Data Buku

Judul Asli : Huquq an-Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam Baina al-Ijlal wa al-Ikhlal.
Judul terjemah: Cinta Rasul Antara Sikap Berlebihan dan Menyepelekan.
Penulis:
1. Al-Allamah Dr. Shalih al-Fauzan.
2. Syaikh Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdul Latif.
3. Syaikh Dr. Abdullah bin Shalih al-Khudhairi, dkk.
Muraja’ah: Tim Editor Ilmiah DARUL HAQ
Penerbit: DARUL HAQ, Jakarta
Tebal buku: 236 halaman + xiv
Harga per ex: Rp.32.000.

Kedudukan & Pentingnya Tema Buku

Buku kita ini adalah kumpulan risalah-risalah penting yang ditulis oleh enam orang ulama terkemuka di zaman ini. Masing-masing dari mereka mengulas satu sub penting, sehingga benar-benar fokus dan kuat secara materi. Keenam materi itu kemudian dikemas menjadi satu-kesatuan, yang intinya adalah bagaimana hakikat mencintai Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berikut bagaimana mengikuti beliau dengan benar, sehingga tidak justru terjerumus ke dalam sikap berlebih-lebihan yang justru menjerumuskan ke dalam kemusyrikan, tetapi tidak pula acuh dan asal-asalan dalam mencintai beliau .

Semua Ahlus Sunnah wal Jama’ah pasti memahami dengan baik wajibnya mencintai dan mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tentu saja ini menggembirakan kita semua. Akan tetapi yang menjadi keprihatinan kita semua adalah adanya sebagian kaum muslimin yang salah kaprah dalam mencintai beliau sehingga justru berlebihan dan menyalahi sunnah beliau saw. Maka buku kita ini adalah bimbingan dan arahan dari para ulama bagaimana menempatkan cinta dan pengagungan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, agar kita dapat mengikuti beliau sebagaimana yang diridhai Allah Ta’ala.

Isi Buku Secara Umum

Bagian [1]: Setetes Air Mata Cinta Untuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, (Oleh: Syaikh Abdullah bin Shalih al-Khudhairi).

Bagian ini menyentuh hati kaum muslimin agar benar-benar membangun kecintaan yang tulus untuk Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini; karena dengan jasa beliaulah kita mendapatkan hidayah kepada kebenaran. Dan juga mengulas keprihatinan akan banyaknya kaum muslimin yang telah mengabaikan kecintaan ini. Di antara sub yang sangat ditekankan dalam bagian ini adalah fenomena Sikap Acuh Terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

1. Jauh dari Sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam Lahir dan Batin

Jauh dari sunnah secara batin artinya tak ada kemauan yang tulus dan kuat untuk mempelajari sunnah-sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, apalagi untuk mencintai dan mengagungkan sunnah-sunnah beliau. Tidak ada suasana batin yang bergelora untuk menegakkan sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang lebih memilukan, adanya sebagian kaum muslimin yang alergi dan apatis terhadap sunnah-sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan memandang sebelah mata terhadap orang-orang yang mengamalkan sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh menyedihkan !!!

Demikian juga secara lahir, tidak ada kemauan dan usaha untuk menegakkan sunnah-sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hidup. Kalaupun mendirikan Shalat, yang penting Shalat, cukup. Tak ada perasaan kurang afdhal karena tidak sesuai dengan sunnah-sunnah yang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ajarkan. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh sangat ironi umat ini !!!

Padahal Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ.

“Barangsiapa yang tidak suka terhadap sunnahku, maka dia bukan dari golongan (umatku)ku.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

2. Menolak Hadits-Hadits Shahih

Ini sering terjadi di tengah kaum muslimin, terlebih hadits-hadits yang tampak tidak sejalan dengan nalar dan hawa nafsu mereka, atau tampak tidak sejalan dengan gaya hidup modern. Dalam pandangan hidup orang-orang semacam ini, hadits-hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih sekedar legenda yang sudah tak layak di zaman seperti ini. Na’udzubillah. Allah Ta’ala telah mengingatkan bahaya sikap seperti ini dalam FirmanNya,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ}.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2).

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sudah wafat, lalu apa sangkut pautnya ayat ini dengan kita zaman ini? Para ulama memberikan jawaban yang bagus mengenai ini, di antara mereka adalah al-Qadhi Ibnul Arabi sebagaimana yang dikutip oleh al-Qurthubi dalam tafsir beliau. Beliau berkata, “Kehormatan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sesudah wafat adalah sepreti kehormatan beliau saat masih hidup, dan kedudukan tinggi sabda beliau yang diriwayatkan setelah beliau wafat sama dengan sabda beliau yang didengar langsung dari lisan beliau. Maka apabila sabda beliau dibacakan, setiap orang yang ada wajib untuk tidak mengeraskan suaranya dan tidak berpaling darinya, sebagaimana sikap yang wajib ditunjukkannya dalam majlis beliau ketika beliau menyampaikan sabda beliau.”

Dua fenomena ini saja sudah sangat mengerikan bagi orang-orang mukmin, dan dalam buku ini disebutkan ada dua belas fenomena sikap acuh terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang kesemuanya merupakan petaka di tengah kaum muslimin yang harus kita benahi.

Fenomena-fenomena ini adalah problem dan tentu saja membutuhkan solusi yang baik. Buku kita membahasnya secara sangat bagus, sehingga dengan membacanya, seorang muslim akan tergugah untuk mulai berbenah diri dan melakukan sesuatu.

Bagian [2]: Kewajiban mencintai dan mengagungkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (oleh: Syaikh Abdul Lathif bin Muhammad al-Hasan).

Dalam bagian ini lebih ditekankan lagi wajibnya mencintai Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahkan tidak cukup hanya mencintai, tetapi wajib lebih mencintai beliau daripada diri sendiri. Dalam Surat at-Taubah: 24, Allah memperingatkan dengan keras, bahkan menyatakan bahwa orang-orang yang lebih mencintai selain Allah dan RasulNya adalah orang-orang yang fasik.

“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya’. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.

“Demi Dzat Yang jiwaku ada di TanganNya, tidaklah beriman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

Masalah kewajiban mencintai dan bentuk-bentuk riil mencintai Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam SAW ini dibahas secara luas dan jelas dalam buku kita ini.
– Apa yang menjadi dasar wajibnya mencintai Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?
– Apa saja macam-macam cinta kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?
– Apa maksud mengagungkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?
– Bagaimana bentuk cinta dan pengagungan yang benar kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
– Dalam kaitan ini tentu saja contoh mencintai Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang paling baik adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam .
– Apa saja bukti cinta kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?

Bagian [3]: Ittiba` Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam Perspektif al-Qur`an dan as-Sunnah, (Oleh: Syaikh Faishal bin Ali al-Bu’dani).

Dalam bagian ini ada beberapa sub penting yang dibahas. Di antaranya:

Kaidah-kaidah pokok dalam ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam).

1. Agama Islam dibangun di atas wahyu al-Qur`an dan as-Sunnah. Apa yang ada dalam al-Qur`an dan as-Sunnah adalah Syariat yang diperintahkan untuk diikuti sebagai agama dan apa-apa yang tidak ada dalam keduanya berarti bukan bagian dari Syariat.

2. Wajib atas umat Islam untuk menuntut ilmu Syariat dan mengkaji dasar keabshannya dari al-Qur`an dan as-Sunnah sebelum mengamalkannya; karena Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak didasari oleh Agama kami, maka amal itu tertolak.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).

3. Yang dimaksud mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’) adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan yang disebutkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah sekaligus.

4. Apa-apa yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari ajaran dan peribadatan, padahal memungkinkan untuk beliau lakukan, maka mengerjakannya adalah bid’ah.

5. Segala yang dibutuhkan oleh manusia, baik pokok-pokok Agama (Ushuluddin) atau cabang-cabangnya, yang berkaitan dengan perkara dunia dan akhirat, berupa ibadah, mu’amalah, telah dijelalaskan oleh al-Qur`an dan as-Sunnah.

6. Mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam (ittiba’) itu hanya bisa terlaksana apabila suatu amal sesuai dengan Syariat dari enam sisi: Sebab, jenis, kadar, tata cara, waktu, dan tempat.

Ini hanya sebagian dari kaidah-kaidah yang disebutkan buku kita ini, dan dapatkan rinciannya dengan dalil-dalilnya dalam buku kita ini. Dan kaidah-kaidah ini akan sangat membantu menjelaskan bagaimana hakikat mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya, dan dengan mengkaji bagian ini, akan menjadi jelas bagi kita bahwa melakukan hal-hal bid’ah sama sekali bukan bagian dari mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tapi hanya mengikuti hawa nafsu dan merusak ittiba’ itu sendiri.

Masalah mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini memiliki kedudukan yang agung dalam Syariat. Misalnya:
– Mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu dari dua syarat diterimanya amal ibadah.
– Mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu prinsip pokok Islam.
– Mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah bukti hakiki cinta kepada Allah Ta’ala.

Ketiga poin ini adalah sebagian kecil dari belasan poin yang menunjukkan tingginya kedudukan ittiba’. Semua dapat Anda kaji di sini.

Bagian ini juga mengungkap banyak faktor yang menghalangi dari ittiba’ yang benar: (1), Jahil terhadap ilmu Syariat. (2), Mengikuti hawa nafsu. (3), Mendahulukan pendapat nenek moyang, syaikh (guru) dan tokoh daripada al-Qur`an dan as-Sunnah. (4), Mendahulukan nalar daripada dalil. (5), Lebih memilih syubhat. (6), Diamnya para ulama terhadap kebatilan. (7), Bergaul dengan ahli bid’ah dan kemaksiatan. (8), Bersandar kepada dalil-dalil yang lemah dan palsu.

Dapatkan penjelasannya lengkap dengan dalil dan contoh kasusnya didalam buku kita ini.

Bagian [4]: Hukum Merayakan Peringatan Maulid Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, (Oleh: al-Allamah Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan).

Bagian ini sangat menarik, karena dalam sub ini Syiakh Fauzan menjelaskan bahwa yang pertama sekali melakukan perayaan maulid adalah al-Bathiniyah, atau yang dikenal dengan al-Ubaidiyah, yaitu kelompok yang telah dikafirkan oleh para ulama secara ijma’. Dan dari sini, maka perayaan maulid tersebut sangat kentara kebatilannya. Dalam bagian ini Anda dapat mengkaji banyak hal berkaitan dengan peringatan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang patut ditelaah oleh semua kalangan.

Bagian [5]: Fenomena Perayaan Maulid Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Berbagai Dampak Negatifnya di Mesir, Sebuah studi kasus, (oleh: Abdul Karim Hamdan).

Bagian [6]: Fenomena sikap berlebih-lebihan dalam berbagai pujian kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, (oleh Sulaiman bin Abdul Aziz al-Furaiji).

Bagian ini fokus mengkaji berbagai pujian ahli bid’ah terhadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang karena berlebihannya sampai mengangkat beliau kepada kedudukan tuhan, sehingga pujian tersebut merupakan suatu kemusyrikan yang dilarang oleh Allah dan RasulNya.

Bagian [7]. Penyimpangan Akidah Dalam al-Burdah yang ditulis oleh al-Bushiri, (oleh; Dr. Abdul Aiz bin Muhammad Alu Abdul Lathif).

Al-Burdah ini cukup populer di sebagian masyarakat muslim tanah air, bahkan di sebagian daerah dan desa, bait-bait syair ini dibaca secara rutin dan berulang pada malam tertentu dalam satu minggu. Padahal apa yang tertuang di dalamnya penuh dengan penyimpangan bahkan kemusyrikan yang tidak mungkin diucapkan secara sadar oleh seorang muslim yang berakal. Simak pembahasan mengenai al-Burdah ini secara detil dalam buku kita ini.

Demikianlah, dan semoga Allah menjadikan buku ini sebagai bagian dari solusi mengentaskan berbagai penyimpangan masyarakat muslim tanah air, yang justru muncul atas nama mencintai Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan semoga Allah juga menjadikan kita istiqamah menjadi pengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam besar Muhammad, dan istiqamah pula dalam menegakkan sunnah beliau.

CONTACT PERSON

Pemesanan kitab dan informasi selengkapnya, silahkan hubungi Sdr. Ahmad Maulana: Telpon: (021) 84999585 Hp: (021) 93690244. Situs: www.darulhaq-online.com.  Cara Pemesanan Kitab: Klik Pesan Kitab