang membolehkan hal tersebut:

عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه كان يأمر المنادي فينادي بالصلاة ثم ينادي: « أن صلوا في رحالكم، في الليلة الباردة، وفي الليلة المطيرة في السفر »

“Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau memerintahkan seorang penyeru untuk shalat, maka dia menyerukan:”Supaya kalian melakukan shalat di kemah-kemah kalian, pada malam yang dingin dan hujan pada waktu safar.”(HR. Abu Dawud 1061)

عن ابن عمر رضي الله عنهما أنه أذن بالصلاة في ليلة ذات برد وريح، فقال: « ألا صلوا في الرحال » ثم قال: « إن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يأمر المؤذن إذا كانت ليلة باردة ذات مطر يقول: ألا صلوا في الرحال

“Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia adzan pada malam yang dingin dan ada angin, maka dia mengatakan:”Ketahuilah, shalatlah kalian di kemah-kemah (tempat tinggal) kalian, kemudian dia berkata:”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu memerintahkan muadzin ketika hujan di malam hari untuk mengucapkan (di dalam adzan):”Ketahuilah, shalatlah kalian di kemah-kemah”. .”(HR. Abu Dawud 1063)

أنَّ ابن عباس رضي الله عنهما قال لمؤذنه في يوم مطير: « إذا قلت أشهد أن محمداً رسول الله، فلا تقل حيَّ على الصلاة، قل: صلوا في بيوتكم، فكأنّ الناس استنكروا، قال فعله من هو خير مني، إنّ الجمعة عزمة، وإني كرهت أن أُحرجكم فتمشون في الطين والدحض ورواه البخاري ( 901 ) .

“Sesungguhnya Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata kepada muadzin, ketika hujan:”Apabila engkau mengucapkan أشهد أن محمداً رسول الله (dalam adzan), jangan engkau ucapkan حيَّ على الصلاةtapi ucapkanlah صلوا في بيوتكم(shalatlah di rumah-rumah kalian). Maka seolah-olah manusia mengingkarinnya, beliau berkata (Ibnu Abbas):”Hal itu dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Nabi), sesungguhnya shalat jum’at itu wajib dan aku tidak ingin menyusahkan kalian, sehingga kalian berjalan menuju masjid dengan kondisi jalan yang berlumpur dan licin”.(HR. Bukhari 901)

Menurut sebagian ulama yang menjelaskan hadits ini bahwa perkataan beliau”sesungguhnya shalat jum’at itu wajib”karena kejadian itu terjadi pada adzan hari jum’at.Wallahu A’lam.

Sumber:
Diterjemahkan dari “Bahtsun Mukhtasharatun Fil Jam’i Baina as-Shalatain Fil Mathar” Sa’du ad-Din bin Muhammad al Kubbi dari www.boukhary.net. Oleh Abu Yusuf Sujono