Khitbah merupakan upaya dan mukadimah dalam rangka mengikat jalinan koperatif di antara dua kubu, salah satu elemen penting dan faktor penunjang utama bagi kemulusan jalinan ini adalah kejujuran dan keterbukaan dari kedua belah pihak, lebih-lebih fase khitbah adalah fase langkah awal, kurang patut bila sesuai yang sakral dibuka dan diawali dengan ghisy, ketertutupan dan kecurangan, bila dari pertama sudah terjadi ketidakjujuran, menutup-nutupi dan tadlis lalu siapa yang menjamin, bila kelak keduanya menikah, hal ini tidak terjadi dan terulang kembali?

Bila kejujuran dalam akad jual-beli dibutuhkan dan ditekankan, seorang saudagar dilarang menutup-nutupi aib barang atau cacatnya bila ia memang cacat atau membohongi pembeli dengan mengatakan sesuatu yang tidak ada pada barang, dan Rasulullah saw telah bersabda, “Man Ghasysyana fa laisa minna, barangsiapa mencurangi kami maka dia tidak termasuk golongan kami.” padahal ia adalah akad terhadap barang, benda mati, maka kejujuran dalam akad pernikahan, di mana ia adalah Mitsaq Ghalidh, akad paling kokoh dan paling kuat, akad yang dengannya kehormatan yang diharamkan dan dijaga menjadi halal, lebih diperlukan dan ditekankan.

Jarang ada orang yang mau dibohongi dan dicurangi, termasuk Anda sendiri, lalu apa alasan Anda melakukannya padahal Anda tidak mau orang lain melakukannya terhadap Anda? Baik Anda sebagai pihak yang melamar ataupun yang dilamar, katakan sejujurnya bila dia belum tahu. Katakan hal-hal yang terkait dengan diri Anda yang sekiranya memberi pengaruh terhadap keputusannya untuk menerima atau menolak Anda. Status seseorang, jejaka atau duda atau sudah beristri, gadis atau janda atau masih terikat perkawinan, kalau masih gadis apakah masih perawan, belum tersentuh atau sudah?, hal ini biasanya paling kuat pengaruhnya terhadap penerimaan atau penolakan, seorang wanita akan berpikir lama bila laki-laki-laki yang melamarnya sudah beristri atau masih tersangkut tali pernikahan, hal mana ia barang kali tidak akan melakukan demikian saat status laki-laki tersebut adalah sebaliknya. Pun demikian, seorang pria, saat dia mengira bahwa gadis yang akan dilamarnya masih perawan, ternyata perkiraannya meleset, dia sudah tersentuh dan kehilangan mahkotanya, tentu dia akan berpikir.

Namun perlu dipahami bahwa keterusterangan dan keterbukan ini tidak berarti bahwa Anda harus membeber dan mengumbar segalanya, hanya supaya lamaran Anda diterima, Anda tidak perlu demikian, bisa-bisa justru malah ditolak, bagaimana pun Anda juga punya hak untuk menjaga nama dan gengsi Anda, cukup hal-hal yang dalam pertimbangan umum dianggap penting dan memberi pengaruh. Ini satu. Yang kedua, Anda tidak perlu mengatakan hal ini dengan bahasa yang langsung atau jelas bila masalahnya termasuk masalah-masalah yang cukup diungkapkan dengan bahasa tidak langsung atau bahasa sindiran. Misalnya, sang gadis sudah tidak perawan lagi karena suatu sebab masa lalu yang kurang baik, namun saat ini dia sudah berubah dan menjadi shalihah, maka keadaannya cukup diungkapkan dengan bahasa kiasan, misalnya dengan mengatakan, “Masa lalunya sedikit bermasalah.” Atau, “Barangkali Ukkasyah sudah mendahului Anda,” Dan sebagainya.

Bagaimana bila dengan keterusterangan tersebut ternyata khitbah gagal? Bila gagal karenanya maka hal itu lebih baik. Gagal karena keterbukaan, masing-masing pihak memutuskannya untuk berhenti dengan dasar ilmu, lebih baik daripada terus namun masih ada yang disembunyikan, menjadi api dalam sekam, bom waktu. Ini satu sisi. Sisi lain, bila setelah keterbukaan ini ternyata gagal, maka masing-masing pihak wajib menyimpan rahasia lainnya secara rapat-rapat, karena itu adalah amanah yang memang kudu dijaga, di samping menutup aib seorang muslim merupakan perintah agama, “Mana satara musliman satarullahu fid dunya wal akhirah. Barangsiapa menutupi seorang muslim niscaya Allah menutupinya di dunia dan di akhirat.” Semoga setelah itu masing-masing mendapatkan jalan yang baik.

Bila Anda perlu membuka diri dengan berterus terang, maka tidak ada salahnya bila Anda ‘menjual’ kelebihan Anda, menyinggung kelebihan yang Anda punyai, sekiranya hal itu bisa mempengaruhinya untuk menerima Anda, sebutkan saja, tidak masalah, selama bukan dalam konteks membanggakan diri dan takabur dan apa yang Anda katakan ada benar, bukan dusta dan isapan jempol, jangan seperti air beriak tanda tak dalam, tong kosong nyaring bunyinya. Nabi saw bersabda, “Al-mutasyabbi’ bima lam yu’tha ka labis tsabaiy zurr. Orang yang merasa kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya adalah seperti pemakai sepasan baju kedustaan.” Tidak perlu berbohong hanya untuk rayuan gombal, tidak usah menghiasi diri dengan sesuatu yang tidak dimiliki, yakinlah bahwa kedustaan adalah tali yang pendek dan kejujuran adalah keselamatan.

Dalam konteks khitbah, bila seseorang yang mempunyai kepentingan dalam hal ini datang kepada Anda, dia mungkin sebagai pihak yang melamar dan mungkin juga pihak yang dilamar, bila dia datang kepada Anda meminta nasihat atau masukan, maka Anda dianjurkan untuk tidak menutup-nutupi bila Anda mengetahui sesuatu. Fatimah binti Qais datang kepada Nabi saw, dia melapor kepada beliau bahwa telah dilamar oleh dua orang: Mu’awiyah dan Abu Jahm. Nabi saw memberinya masukan, “Mu’awiyah adalah orang miskin yang tidak berharta. Abu Jaham adalah laki-laki yang tidak menurunkan tongkatnya dari pundaknya. Nikahlah dengan Usamah.”

Di sini Rasulullah saw mengarahkan Fatimah kepada yang lebih baik, dan demi kebaikannya juga beliau mengabarkan sisi kemanusiaan dua orang mulai yang telah melamarnya, tidak masalah karena kemaslahatannya lebih rajih dan tidak melebar ke rana yang lebih luas. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)