• Pasal: Ketahuilah bahwa adzan dan iqamat menurut kami adalah sunnah, dan inilah madzhab yang shahih yang terpilih, baik itu adzan Jum’at atau selainnya. Sebagian sahabat kami berkata, “Adzan dan iqamat adalah fardhu kifayah.” Sebagian yang lain ber-kata, “Keduanya adalah fardhu kifayah untuk Jum’at bukan pada selainnya.” Jika kita memilih fardhu kifayah maka seandainya penduduk suatu daerah atau kota meninggal-kannya maka mereka diperangi karenanya. Jika kita memilih sunnah maka mereka tidak diperangi berdasarkan madzhab yang shahih dan terpilih, sebagaimana mereka tidak diperangi karena meninggalkan shalat sunnah Zhuhur dan yang sepertinya. Sebagian kawan kami berkata, “Mereka diperangi karena ia adalah syiar Islam yang zahir.” (Yang terpilih dari pendapat-pendapat ini adalah bahwa adzan fardhu kifayah berdasarkan dalil-dalil yang banyak lagi jelas, bukan di sini tempat perinciannya, dan inilah yang masyhur dari madzhab Ahmad dan pilihan Ibnu Taimiyah, pent.)

  • Pasal: Dianjurkan mentartilkan adzan dan meninggikan suara, dan dianjurkan mempercepat iqamat dengan suara lebih rendah daripada suara adzan. Seorang muadzin disunnahkan bersuara bagus, dipercaya, amanat, mengetahui waktu dan tidak meminta bayaran. Disunnahkan beradzan dan beriqamat dengan berdiri di tempat yang tinggi dan menghadap kiblat. Seandainya dia beradzan atau beriqamat dengan membelakangi kiblat, atau dengan duduk atau berbaring atau dalam keadaan berhadats atau junub, adzan-nya tetap sah hanya saja makruh, dan adzan orang yang junub lebih berat makruhnya dari-pada yang berhadats dan makruhnya iqamat dalam keadaan junub lebih berat. (Mengenai disunnahkan ia dapat diterima. Adapun apa yang dinyatakan makruh maka ia tidak berdalil. Kalau menyelisihi yang lebih baik, maka hal itu benar, pent..)

  • Pasal: Adzan tidak disyariatkan kecuali untuk shalat lima waktu: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`, baik shalat dilaksanakan pada waktunya atau di luar waktunya, baik dia musafir atau mukim, baik shalat sendiri maupun berjamaah. Jika satu orang beradzan maka ia cukup mewakili yang lain. Apabila dia mengqadha shalat-shalat yang tertinggal pada waktu (Ini menurut pendapat yang mensyariatkan mengqadha shalat yang terlewatkan, dan yang benar adalah bahwa ia tidak disyariatkan karena tidak ada dalil yang bisa dijadikan sebagai pijakan. Adapun orang yang meninggalkan shalat karena tertidur atau karena lupa waktunya adalah pada waktu dia bangun atau ingat. Jadi ia adalah pelaksanaan pada waktunya dan bukan qadha, pent.), maka cukup beradzan untuk yang pertama saja dan beriqamat untuk masing-masing shalat. Jika menjamak di antara dua shalat maka cukup beradzan untuk yang pertama saja dan beriqamat untuk masing-masing.
    Adapun selain shalat lima waktu maka tidak ada adzan untuknya dan tidak ada khilaf mengenai hal ini. kemudian di antara shalat-shalat tersebut ada yang dianjurkan pada saat hendak menunaikannya dengan berjamaah untuk mengucapkan, الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ seperti shalat Id, shalat kusuf, shalat istisqa’. Di antaranya ada yang tidak dianjurkan padanya, seperti sunnah-sunnah shalat dan shalat sunnah mutlak. Di antaranya, ada yang diperselisihkan, seperti shalat tarawih dan jenazah dan yang lebih shahih adalah diucap-kannya ia pada shalat tarawih bukan shalat jenazah. (Tidak disyariatkan ucapan الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ kecuali hanya untuk Shalat Kusuf (gerhana matahari). Adapun Shalat Id, Istisqa’, Tarawih dan jenazah maka tidak ada dalil yang mensyariatkan itu padanya, pent.)

  • Pasal: Iqamat tidak sah kecuali pada waktunya dan pada saat hendak menunai-kan shalat.
    Adzan tidak sah kecuali setelah masuk waktu shalat, kecuali Shubuh, boleh adzan padanya sebelum masuk waktu. Waktu di mana adzan dibolehkan padanya diperseli-sihkan dan yang paling shahih adalah ia dibolehkan pada pertengahan malam, ada yang berpendapat pada waktu Sahur. Ada yang berpendapat di seluruh malam, dan ini pen-dapat yang tidak perlu dipandang, ada yang berpendapat, setelah dua pertiga malam. Dan yang terpilih adalah yang pertama.( Semua ini adalah pendapat yang lemah, tidak didasari sinar kebenaran. Yang terpilih adalah bahwa adzan awal untuk shalat Subuh sesaat sebelum adzan yang kedua, karena telah terbukti dalam hadits shahih bahwa tenggat waktu antara adzan Bilal dan adzan Ibnu Ummi Maktum hanyalah seukuran antara turunnya yang pertama dan naiknya yang kedua. Jika ada yang mengherankan maka yang lebih mengherankan adalah orang yang beradzan setelah pertengahan malam. Untuk apa dia beradzan?, pent.)

  • Pasal: Wanita dan banci boleh beriqamat namun tidak boleh beradzan karena keduanya dilarang mengangkat suara. (Terdapat atsar yang hasan dan shahih yang mensyariatkan adzan bagi wanita dari Aisyah dan Ibnu Umar, jadi ia dija-dikan pijakan. Benar ia sunnah baginya bukan wajib, pent.)

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Telp. 021-84998039. Oleh: Abu Nabiel)