Segala urusan penting pada umumnya didahului oleh pengantar dan mukadimah, sekalipun sifatnya pengantar dan mukadimah namun tidak jarang ia menentukan keberhasilan urusan tersebut, tidak keliru jika dikatakan bahwa merupakan mukadimah gerbang penentu arah perjalanan selanjutnya. Salah satu urusan penting dalam kehidupan manusia adalah pernikahan di mana ia merupakan salah penentu arah kehidupannya, salah satu kunci kebahagiaan hidupnya atau sebaliknya kenestapaannya, dan mukadimahnya adalah khitbah atau lamaran.

Khitbah adalah permohonan pihak laki-laki kepada pihak wanita terkait dengan kesediaannya untuk mengikat hidup berdua dengan jalianan pernikahan melalui cara-cara yang ma’ruf dan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku pada umumnya. Allah Ta’ala mensyariatkannya sebelum terjalinnya ikatan pernikahan sebagai sarana penjajakan dan pengenalan suami terhadap calon istrinya dan sebaliknya, sehingga di saat keputusan menikah ditetapkan secara bulat, maka keputusan tersebut benar-benar berdasarkan kemantapan dan kepastian.

Sebelum khitbah dilangsungkan, hendaknya Anda memastikan bahwa antara Anda dengan wanita yang akan Anda lamar tidak terdapat tembok penghalang dari sisi syar’i di mana karenanya Anda tidak boleh menikahinya. Tidak ada hubungan mahram antara Anda dengan dia yang mencakup mahram bin nasab dan mahram bis sabab, yang kedua ini mencakup susuan dan mushaharah (hubungan karena adanya hubungan pernikahan), dan semua hubungan di atas tergolong mu`abbad (langgeng dan selamanya). Anda harus memastikan hal ini karena Anda tidak mau kan misalnya menikah dengan saudara perempuan sendiri atau dengan ibu tiri Anda atau dengan anak sendiri?

Atau penghalang mu`aqqat (temporer, sementara) karena adanya suatu kriteria pada diri Anda atau pada dirinya, misalnya perbedaan agama, kecuali laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab, misalnya dia adalah wanita pezina atau berstatus istri orang lain atau masih dalam masa iddah, atau Anda dan dia dalam keadaan ihram dan penghalang-penghalang sementara lainnya, sekalipun sifatnya sementara namun jika khitbah dilangsungkan dan dilanjutkan ke gerbang pernikahan maka pernikahannya tetap tidak sah.

Anda juga harus memastikan bahwa “Ukkasyah belum mendahului Anda.” Ini adalah peribahasa yang diucapkan kepada seseorang yang telah didahului oleh orang lain dalam suatu perkara yang dia ingin dapatkan. Maksud saya belum ada orang lain yang mendahului Anda dalam melamar wanita tersebut, karena jika sudah ada maka Anda harus menunggu kepastian apakah diterima atau ditolak lamaran tersebut? Jika yang pertama Anda tidak patut maju, berdasarkan ini:

لاَ يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلىَ خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ

Janganlah salah seorang di antara kalian melamar di atas lamaran orang lain sehingga pelamar sebelumnya meninggalkannya atau memberi izin.” Sabda Rasulullah saw diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar. Kalau dalam kondisi ini lamaran tetap dilangsungkan pasti ada yang marah dan tersinggung, bahkan bisa-bisa dia mengasah golok.

Tetapi untuk yang kedua Anda patut untuk maju tak gentar sekalipun mungkin Anda ditolak dengan sukses. Ditolak? Apakah boleh menolak lamaran? Ya kalau kita melihat kepada kebiasaan masyarakat kita, Indonesia, maka kita melihat hampir tidak ada lamaran yang ditolak, hampir semuanya diterima, bagaimana tidak, lha wong sebelumnya sudah ada lobi-lobi dari kedua belah pihak, jelas saja ya pasti diterima, sehingga seseorang atau suatu keluarga tidak akan maju melamar kecuali dipastikan diterima, kalau jawabannya masih tanda tanya atau kemungkinan kecil diterima maka tidak ada yang berani. Lha iya lah, malu dong, sudah mengerahkan pasukan lengkap dengan perbekalannya dan seragamnya, eh ternyata pulang dengan membawa “Sepasang khuf Hunain.” Ini peribahasa Arab yang dikatakan kepada seseorang yang pulang membawa kegagalan.

Balik lagi ke pertanyaan, apakah boleh menolak lamaran? Jawabannya adalah pertanyaan juga, apakah ada dalil yang melarang menolak lamaran? Atau apakah ada dalil yang mengharuskan atau menganjurkan menerima lamaran? Perhatikan Hadits di bawah ini.

إِذَا أَتاَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلَقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ

Jika kalian didatangi oleh seseorang yang kalian terima agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, jika tidak maka akan lahir fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari Abu Hatim al-Muzani.

Berarti menurut hadits ini lamaran mungkin ditolak dan mungkin pula diterima, tergantung kriterianya. Kalau kriteria menerima menurut Rasulullah saw adalah seperti yang tertulis dalam hadits di atas: agama dan akhlak. Tetapi kriteria anak gadis zaman ini atau wali masa kini mungkin berbeda, mungkin kriteria Rasulullah saw bagi mereka sudah usang alias jadul, berada dalam urutan paling belakang, itupun kalau mereka masih memasukkannya ke dalam urutan.

Khitbah Wanita dalam Masa Iddah

Kalau Anda naksir janda, jangan bilang kok janda sih? Apa tidak ada gadis? Jangan bilang begitu, karena apa salahnya dengan janda, terkadang dia lebih daripada gadis. Balik lagi, kalau Anda ngincer janda, maka pastikan, sebelum maju melamarnya, bahwa janda tersebut telah benar-benar menuntaskan kewajiban iddahnya, menyelesaikan masa menunggu setelah berpisah dengan suaminya baik dengan talak atau khulu’ atau fasakh atau mati atau sebab lainnya. Masalah ini saya tekankan karena habis dan tidaknya masa iddah sulit diketahui oleh orang lain, karena yang tahu sejak kapan pasnya janda tersebut berpisah dengan suaminya, kapan pastinya jatuh talak atasnya dari suaminya tidak diketahui orang banyak. Jelas dong, masak perkara ginian harus diobar-obar ke mana-mana, tidak perlu. Paling-paling yang tahu setelah Allah adalah suami yang mentalaknya dan dia sendiri. Maka dari itu Anda harus benar-benar pastikan iddahnya telah tuntas tas, tas, tas.

Kenapa saya katakan demikian? Biar Anda tidak terjebak dalam khitbah terhadap wanita yang masih berstatus istri orang jika talaknya raj’i, atau minimal Anda terjatuh ke dalam sesuatu yang dilarang oleh Islam agama Anda. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu bertekad hati untuk berakad nikah sebelum amsa iddah itu habis.” (Al-Baqarah: 235). Imam Ibnu Katsir berkata, “Para ulama telah berijma’ bahwa tidak sah akad dalam masa iddah.”

Khitbah mempunyai dua cara: Pertama, tashrih, langsung dan jelas, to the point. Kedua, ta’ridh, tidak langsung, mbulet. Kedua cara ini tidak boleh dipakai untuk wanita dalam masa iddah raj’i, yaitu wanita yang masih mungkin rujuk kepada suaminya. Imam Ibnu Katsir berkata, “Adapun wanita yang ditalak secara raj’i, maka tidak ada perbedaan bahwa selain suaminya tidak boleh melamarnya secara langsung maupun tidak langsung.”

Bagaimana dengan wanita ba`in? Itu wanita yang tidak rujuk lagi kepada suaminya, misalnya suaminya wafat atau suaminya mentalaknya dengan talak tiga, untuk wanita model ini, cara tashrih tidak boleh, yang boleh adalah cara ta’ridh, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Tidak ada dosa bagimu melamar wanita-wanita tersebut dengan sindiran.” (Al-Baqarah: 235). Imam Ibnu Katsir berkata, “Kalian menyampaikan lamaran kepada wanita yang ditinggal wafat suaminya tetapi dengan cara tidak langsung…Cara ini juga bisa dipakai untuk wanita dengan talak tiga.” Lalu Imam Ibnu Kastir menyebutkan hadits Fatimah binti Qais yang ditalak suaminya Abu Amru bin Hafsh untuk yang ketiga kalinya, “Jika kamu telah selesai beriddah maka beritahu aku.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Cara ini, yaitu tidak langsung ini, misalnya dengan berkata, “Siapa yang tidak ingin beristri wanita sepertimu.” Atau, “Anak-anakmu memerlukan bapak baru.” Atau, “Ada yang menunggumu.” Dan yang sepertinya. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)