Sebagian khulafa` Abbasiyin terpengaruh oleh pemikiran Jahmiyah bahwa al-Qur`an adalah makhluk, mereka berusaha menanamkan pemikiran ini menjadi akidah bagi masyarakat melalui kekuasaan yang dipegangnya, sebuah pemikiran menyimpang yang lumrah kalau mendapatkan penentangan dari kaum muslimin yang dimotori oleh para ahli ilmu yang bermanhaj lurus yang dikepalai oleh Imam Ahmad bin Hanbal, karena kekuasaan yang berbicara maka ia pun berbicara dengan kekerasan, cemeti dan cambuk, penjara dan penahanan, bahkan besi tajam.

Imam Ahmad mendapatkan bagian dari cambukan dan penahanan akibat sikapnya yang kokoh menghadang bid’ah sesat penguasa, beliau didera di depan al-Mu’tashim sampai pingsan, namun Imam ini tidak bergeser sedikit pun dari keteguhannya, Imam melihat cambukan terhadap dirinya bukan dalam arti cambukan, maka beliau mampu bersabar bukan dengan kesabaran biasa, kalau sekedar kesabaran manusia, niscaya beliau akan bersedih dan mungkin bergeser.

Imam mulia ini meletakkan pada dirinya makna keteguhan sunnah dan keutuhan agama dan bahwa beliau adalah umat seluruhnya bukan lagi seorang yang bernama Ahmad bin Hanbal, kalau beliau bergeser maka kaum muslimin akan bergeser, kalau beliau menerima bid’ah Jahmiyah yang satu ini maka kaum muslimin akan menerima, maka kesabaran beliau adalah kesabaran umat secara utuh bukan kesabaran satu orang, kalau orang-orang itu membelah jasadnya dengan gergaji niscaya mereka tidak mendapatkan apa pun darinya, sebab jasadnya tidak lain kecuali baju dan yang bersangkutan adalah pemikiran itu sendiri.

Salah satu pendukung keteguhan Imam yang mulai ini setelah Allah adalah orang-orang disekitarnya yang tidak kenal henti memberikan dukungan dan semangatnya. Abu Ja’far al-Anbari berkata, ”Manakala aku mendengar Ahmad bin Hanbal ditangkap oleh al-Ma`mun, aku menyeberangi Furat dan menemuinya, aku berkata kepadanya, ‘Engkau hari ini adalah seorang imam, orang-orang meneladanimu, demi Allah bila engkau mengikuti kemauan mereka bahwa al-Qur`an adalah makhluk, maka orang-orang pun akan mengikuti, sebaliknya bila engkau menolak banyak tidak sedikit orang yang menolak. Bila pemimpin itu tidak membunuhmu maka engkau tetap akan mati, maka bertakwalah kepada Allah dan jangan mengikuti.”

Imam Ahmad menangis kemudian berkata, “Ulangilah kata-katamu.” Maka aku mengulanginya dan dia berkata, “Masya Allah.”

Shalih bin Ahmad berkata, bapakku dan Muhammad bin Nuh dibawa dari Baghdad dalam keadaan terikat, kami berjalan bersama keduanya sampai di Anbar. Abu Bakar al-Ahwal menemui bapakku dan berkata, “Wahai Abu Abdullah, bila engkau disodorkan ke ujung pedang, apakah engkau mengikuti mereka?” Bapakku menjawab, “Tidak.” Aku mendengar bapak berkisah, kami berjalan di malam hari, tiba-tiba seorang laki-laki mencegat jalan kami, dia berkata, “Mana yang bernama Ahmad bin Hanbal?” Seseorang menjawab, “Ini.” Dia berkata kepada penuntun unta, “Berhenti.” Kemudian dia berkata, “Wahai orang ini –maksudnya Imam Ahmad- apa susahnya engkau dibunuh di sini dan masuk surga? Aku titipkan Allah kepadamu.” Lalu dia meneruskan langkahnya. Imam Ahmad berkata, “Aku bertanya siapa dia, maka rekan-rekan menjawab bahwa dia adalah laki-laki pedalaman dari kabilah Rabi’ah bekerja membuat baju dari kulit yang bernama Jabir bin Amir.’

Ahmad bin al-hawara berkata, Ibrahim bin Abdullah menyampaikan kepada kami berkata, Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku tidak mendengar sebuah kalimat sejak aku terjatuh ke dalam fitnah ini yang lebih kuat daripada ucapan seorang laki-laki pedalaman yang bertemu denganku di tanah Malik bin Thuq, dia berkata, ‘Wahai Ahmad, bila kebenaran membunuhmu maka engkau mati syahid, bila engkau hidup maka engkau hidup dengan terpuji.’ Maka hati ku menjadi teguh.”

Hanbal berkata, Abu Abdullah berkata, “Aku tidak melihat seseorang dengan umurnya yang masih muda dan kadar ilmunya yang lebih teguh memegang perintah Allah dari Muhammad bin Nuh, aku berharap dia mendapatkan husnul khatimah, suatu hari dia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdullah, Allah, Allah, engkau tidak sepertiku. Engkau adalah panutan. Orang-orang telah menjulurkan leher mereka kepadamu, menunggu sikapmu. Bertakwalah kepada Allah, teguhkan dirimu membela perintah Allah.” Lalu dia wafat, aku menshalatkannya dan menguburkannya.

Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (Al-Isra`: 74). Wallahu musta’an.