Tanya:

Assalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakaatuh

Ustadz yang terhormat,
Saya ingin menanyakan soal masalah rumah tangga dan hukum perceraian dalam Islam. Saya adalah seorang karyawan sebuah perusahaan yang alhamdulillah penghasilan saya sudah sangat lebih dari cukup. Sudah 2 tahun lebih saya menikah dan dikaruniai seorang anak perempuan yang umurnya sekitar 1 tahun 3 bulan. Saya termasuk dari keluarga yang broken home dan kurang mampu. Ayah saya bercerai dengan ibu saya ketika saya masih duduk di SMP kelas 1. Dan kami anak-anaknya semuanya ikut dengan Ibu. Sedangkan ayah saya menikah lagi dengan wanita lain.

Saya adalah anak ke-3 dari lima bersaudara. Adik saya ada dua orang, laki-laki dan perempuan keduanya masih kuliah. Ayah saya dulunya bekerja sebagai kepala sekolah sebuah SD Negeri. Sedangkan ibu saya cuma seorang ibu rumah tangga biasa. Sehingga semenjak perceraian itu otomatis kami sekeluarga harus mati-matian bertahan hidup. Sedangkan kakak saya yang pertama cuma seorang guru bantu dan kakak kedua saya masih menganggur. Alhamdulillah ayah saya masih mau membiayai sekolah saya dan adik-adik saya, sampai akhirnya saya lulus politeknik. Lulus dari kuliah saya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari kerja dengan modal seadanya demi keluarga dan adik-adik saya. Alhamdulillah ada saudara teman saya di Jakarta yang mau menampung saya dan mengajak saya kerja di perusahaannya.

Tapi setelah sekitar 10 bulan tidak ada kunjung menampakkan kepastian pekerjaan membuat saya jadi frustasi dan stress berat sehingga sering sakit-sakitan, karena saya selalu ingat dengan Ibu dan adik-adik saya di kampung yang tidak jelas nasibnya. Akhirnya Allah mendengar do’a saya, waktu itu saya ingat sekali adalah hari ulang tahun saya, 21 April. Malamnya saya dimintai tolong oleh saudara teman saya untuk menemui seorang temannya yang sedang nginap di hotel karena butuh bantuan bikin program komputer. Akhirnya saya berangkat ke hotel tersebut dan alhamdulillah semuanya beres. Yang membuat saya tak menyangka adalah orang tersebut menawarkan saya pekerjaan di sebuah bank di Aceh yang kebetulan sedang mencari keahlian seperti saya. Tanpa sadar sayapun menjawab bersedia meskipun harus kerja di Aceh yang jauh dari keluarga. Akan tetapi yang penting saya bisa menopang hidup keluarga saya. Alhamdulillah akhirnya sudah 5 tahun ini saya kerja di Aceh.

Baru sekitar 6 bulan kerja di Aceh, ayah saya meninggal dunia tanpa sempat saya untuk pulang kampung mengantar jenasahnya karena waktu itu saya lagi dinas luar daerah dan tidak bisa dihubungi. Berita meningggalnya baru saya terima sepulang dari dinas, sekitar seminggu kemudian.

Singkat cerita, tahun 2005 akhirnya saya menikah dengan seorang gadis Aceh dan dikaruniai seorang anak perempuan. Niat saya untuk menikah saat itu adalah saya merasa bahwa saya sudah cukup mampu untuk berumah tangga supaya ada yang mendampingi hidup saya yang jauh dari keluarga ini. Dan yang paling penting adalah karena saya takut berbuat maksiat lebih jauh. Akan tetapi ternyata kenyataannya tidak seindah yang saya dambakan. Istri saya semakin lama semakin membuat saya tertekan. Setiap saya pergi dinas luar kota dia selalu minta ikut meskipun anak kami masih bayi. Padahal saya sudah dengan baik-baik kasih pengertian tapi dia tetap nekat dan bahkan marah-marah sambil mengancam akan pergi dengan lain pesawat sehingga saya sampai malu dengan rekan kerja saya.

Tekanan lain yang saya rasakan, dia tidak mau lagi uang gaji saya ada direkening saya karena takut saya kirim lebih ke Ibu dan adik-adik saya di kampung. Sehingga ia meminta untuk dipindahkan ke rekening dia sendiri dan tiap gajian harus langsung ditransfer semuanya ke rekening itu. Padahal selama ini saya selalu memberikan lebih nafkah materi buat dia. Sampai beberapa kali dia minta supaya dicetak rekening koran gaji saya. Sehingga beberapa kali saya sudah tidak sanggup lagi tahan sikap dia dan akhirnya kami sering bertengkar gara-gara masalah yang sama berulang-ulang. Saya merasa bahwa istri saya tidak percaya lagi sama saya. Saya merasa sangat tertekan karena saya masih tinggal di rumah orang tuanya. Sampai akhirnyadia meminta agar kiriman bulanan untuk ibu saya dikurangi. Yang biasanya 2juta jadi cuma 1 juta. Saya tidak bisa berbuat apa-apa karena ATM dan gaji saya semuanya sudah ada dalam kontrol istri saya.

Saya hanya bisa mengalah dan berdoa kepada Allah agar istri saya dibukakan hatinya. Saya tidak berani macam-macam karena anak saya masih kecil. Karena setiap saya melawan dia tidak segan-segan dengan terang-terangan bahkan didepan orang dan tetangga melakukan konfrontasi dengan suara yang keras dan lantang tanpa rasa malu. Hal ini membuat saya cuma bisa diam dan sabar menahan amarah. Seringkali dalam pertengkaran itu dia tidak segan-segan menggunakan kekerasan dengan memukul dan menampar saya. Tapi terus-terang saya tidak berani membalas karena saya malu kalau terdengar mertua dan membuat saya lupa diri dan semuanya bisa makin runyam. Sehingga saya sering diam dan memilih untuk menyingkir sebentar dari rumah.

Masalah ketidakpercayaan inilah yang akhirnya membuat saya memutuskan untuk mengambil langkah backstreet. Maksud saya adalah kalau misalnya ada rejeki lebih saya simpan di rekening saya yang lain sehingga istri saya tidak tahu untuk berjaga-jaga kalau Ibu dan adik-adik saya membutuhkan. Pertengkaran seperti ini juga membuat istri saya sampai sudah 3 kali mengucapkan perkataan yang nadanya minta perceraian.

Yang ingin saya tanyakan adalah:
1. Apakah tindakan backstreet saya dibenarkan oleh agama?
2. Apa yang seharusnya saya lakukan untuk menghadapi masalah seperti ini?
3. Kalau misalnya perceraian terjadi, anak saya yang masih berumur 1 tahun
bulan nantinya akan berhak dibawa oleh saya apa istri saya? Bagaimana hukumnya menurut Islam?

Demikian pertanyaan saya, mohon maaf kalau ada kata-kata yang tidak sepatutnya.Sebelum dan sesudahnya saya sampaikan terima kasih banyak atas
syar’i dan nasehat dari ustadz.

Wassalam.

Jawab:

Wa’alaikumussalam Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.

Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.. Amma ba’du.

Mengatasi persoalan harus dari akarnya dan akar persoalan Anda terletak pada dominasi istri atas Anda yang menurut saya sangat kuat, sehingga Anda tidak berkutik, sampai-sampai untuk membantu ibu dan adik-adik yang memang menjadi kewajiban Anda, Anda harus melakukannya diam-diam. Ini aneh, karena biasanya yang dilakukan diam-diam itu adalah sesuatu yang salah.

Pertanyaan Anda kembali kepada akar persoalan ini. Jadi atasi masalah ini terlebih dahulu. Ubahlah dominasi istri, karena bagaimanapun yang berpenghasilan adalah Anda. Seandainya Anda tidak bisa merubah maka wanita yang baik tidak hanya istri Anda bukan? Tidak perlu menelantarkan ibu dan adik-adik demi menyenangkan istri. Ini yang harus anda lakukan. Kemudian jika Anda bercerai maka dalam hukum Islam anak Anda lebih berhak ikut ibu sebelum ibu belum menikah dengan suami baru, akan tetapi anda tetap bias mengupayakan lewat pengadilan agama. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[IK]