Makna Tauhid

Secara etimologi tauhid berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhida yang berarti menjadikan sesuatu satu atau dengan kata lain mengesakan.
Secara terminologi tauhid adalah mengesakan Allah dalam perkara-perkara yang menjadi kekhususanNya meliputi rububiyah, uluhiyah, asma` wa sifatNya.

Macam-Macam Tauhid
Para ulama membagi tauhid menjadi tiga macam: Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma` wa Sifat.

Pertama, Tauhid Rububiyah

Rububiyah berasal dari kata Rabb, dari sisi bahasa berarti tuan dan pemilik. Dikatakan Rabb ad-Dar berarti tuan rumah. Dikatakan Rabb al-ibil berarti pemilik unta. Allah sebagai Rabb dari segala dan seluruh makhluk berarti Dia adalah tuan dan pemilik semua makhluk karena Dia yang mencipta dan mengatur seluruh makhluk. Kata ar-Rabb secara mutlak tanpa disandarkan hanya boleh digunakan untuk Allah, sedangkan untuk manusia maka penggunaannya dengan disandarkan, misalnya dikatakan, Allah adalah ar-Rabb, tidak fulan adalah ar-Rabb, tetapi fulan adalah rabb ad-Dar, rabb al-ibil dan seterusnya.

Jadi tauhid rububiyah berarti pengakuan terhadap keesaan Allah dalam segala perbuatanNya yang meliputi penciptaan, pengaturan, pemberi rizki, pemegang hidup dan mati makhluk dan lainnya yang menjadi kekhususanNya.

Allah telah menyatakan bahwa Dia tidak bersekutu dalam perbuatanNya.

Firman Allah, “Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah.â€‌ (Luqman: 11).

Firman Allah, “Atau siapakah dia yang memberimu rizki jika Allah menahan rizkiNya?â€‌ (Al-Mulk: 21).

Allah menetapkan rububiyahNya atas segala sesuatu, firmanNya, “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.â€‌ (Al-Fatihah: 2).

Realisasi dari tauhid ini adalah keyakinan bahwa yang mencipta, yang mengatur, yang memberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, yang memberi manfaat, yang menimpakan mudharat dan seterusnya hanyalah Allah semata. Selanjutnya dibuktikan dalam hidup dalam bentuk misalnya tidak meminta rizki kepada selainNya siapa pun dia, tidak berharap manfaat kepada selainNya siapa pun dia, dan seterusnya.

Pengakuan Alam semesta terhadap rububiyah Allah

Rububiyah Allah ini diakui oleh manusia seluruhnya, bahkan orang-orang yang menyekutukanNya dengan sesuatu dalam perkara ibadah mengakui rububiyahNya.

Firman Allah, “Katakanlah, â€کSiapakah yang Empunya langit yang tujuh dan yang Empunya ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan menjawab, â€کKepunyaan Allah.’ Katakanlah, â€کMaka apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, â€کSiapakah yang di tanganNya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedangkan Dia melindungi tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)Nya jika kamu mengetahui?’ Mereka akan menjawab, â€کKepunyaan Allah.’ Katakanlah, â€ک(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Al-Mukminun: 86-89).

Demikian pula dengan orang-orang yang mengaku sebagai pengingkar Tuhan, mereka memang menampakkan pengingkaran, akan tetapi hal itu hanya karena kesombongan, hakikat mereka secara diam-diam mengakui bahwa tidak ada makhluk kecuali di baliknya terdapat penciptanya, tidak ada benda kecuali di belakangnya terdapat pembuatnya, karena hal ini merupakan kebenaran mendasar yang diakui oleh orang-orang waras.

Firman Allah, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).â€‌ (Ath-Thur: 35-36).

Al-Qur`an mencatat bahwa orang yang paling terkenal dengan pengingkarannya adalah Fir’aun, tetapi Fir’aun sama dengan para pengingkar yang lain, tidak kuasa mengingkari dirinya sendiri yang mengakui rububiyah Allah. Musa berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu hai Fir’aun seorang yang akan binasa.” (Al-Isra`: 102).

Hal ini tidak aneh karena memang Allah telah memfitrahkan manusia di atas pengakuan terhadap rububiyahNya, selama fitrah manusia lurus dan bersih dia pasti akan mengakui hal ini, ini sekaligus menunjukkan bahwa dasar manusia adalah tauhid dan bahwa syirik adalah perkara insidentil yang menyusup dan menodai fitrah ini.

Firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), â€کBukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, â€کBetul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan, â€کSesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172).

Baginda Rasulullah saw menegaskan makna ayat di atas dalam sabdanya,

أںأµأ،أ¸أµ أ£أ³أ¦أ؛أ،أµأ¦أ؛أڈأ² أ­أµأ¦أ؛أ،أ³أڈأµ أڑأ³أ،أ³أ¬ أ‡أ،أ‌أ¶أکأ؛أ‘أ³أ‰أ¶ أ‌أ³أƒأ³أˆأ³أ¦أ³أ‡أ¥أµ أ­أµأ¥أ³أ¦أ¸أ¶أڈأ³أ‡أ¤أ¶أ¥أ¶ أƒأ³أ¦أ؛ أ­أµأ¤أ³أ•أ¸أ¶أ‘أ³أ‡أ¤أ¶أ¥أ¶ أƒأ³أ¦أ؛ أ­أµأ£أ³أŒأ¸أ¶أ“أ³أ‡أ¤أ¶أ¥أ¶

“Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka bapak ibunya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.â€‌ (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dan Nabi saw tidak bersabda, “Menjadikannya Islam atau muslim.â€‌ Wallahu a’lam.