Mengenai kisah Nabi Khidir ‘alaihissallaam, telah diceritakan bahwa Musa ‘alaihissallaam pernah datang kepadanya untuk belajar ilmu. Dan, Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri juga telah menceritakan kisah keduanya dalam kitab-Nya yang mulia (al-Qur’an) dalam surat al-Kahfi. Hal tersebut telah kami kemukakan dalam pembahasan tafsir ayat tersebut. Sedangkan di sini kami bermaksud menyampaikan sebuah hadits yang berbicara tentang Khidir ‘alaihissallaam sekaligus menyebutkan bahwa yang datang kepadanya itu adalah Musa bin ‘Imran ‘alaihissallaam, Nabi Bani Israil yang diturunkan kepadanya kitab Taurat.

Para ulama telah berbeda pendapat tentang Khidir itu sendiri, tentang namanya, nasabnya, kenabiannya, dan kehidupannya sampai saat ini, yang terangkum dalam beberapa pendapat.

Yang lebih tepat –Wallahu A’lam- bahwa Khidir hanyalah gelar yang diberikan kepadanya. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

‏‏ ‏إنما سمي ‏ ‏الخضر ‏ ‏أنه جلس على فروة بيضاء فإذا هي تهتز من خلفه خضراء ‏

”Sesungguhnya dia dinamakan Khidir karena dia duduk di atas farwatun baidha’, tiba-tiba ia (farwatun baidha’) bergetar di belakangnya menjadi hijau.” (Shahih al-Bukhari: 3402)

’Abdurrazzaq rahimahullah mengatakan:”Kata al-farwah berarti rumput berwarna putih.” Al-Khaththabi rahimahullah mengemukakan, Abu ‘Umar mengatakan:”Al-farwah berarti tanah yang tidak tumbuh di atasnya tumbuh-tumbuhan.”

Sementara ulama lainnya mengatakan:”Yaitu, jerami kering yang diserupakan dengan al-farwah.” Darinya dikatakan:”Farwatur ra’si yang berarti kulit kepala yang tidak ditumbuhi rambut.”

Al-Khaththabi rahimahullah mengatakan:”Diberi nama Khidir karena ketampanan dan kecerahan wajahnya.”

Dapat saya katakana bahwa yang demikian itu tidak bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan dalam hadits shahih. Kalaupun harus dita’lil terhadap salah satu dari keduanya, maka yang ditetapkan dalam hadits tersebut adalah lebih kuat, bahkan yang lainnya tidak perlu ditinjau lagi.

Perbedaan Pendapat Mengenai Kenabian dan Kewalian Khidir

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, ketika Musa ‘alaihissallaam dan Yusya’ ‘alaihissallaam pulang kembali dengan mengikuti jejak ikan yang hilang, mereka menjumpai Khidir berada di atas hamparan berwarna hijau di tengah-tengah lautan dengan berselimutkan kain yang kedua ujungnya diletakkan pada bagian bawah kepalanya dan kedua kakinya. Kemudian, Musa ‘alaihissallaam mengucapkan salam kepadanya. Lalu, Khidir pun menjawab salamnya itu, selanjutnya berkata:”Sesungguhya, di negerimu ini aku mendapatkan kedamaian. Siapa kamu ini?”. “Aku Musa”paparnya. Khidir bertanya:”Musa, nabi Bani Israil itu?” Musa ‘alaihissallaam menjawab:”Ya…”Yang kisah keduanya telah diceritakan dalam al-Qur’an oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Beberapa redaksi kisah Musa dan Khidir (dalam al-Qur’an) menunjukkan akan kenabian Khidir dari beberapa sisi:

Pertama, firman-Nya:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا

”Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”(QS. Al-Kahfi: 65)

Kedua, ungkapan Musa ‘alaihissallaam kepada Khidir berikut ini:

قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66) قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (67) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا(68) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (69) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (70)

”Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun” Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.”(QS. Al-Kahfi: 66-70)

Seandainya Khidir itu hanya seorang wali dan bukan Nabi, niscaya Musa ‘alaihissallaam tidak akan mengajaknya berbicara mengenai hal tersebut. Dan dia pun tidak akan memberi jawaban seperti itu kepada Musa ‘alaihissallaam. Sebenarnya, Musa ‘alaihissallaam hanya ingin meminta kepada Khidir agar dia berkenan memberikan ilmu pengetahuan yang dikhususkan oleh Allah bagi Khidir ‘alaihissallaam semata. Seandainya dia bukan seorang Nabi, niscaya dia tidak akan ma’shum, dan Musa ‘alaihissallaam juga tidak akan memiliki keinginan yang besar untuk mencari dan menggali ilmu darinya. Tetapi kenyataannya, Musa ‘alaihissallaam rela dan bahkan berusaha keras untuk dapat mencari dan bertemu dengannya meskipun harus melalui waktu yang tidak sebentar –ada yang mengatakan waktu pencariannya itu mencapai 80 tahun. Dan ketika berhasil menemui dan berkumpul dengan Khidir ‘alaihissallaam, Musa ‘alaihissallaam merendahkan diri seraya mengagungkan dan mengikutinya dalam rangka memperoleh manfaat darinya. Hal itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang Nabi sepertinya; yang diberi wahyu, dan secara khusus dia telah dianugerahi ilmu dan rahasia-rahasia kenabian yang tidak diperlihatkan-Nya kepada Musa ‘alaihissallaam, seorang Nabi Bani Israil yang mulia. Dengan cara ini, ar-Rumani berhujjah untuk menunjukkan kenabia Khidir ‘alaihissallaam.

Ketiga, bahwa Khidir ‘alaihissallaam telah berani membunuh seorang anak kecil. Yang demikian itu tidak lain karena dia telah mendapatkan wahyu dari Allah, Raja yang Mahatahu. Ini jelas merupakan dalil tersendiri yang menunjukkan kenabiannya, sekaligus sebagai bukti nyata bagi ke-ma’shumannya, karena seorang wali tidak boleh membunuh jiwa hanya karena adanya bisikan dalam hati. Karena hatinya tidak ma’shum (lepas dari dosa), karena bisa saja dia melakukan suatu kesalahan, ini sesuai dengan kesepakatan ulama.

Sedangkan tindakan Khidir membunuh anak yang belum baligh itu karena dia mengetahui pada saat usia dewasa kelak anak tersebut akan kafir dan akan mempengaruhi kedua orang tuanya menjadi kafir karena kecintaan mereka berdua padanya. Pada pembunuhan tersebut ada maslahat yang besar, di antaranya melindungi kedua orang tuanya dari kekafiran dan siksaan akibat kekafiran tersebut. Semuanya itu menunjukkan kenabiannya, dan bahwasanya dia didukung oleh Allah dengan ke-ma’shumannya (terjaga dari dosa).

Saya melihat bahwa Syaikh Abul Faraj bin Jauzi menempuh cara ini dalam berdalil/berhujjah tentang kenabian Khidir ‘alaihissallaam dan sekaligus dia membenarkan cara ini. Dan berhujjah dengan cara seperti ini diriwayatkan pula dari ar-Rumani.

Keempat, setelah menafsirkan beberapa tindakannya serta menjelaskan kepada Musa ‘alaihissallaam mengenai hakikat masalah yang sebenarnya Khidir pun berkata:

… رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي (82)…

”…. Sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. ….”(QS. Al-Kahfi: 82)

Maksudnya, aku tidak melakukan hal itu karena kehendak pribadiku, melainkan karena perintah dan wahyu yang diturunkan kepadaku.

Keempat sisi di atas menunjukkan kenabiannya. Namun demikian, hal tersebut tidak menafikan (menolak) kewaliannya dan juga risalahnya, sebagaimana yang dikatkan oleh ulama yang lain. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa dia adalah salah satu Malaikat, maka itu adalah pendapat yang sangat aneh.

Jika kenabiannya telah valid dan jelas maka tidak ada lagi alasan bagi yang menyatakan kewaliannya, dan bahwasanya seorang wali terkadang mengetahui hakikat sebuah perkara tanpa ada sandaran dan pedoman yang jelas.

(Sumber: Kisah Shahih Para Nabi, Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah, edisi Indonesia. Pustaka Imam asy-Syafi’i hal 351-355 dengan sedikit gubahan. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)