Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala` buku pertama berkata, Hisyam bin Urwah dari bapaknya berkata, Umar mengunjungi Syam, dia disambut oleh para pemimpin dan pembesarnya. Umar bertanya, “Di mana saudaraku Abu Ubaidah?” Mereka menjawab, “Dia akan hadir kepadamu saat ini juga.” Lalu datanglah Abu Ubaidah dengan unta yang terikat tali kekangnya, dia mengucapkan salam. Umar berkata kepada orang-orang di sekelilingnya, “Biarkanlah kami berdua.” Lalu Abu Ubaidah membawa Umar ke rumahnya, sesampai keduanya di rumah, Umar tidak melihat peralatan rumah apapun di sana. Umar berkata, “Seandainya kamu memiliki sesuatu.” Abu Ubaidah menjawab, “Ya Amirul Mukminin, ini sudah cukup untuk menyampaikanku ke alam sana.”

Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala` buku pertama berkata, Malik ad-Dar, pembantu Umar bin al-Khattab menyampaikan bahwa Umar menyiapkan empat ratus dinar. Umar berkata kepada pembantunya, “Bawalah uang ini, berikanlah kepada Abu Ubaidah kemudian tunggulah sesaat agar kamu bisa melihat apa yang dilakukannya.” Pembantu tersebut berangkat, sampai di rumah Abu Ubaidah, dia berkata, “Amirul Mukminin berkata kepadamu, ‘Terimalah ini’.” Sambil dia menyodorkan uang tersebut. Abu Ubaidah berkata, “Semoga Allah menyambung dan merahmatinya.” Lalu Abu Ubaidah berkata kepada pembantunya, “Wahai pelayan, berikanlah tujuh dinar ini kepada fulan, berikanlah lima dinar ini kepada fulan…” sehingga uang tersebut tidak tersisa.

Pembantu Umar pulang dan dia memberitahu Umar apa yang dilakukan oleh Abu Ubaidah, pada saat itu pembantu Umar melihat Umar telah menyiapkan uang dalam jumlah yang sama, Umar berkata kepada pembantunya, “Pergilah, berikanlah ini kepada Muadz bin Jabal, tunggulah sesaat dan lihatlah apa yang dilakukannya.” Pembantu Umar pergi, sampai di rumah Muadz, dia berkata, “Amirul Mukminin berkata kepadamu, ‘Terimalah ini’.” Sambil dia menyodorkan uang tersebut. Muadz menjawab, “Semoga Allah menyambung dan merahmatinya.” Muadz memanggil pelayannya, “Pelayan, berikanlah sekian kepada keluarga fulan, sekian kepada keluarga fulan…” Manakala uang yang tersisa tinggal dua dinar, istri Muadz bersuara, “Demi Allah, kami juga miskin, berikanlah bagian kami.” Maka Muadz menyodorkan dua dinar tersebut kepadanya.

Pembantu Umar pulang dan memberitahu Umar tentang apa yang dilakukan oleh Muadz. Umar berbahagia dengan itu, dia berkata, “Mereka adalah saudara, sebagian dari sebagian yang lain.”

Imam adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala` buku pertama berkata, Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan Ummu Kultsum binti ash-Shiddiq, suatu hari Thalhah mendapatkan uang dari Hadramaut sebesar tujuh ratus ribu dirham, uang sebesar ini membuat Thalhah tidak tidur malam itu. Istrinya bertanya, “Ada apa denganmu?” Thalhah menjawab, “Aku berpikir sejak tadi, apa dugaan seseorang kepada Tuhannya, dia bermalam sementara harta sebesar ini ada di rumahnya?” Istrinya berkata, “Apakah kamu lupa terhadap sahabat-sahabat dekatmu, esok hari siapkan piring dan nampan, bagikanlah harta tersebut kepada mereka.” Thalhah berkata, “Semoga Allah merahmatimu, kamu memang wanita yang diberi taufik, putri laki-laki yang diberi taufik pula.” Di pagi hari Thalhah menyiapkan piring-piring dan dengannya dia membagi harta tersebut di kalangan orang-orang Muhajirin dan Anshar, Thalhah memberi Ali satu piring. Tiba-tiba istrinya berkata, “Abu Muhammad, apakah kami tidak memiliki bagian dari harta tersebut?” Thalhah menjawab, ”Di mana saja kamu sejak hari ini? Sisanya itu menjadi urusanmu.” Harta yang tersisa di kantong adalah seribu dirham.

Kalau para sahabat ini bersikap demikian maka itulah cermin dari Rasulullah saw.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Uqbah bin al-Harits berkata, Aku shalat Asar di belakang Nabi saw di Madinah, setelah salam Nabi saw berdiri dengan terburu-buru melangkahi pundak hadirin pergi ke kamar salah seorang istrinya, orang-orang heran karena keterburu-buruan beliau. Beliau kembali dan mengetahui bahwa orang-orang heran, beliau bersabda, “Aku teringat akan sepotong emas yang ada padaku, aku tidak suka ia menghalang-halangiku.” Maka Nabi saw meminta agar ia dibagikan.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Amru bin Auf al-Anshari bahwa Rasulullah saw mengutus Abu Ubaidah bin al-Jarrah ke Bahrain untuk mengambil jizyahnya, Abu Ubaidah pulang membawa harta, orang-orang Anshar mendengar kedatangan Abu Ubaidah, mereka hadir pada shalat subuh bersama Rasulullah saw, selesai shalat Rasulullah saw beranjak dari tempatnya maka mereka mencegatnya, Rasulullah saw tersenyum ketika melihat mereka, kemudian beliau bersabda, “Menurutku kalian mendengar bahwa Abu Ubaidah pulang membawa sesuatu.” Mereka menjawab, “Benar ya Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Bergembiralah kalian dan berharaplah apa yang membahagiakan, demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kalian akan tetapi yang aku takutkan adalah dilapangkannya dunia untuk kalian sebagaimana ia dilapangkan atas orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-lomba padanya seperti mereka berlomba-lomba padanya, akibatnya kalian binasa seperti mereka binasa.”

Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Sahal bin Saad as-Saidi berkata, seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, dia berkata, “Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku lakukan niscaya Allah menyintaiku dan manusia menyintaiku pula.” Rasulullah menjawab, “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah menyintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia niscaya manusia menyintaimu.”

Pelajaran dari orang yang gila mengumpulkan harta.

Dalam Syarzarat adz-Dzahab buku ketiga di tulis, adalah sultan Fakhr ad-Daulah, salah satu sultan Bani Buwaih, namanya adalah Ali bin Rukn ad-Daulah al-Hasan bin Buwaih, wafat tahun 387 H, dia berkata, “Aku telah menyiapkan untuk anakku apa yang mencukupi mereka dan tentara mereka selama lima belas tahun.”

Dia mewariskan dua juta dinar dan 865 ribu, mutiara, perhiasan, permata, intan, berlian, perak yang beratnya mencapai tiga juta tersimpan di gudangnya, di samping perlengkapan yang hanya bisa diangkut oleh tiga ribu unta, senjata seribu unta dan permadani dua ribu lima ratus unta.

Akhirnya dia wafat di benteng kota Ray. Kunci-kunci gudangnya dibawa oleh anaknya yang tidak ada di tempat. Sehingga kain kafan untuknya tidak ada. Maka dibelikan sepotong kain dari pelayan masjid yang ada di bawah benteng, dan diselimutkan padanya. Para tentara berselisih sehingga mereka tidak mengurusinya sampai mayatnya berbau dan tidak ada yang bisa mendekatinya. Maka ia diikat dan dilemparkan dari tangga benteng sehingga terpotong-potong.
(Izzudin Karimi)