Dianjurkan bagi orang yang mendengar adzan dan iqamat untuk mengucapkan seperti yang diucapkan oleh muadzin dan muqim (orang yang beriqamat) kecuali pada حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ dan حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ, setelah kedua ucapan tersebut dia mengucapkan, لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ (tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena Allah).

Pada ucapan, الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ dia mengucapkan, صَدَقْتَ وَبَرَرْتَ (kamu benar dan kamu baik), ada yang berkata, dia mengucapkan, صَدَقَ رَسُوْلُ اللهِ، الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ (Rasulullah benar dan shalat itu lebih baik daripada tidur). [Al-Hafizh dalam at-Talkhis 1/222 berkata, “Tidak berdasar.” Aku berkata, “Dari sini maka yang dianjurkan adalah mengucapkan seperti yang diucapkan oleh muadzin berdasarkan keumuman sabda Nabi, ‘Apabila kalian mendengar muadzin maka ucapkanlah seperti yang dia ucapkan.”, pent.]

Pada dua kalimat iqamat: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ, dia mengucapkan, أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا (semoga Allah menegakkannya dan menjadikannya abadi). [Al-Asqalani dalam at-Talkhis 1/222 berkata, “Tidak berdasar.” Aku berkata, ” Tidak berdasar secara shahih, karena memang ada riwayat di Abu Dawud yang sangat lemah sekali. Jadi yang dianjurkan adalah mengucapkan seperti yang diucapkan oleh muadzin berdasarkan keterangan sebelumnya, pent.]

Setelah ucapan muadzin, أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, dia mengucapkan, وَأَنَا أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ (dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul Allah).

Kemudian dia mengucapkan, رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْناً (Aku rela Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagai Rasul dan Islam sebagai agama). [Di sebagian naskah tercantum, “Dan Islam sebagai agama.” Sebelum, “Muhammad sebagai Rasul.” Dan yang benar adalah yang saya cantumkan, pent.]

Jika telah selesai mengikuti seluruh adzan maka dia membaca shalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengucapkan,

اَللّهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدً الْوَسِيْلَةَ وَاْلفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ.

“Ya Allah Rabb panggilan yang sempurna (adzan) dan shalat wajib yang didirikan, berikanlah wasilah (derajat di Surga) dan kedudukan paling mulia kepada Nabi Muhammad, dan bangkit-kanlah beliau sehingga bisa menempati maqam yang terpuji yang Engkau janjikan kepadanya.”

Kemudian berdoa dengan doa yang dia inginkan dari perkara dunia atau akhirat.

Kami meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ.

“Apabila kamu mendengar adzan maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh muadzin.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka berdua, pek, pent]. [Shahih al-Bukhari, Kitab al-Adzan, Bab Ma Yaqulu Idza Sami’a al-Munadi, 2/90, 61; Shahih Muslim, Kitab ash-Shalah, Bab Istihbab al-Qaul Mitsl al-Mu’adzdzin, 1/288, no. 383, pent.]

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ، لاَ تَنْبَغِيْ إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ.

“Apabila kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti yang dia ucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku, karena barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian memohonlah wasilah (kedudukan tinggi) kepada Allah untukku karena itu adalah kedudukan di surga yang tidak layak kecuali untuk seorang hamba dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap aku adalah hamba tersebut, barangsiapa memohon wasilah untukku niscaya dia (berhak) mendapatkan syafaat.” (HR.Muslim dalam Shahihnya)

Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قَالَ الْمُؤَذِّنُ: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ أَحَدُكُمْ: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، ثُمَّ قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. ثُمَّ قَالَ: حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، قَالَ: لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. ثُمَّ قَالَ: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، قَالَ: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. ثُمَّ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، مِنْ قَلْبِهِ، دَخَلَ الْجَنَّةَ.

“Apabila muadzin mengucapkan, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar,’ lalu salah seorang dari kalian menjawab, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar’, kemudian muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu An La Ilaha Illallah’, dia menjawab, ‘ Asyhadu An La Ilaha Illallah’, kemudian muadzin mengucapkan, ‘Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah’, dia menjawab, ‘ Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah,’ kemudian muadzin mengucapkan, ‘Hayya Ala ash-Shalah,’ dia menjawab, ‘La Haula Wala Quwwata Illah Billah’, kemudian muadzin mengucapkan, ‘Hayya Ala al-Falah,’ dia menjawab,’La Haula Wala Quwwata Illa Billah’, kemudian muadzin mengucapkan, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar,’ dia menjawab, ‘Allahu Akbar Allahu Akbar,’ kemudian muadzin mengucapkan, ‘La ilaha Illallah’, dia menjawab, ‘La ilaha Illallah’, (dan semua itu) dari hatinya; niscaya dia masuk surga.” Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya.

Dari Sa’ad bin Abu Waqqash radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَـهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ.

“Barangsiapa mengucapkan pada waktu mendengar adzan, ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusanNya, aku rela Allah sebagai Rabb, Muhammad sebagai Rasul, dan Islam sebagai agama yang benar,’ niscaya dosanya diampuni.”

Dalam sebuah riwayat,

مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ: وَأَنَا أَشْهَدُ.

“Barangsiapa ketika mendengar muadzin, dia mengucapkan, ‘Dan aku bersaksi’.” Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya.

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan sanad shahih,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ، كَانَ إِذَا سَمَعَ الْمُؤَذِّنُ يَتَشَهَّدُ، قَالَ: وَأَنَا وَأَنَا.

“Bahwa apabila Rasulullah mendengar muadzin mengumandangkan syahadat, beliau mengucapkan, ‘Aku (bersaksi) aku (bersaksi)’.”

Takhrij Hadits: Shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 2362; Abu Dawud Kitab ash-Shalah, Bab Ma Yaqulu Idza Sami’a al-Mu’adzdzin, 1/200, no. 526; Ibnu Hibban no. 1683; ath-Thabrani dalam ad-Du’a’ no. 438 dan 439; al-Hakim 1/240; al-Baihaqi 1/409: dari beberapa jalan, dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari (Aisyah) dengan hadits tersebut.

Ini adalah sanad shahih berdasarkan syarat keduanya (al-Bukhari dan Muslim), seandainya tidak ada perbedaan di antara mereka tentang apakah ia maushul atau mursal. Ia diriwayatkan secara maushul oleh Hafsh bin Ghiyas dan Ali bin Mushir sementara diriwayatkan secara mursal oleh ats-Tsauri dan sejumlah rawi (selainnya) ad-Daruquthni merajihkan yang mursal. Akan tetapi terdapat dalam riwayat Ahmad 6/124, ath-Thabrani dalam ad-Du’a’ no. 437, dari jalan Abdul Wahid bin Ziyad, Amr bin Maimun menyampaikan kepada kami, dari bapaknya, dari Aisyah dengan riwayat senada. Ini adalah sanad shahih yang menguatkan riwayat maushul. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, an-Nawawi, al-Asqalani dan al-Albani.

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اَللّهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا اْلوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barangsiapa ketika mendengar adzan mengucapkan, ‘Ya Allah Rabb panggilan yang sem-purna (adzan) dan shalat wajib yang didirikan, berikanlah wasilah (derajat yang tinggi di surga) dan fadhilah (kedudukan yang mulia) kepada Nabi Muhammad, dan bangkitkanlah beliau sehingga bisa menempati maqam yang terpuji yang Engkau janjikan kepadanya’; niscaya dia berhak meraih syafa’atku pada Hari Kiamat.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya. [Kitab al-Adzan, Bab ad-Du’a’ Inda al-Adzan, 2/94, no. 614, pent.]

Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni dari Muawiyah,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يَقُوْلُ: حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ؛ قَالَ: اَللّهُمَّ اجْعَلْنَا مُفْلِحِيْنَ.

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar muadzin mengucapkan, ‘Hayya Alal Falah’ beliau mengu-capkan, ‘Ya Allah jadikanlah kami termasuk orang-orang yang beruntung’.”

Takhrij Hadits: Maudhu’: Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni no. 92 dari jalan Abdullah bin Waqid, dari Nashr bin Tharif, dari Ashim bin Bahdalah, dari Abu Shalih, dari Muawiyah dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad yang sangat parah: Abdullah bin waqid adalah rawi matruk, Nashr bin Tharif adalah matruk dan tertuduh. Kemudian hadits ini diriwayatkan oleh beberapa orang dari Muawiyah dari jalan Ashim ini dan selainnya dan di dalamnya tidak terdapat apa yang ada di sini. Oleh karena itu al-Asqalani dalam Amal al-Adzkar 2/130-Futuhat berkata, “Terbukti bahwa yang menambah adalah Nashr.” Al-Albani berkata, “Hadits maudhu’.”

Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, dari seorang laki-laki, dari Syahr bin Hausyab, dari Abu Umamah al-Bahili (atau dari sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam),

أَنَّ بِلاَلاً أَخَذَ فِي اْلإِقَامَةِ، فَلَمَّا قَالَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَالَ النَّبِيُّ: أَقَامَهَا اللهُ وَأَدَامَهَا.

“Bahwa Bilal bila mulai beriqamat, dan ketika dia mengucapkan, ‘Qad qamatish shalah,’ Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan, ‘Semoga Allah menegakkannya dan melanggengkannya’.” Dan dalam lafazh-lafazh iqamat yang lain Nabi mengucapkan seperti yang ada di hadits Umar pada adzan.

Takhrij Hadits: Dhaif: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Kitab ash-Shalah, Bab Ma Yaqulu Inda Sami’a al-Iqamat, 1/200, no. 528, ath-Thabrani, dalam ad-Du’a’ no. 491, Ibn as-Sunni no. 104, al-Baihaqi 1/411, dari jalan Muhammad bin Tsabit, seorang laki-laki dari kota Syam menyampaikan kepadaku, dari Syahr dengan hadits tersebut. Ini adalah sanad tak berharga: Muhammad bin Tsabit, haditsnya lemah, Syahr adalah rawi dhaif jika sendirian, dan pada sanadnya terdapat rawi yang tidak jelas. Hadits ini didhaifkan oleh al-Baihaqi, al-Mundziri, an-Nawawi, al-Asqalani dan al-Albani.

Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ يُقِيْمُ الصَّلاَةَ، يَقُوْلُ: اللّهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَآتِهِ سُؤْلَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Bahwa apabila dia mendengar muadzin beriqamat, dia mengucapkan, ‘Ya Allah Rabb pang-gilan yang sempurna ini dan shalat yang didirikan, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kabulkanlah permohonannya pada Hari Kiamat’.”

Takhrij Hadits: Mauquf tidak mengapa: Diriwayatkan oleh Ibn as-Sunni no. 105: Abu Ya’la mengabarkan kepada kami, Ghassan bin ar-Rabi’ menyampaikan kepada kami, dari Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban, dari Atha’ bin Qurrah, dari Abdullah bin Dhamurah, dari Abu Hurairah dengan hadits tersebut.
Ini adalah sanad yang tidak mengapa, rawi-rawinya tsiqah, pada sebagian dari mereka terdapat pembicaraan yang tidak sampai pada tingkat melemahkan haditsnya.

Pasal: Apabila seseorang mendengar muadzin atau muqim, sementara dia sedang shalat, maka dia tidak harus menjawab di dalam shalat. Apabila dia telah salam darinya maka dia menjawabnya seperti jawaban orang yang tidak sedang shalat. Seandainya dia menjawab di dalam shalat, maka hal itu makruh namun shalatnya tidak batal, sama halnya jika dia mendengar adzan sedangkan dia berada dalam WC, dia tidak menjawabnya pada saat itu, namun menjawabnya jika telah keluar. Adapun apabila dia membaca al-Qur`an atau bertasbih atau membaca hadits atau ilmu lain atau melakukan selainnya, maka semua itu seyogyanya dihentikan demi menjawab adzan, setelah itu dilanjutkan kembali, karena menjawab adzan bisa terlewatkan, sedangkan apa yang sedang dilakukannya tetap bisa diteruskan setelah itu. Apabila dia tidak mengikuti muadzin sampai dia selesai maka dia tetap dianjurkan mengikutinya selama tenggat waktunya belum lama.

Sumber: dikutip dari Buku “Ensiklopedia Dzikir dan Do’a Al-Imam An-Nawawi Takhrij & Tahqiq: Amir bin Ali Yasin. Diterbitkan oleh: Pustaka Sahifa Jakarta. Telp. 021-84998039. Oleh: Abu Nabiel)