Al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin al-Farra’ al-Hanbali rahimahullah pernah bercerita:”Sebagian sahabat kami pernah ditanya tentang Khidir:’Apakah dia sudah mati?’ Maka dia menjawab:’Ya, dia sudah wafat.’ Kemudian, Abu Ya’la rahimahullah menuturkan:”Hal yang seperti itu juga saya peroleh dari Abu Thahir bin al-Ghibari rahimahullah. Dia berhujjah, seandainya dia masih hidup, pasti dia akan datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Dinukil oleh Abu Jauzi dalam ”’Ajaalatul Muntazhar fii Syarh Haalatil Khidir.”

Jika ada yang berkata:”Apakah bisa dikatakan:’Sesungguhnya Khidir telah mendatangi momen-momen ini (bertemu dengan Nabi, berperang dengan beliau dll), hanya saja tidak ada seorang pun yang melihatnya?’

Maka dapat dijawab bahwa pada asalnya, tidak ada kemungkinan yang jauh seperti itu, yang mengharuskan pengkhususan berbagai hal yang sifatnya umum hanya karena beberapa persangkaan yang lemah. Lalu, apa alasan Khidir menyembunyikan dirinya dari penglihatan orang? Padahal kemunculannya (pada momen tersebut) lebih besar pahalanya, lebih meninggikan derajatnya, dan lebih menampakkan kemukjizatannya. Kemudian, seandainya dia masih hidup setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya penyampaiannya terhadap hadits-hadits dan ayat-ayat al-Qur’an dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pengingkarannya terhadap hadits-hadits palsu dan (pengingkarannya) terhadap riwayat-riwayat yang maqlub (terbalik), pendapat-pendapat bid’ah dan fanatisme, peperangannya bersama kaum Muslimin, shalat jum’at dan jama’ahnya bersama mereka, pemberian manfaat dia kepada kaum Muslimin dan pembelaannya terhadap mereka dari gangguan musuh mereka, pelurusannya terhadap ulama dan pemerintah, dan penetapannya terhadap dalil-dalil hukum, lebih afdhol (baik) dibandingkan dengan apa yang dikatakan tentang Khidir berupa persembunyiannya di kota-kota, dan penjelajahannya di padang pasir dan penjuru negeri, dan (lebih baik dibandingkan) dengan berkumpulnya dia dengan hamba-hamba yang keadaan sebagian besar dari mereka tidak diketahui, dan dia menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang menjadi penterjemah mereka.

Apa yang kami sebutkan ini, seseorang tidak akan berhenti padanya, setelah dia memahami sedikit demi sedikit. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada siapa yan dia kehendaki ke jalan yang lurus.

Di antaranya apa yang disebutkan dalam ash-Shahihain dan kitab selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‏ ‏أرأيتكم ليلتكم هذه فإنه إلى مائة سنة لا يبقى ممن هو على وجه الأرض أحد ‏

“Apakah kalian memperhatikan malam kalian ini? Sesungguhnya setelah seratus tahun ke depan tidak ada seorang pun manusia yang masih hidup sekarang ini akan tetap hidup di masa itu.”

Dalam riwayat lain disebutkan:”(walaupun) Sekejap mata” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan:”Maka orang-orang merasa cemas dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia pernah bercerita:”Pada suatu malam, pada akhir hidupnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Isya. Seusai shalat, beliau bersabda:

‏ ‏أرأيتكم ليلتكم هذه فإن على رأس مائة سنة منها لا يبقى ممن هو على ظهر الأرض أحد ‏

”Apakah kalian mengetahui malam kalian ini? (maka ingatlah) Karena sesungguhnya pada penghujung seratus tahun kedepan, tidak tersisa seorang pun di muka bumi (orang yang hidup di malam ini).”

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia bercerita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebelum beliau wafat atau sebulan beliau wafat:

ما من نفس منفوسة ،- ما منكم من نفس اليوم منفوسة -، تأتي عليها مائة سنة ، وهي يومئذ حية ”

”Tidak ada satu jiwa pun yang bernafas –atau tidak ada satu jiwa pun dari kalian pada hari ini yang bernafas- yang menjumpai seratus tahun yang akan datang dalam keadaan masih hidup pada saat itu.”

Ibnul Jauzi rahimahullah menuturkan:”Hadits-hadits shahih tersebut di atas menggugurkan pendapat yang menyatakan bahwa Khidir ‘alaihissallaam masih hidup.”

Para Ulama rahimahumullah mengemukakan:”Lalu Khidir, jika dia tidak menjumpai zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana hal itu adalah dugaan yang kuat yang bisa sampai kepada sebuah kepastian, maka tidak ada ada yang rumit. Dan kalaupun Khidir ‘alaihissallaam sempat menjumpai zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits tersebut berkonskwensi bahwa dia tidak hidup setelah seratus tahun berikutnya. Maka jadilah dia pada saat ini telah tiada (tidak hidup lagi), karena dia termasuk dalam keumuman hadits tersebut. Dan, hukum asal dalam sebuah dalil tidak dikhususkan sebelum ada dalil yang valid yang shahih dan dapat diterima. Wallahu a’lam

Dalam kitabnya, at-Ta’riif wal I‘laam, al-Hafizh Abul Qasim as-Suhaili rahimahullah menceritakan dan gurunya Abu Bakar bin al-‘Arabi rahimahullah bahwa Khidir sempat mengalami zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi berdasarkan hadits di atas dia meninggal dunia setelah itu.

Dalam perkataan Abu Qasim dalam kaitannya dengan Imam al-Bukhari rahimahullah bahwasanya dia mengemukakan hal ini, dan bahwasanya Khidir masih hidup sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perlu ditinjau kembali. Dan as-Suhaili menguatkan pendapat hidupnya Khidir dan dia menceritakannya dari kebanyakan ulama. Dia berkata:”Adapun berkumpulnya Khidir dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ta’ziyahnya kepada Ahlil Bait, maka diriwayatkan dari jalur yang shahih.” Lalu dia menyebutkan hadits-hadits yang lalu yang telah kami dha’ifkan dan dia tidak membawakan sanadnya.Wallahu A’lam

(Sumber: Kisah Shahih Para Nabi, Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah, edisi Indonesia. Pustaka Imam asy-Syafi’i hal 351-363 dengan sedikit gubahan. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)