Hikmah adalah kata-kata bijak yang mengandung nilai pelajaran berharga hasil dari pengalaman hidup yang panjang, ia mengajak kepada keluhuran perilaku dan meninggalkan kerendahan tingkah laku. Barangsiapa diberi hikmah maka dia telah diberi kebaikan yang besar, ia adalah barang yang hilang dari seorang mukmin, siapa yang mendapatkannya maka dialah yang lebih berhak atasnya.

Karena generasi tua lebih lama menikmati dan mengarungi hidup, telah merasakan asam garam kehidupan, maka mereka lebih kaya akan hikmah, dari sini maka pada umumnya hikmah diwariskan oleh generasi tua kepada generasi sesudahnya, dan termasuk hikmah adalah menyampaikan hikmah dengan hikmah, sama halnya menyampaikan dakwah bil hikmah, salah satunya adalah dengan mengkaitkan hikmah dengan sesuatu yang riil lagi kongkrit, karena nilainya akan lebih membekas dan mengakar di benak orang yang menerimanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan hal ini ketika ada seorang wanita dari tawanan perang mencari-cari anaknya yang terpisah dari dirinya, setiap kali dia melihat seorang anak dia mendekapnya karena dikira anaknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian wanita tersebut tega melemparkan anaknya ke dalam api?” Para sahabat menjawab, “Tidak akan, ya Rasulullah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah lebih menyayangi hambaNya dari pada wanita itu menyayangi anaknya.”

Pada suatu hari seorang bapak yang bijak ditemani salah seorang anaknya berjalan-jalan ke tempat yang sunyi. Keduanya berjalan dan akhirnya sampai di perkebunan dengan pohon-pohon yang indah, bunga-bunga yang harum dan buah-buahnya yang ranum. Ada sebuah pohon kecil di pinggir jalan yang condong karena ditiup angin, ujungnya hampir menyentuh tanah.

Bapak bijak itu berkata kepada anaknya, “Lihatlah pohon yang miring itu. Kembalikan ia kepada bentuk semula.” Anaknya bangkit menuju pohon itu. Dengan usaha yang mudah dia berhasil meluruskannya. Seterusnya keduanya berjalan. Sekarang keduanya sampai pada sebuah pohon besar, batang-batangnya banyak yang bengkok.

Bapak itu berkata kepada anaknya, “Anakku lihatlah pohon ini… betapa ia sangat memerlukan orang yang mau berbuat baik kepadanya dengan meluruskannya, menghilangkan aib yang menodainya dan menurunkan harganya di depan orang-orang yang memandangnya. Ke sanalah, lakukanlah apa yang kamu lakukan dengan pohon sebelumnya.”

Anaknya tersenyum keheranan, dia menjawab, “Aku bukan tidak mau berbuat baik. Hanya saja pohon itu tidak mungkin diluruskan karena usianya yang tua. Benar itu mungkin pada saat ia masih muda. Kalau sekarang, mana mungkin?”

Bapak bijak itu mengagumi anaknya. Dia berbahagia melihat anaknya yang cerdas dan menjawab dengan tepat. Dia berkata, “Kamu benar anakku. Siapa yang tumbuh di atas sesuatu maka ia menjadi tabiatnya. Beradablah sejak kecil niscaya adab itu selalu menemanimu sampai kamu dewasa.”

Kemudian keduanya pulang dan bapak bijak itu mengulang-ulang dalam dirinya…

قَدْ يَنْفَعُ الأَدَبُ الأَحْدَاثَ فِي مَهَلٍ
وَلَيْسَ يَنْفَعُ بَعْدَ الكَبْرَةِ الأَدَبُ

إِنَّ الغُصُوْنَ اِذَا قَوَّمْتَهَا اعْتَدَلَتْ
وَلاَ تَلِيْنُ إِذَا قَوَّمْتَهَا الخُشُبُ

Budi pekerti itu berguna bagi seorang anak semasa kecilnya
Adapun pada masa kepala telah beruban maka ia tidak berguna
Sesungguhnya jika kamu meluruskan ranting maka ia bisa lurus
Sementara kayu, tidak mungkin kamu bisa meluruskannya.

Tidak berbeda dengannya adalah ucapan, “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, sementara belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air.”

Bapak kedua dengan beberapa orang anaknya yang berumur muda, pada saat tanda-tanda ajal telah mendatanginya, dia mengumpulkan anak-anaknya, dia hendak memberikan sebuah pelajaran kepada mereka.

Bapak memberikan sebilah kayu kepada masing-masing anak, dia berkata kepada mereka, “Patahkanlah kayu yang kalian pegang.” Dengan mudah masing-masing anak mematahkan kayu yang ada di tangan mereka.

Selanjutnya bapak memberi mereka kayu yang tidak berbeda dengan kayu yang pertama, lalu bapak berkata, “Satukanlah kayu-kayu yang kalian pegang.” Dengan segera mereka menyatukannya. Bapak berkata, “Berikanlah kayu yang telah disatukan itu kepada fulan.” Yakni anaknya yang tertua.

Bapak berkata kepadanya, “Patahkanlah kayu itu.” Anak tertua berusaha mematahkannya, tetapi tidak berhasil, dia mengulang dengan mengerahkan tenaga lebih tetapi tetap tidak berhasil dan akhirnya dia menyerah. Bapak berkata, “Berikanlah kayu itu kepada fulan.” Yakni anaknya yang kedua. Bapak memintanya melakukan seperti yang dilakukan oleh kakaknya, dan anak kedua ini bernasib sama dengan kakaknya, dia gagal mematahkan kayu itu.

Bapak berkata, “Berikan kayu itu kepada fulan.” Yakni anaknya yang ketiga. Dan anak ketiga juga tidak mampu mematahkan kayu tersebut. Selanjutnya bapak berkata kepada mereka semua, “Anak-anakku, bersatulah karena dengan itu kalian akan menjadi kuat, jangan bercerai-berai karena dengan itu kalian akan menjadi lemah.”

كُوْنُوْا جَمِيْعًا يَا بَنِيَّ إِذَا اعْتَرَى
خَطْبٌ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا آحَادَا

تَأْبَى الرِمَاحُ إِذَا اجْتَمَعْنَ تَكَسُّرَا
وَإِذَا افْتَرَقْنَ تَكَسُّرَتْ أَفْرَادَا

Apabila persoalan besar datang maka bersatulah
Wahai anak-anakku dan jangan terpecah sendiri-sendiri

Apabila kayu-kayu itu disatukan, ia tidak dipatahkan
Akan tetapi jika ia dipisah, ia akan terpatahkan.

Allah Taala berfirman,artinya, “Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (Al-Anfal: 46).