{122} Kami meriwayatkan dalam Sunan al-Baihaqi dari al-Harits dari Ali radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ a إِذَا اسْتَفْتَحَ الصَّلاَةَ؛ قَالَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ، سُبْحَانَكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِيْ، وَعَمِلْتُ سُوْءً ا، فَاغْفِرْ لِيْ؛ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ. وَجَّهْتُ وَجْهِيَ… إِلَى آخِرِهِ.

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membuka shalat beliau mengucapkan, ‘Tiada Tuhan yang haq kecuali Eng-kau, Mahasuci Engkau, aku telah menganiaya diriku dan melakukan keburukan maka ampunilah aku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau. Aku hadapkan wajahku… sampai akhir.” (Takhrij Hadiits: Dhaif sekali . Diriwayatkan oleh al-Baihaqi 2/33 dari jalan Hasyim, dari Syu’bah, dari Abu Ishaq, dari al-Harits dengan hadits tersebut.Ini adalah sanad yang sangat lemah, karena al-Harits. Akan tetapi al-Baihaqi berkata, “Asy-Syafi’i menceritakannya dari Husyain tanpa mendengar (darinya) dari sebagian sahabatnya, dari Abu Ishaq, dari Abul Khalil, dari Ali. Jika ini adalah riwayat Mahfuzh, maka ada kemungkinan bahwa Abu Ishaq mendengarnya dari keduanya.” Aku berkata, “Yang lebih rajih bahwa Abu Ishaq -sementara dia telah berumur lanjut dan hafalannya berubah- telah melakukan kegon-cangan pada riwayat tersebut maka dia meriwayatkannya dengan dua jalan. Kemudian sanad yang terakhir adalah gelap, ia terputus antara asy-Syafi’i dan Husyain, perantara antara Husyain dan Abu Ishaq tidak diketahui. Abu Ishaq sendiri adalah mudallis dan dia meriwayatkannya dengan ‘dari’ ditambah keadaannya yang telah dijelaskan Abul Khalil hanya diterima pada mutaba’ah, tidak lebih.)

Ini adalah hadits dhaif, karena al-Harits al-A’war dhaif berdasarkan kese-pakatan (ulama hadits). Asy-Sya’bi berkata, “Al-Harits adalah ahli dusta.” Wallahu a’lam.

Mengenai sabdanya, وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ”Keburukan tidak dinisbatkan kepadamu.” Ucapannya ini tentang doa iftitah di awal bab ini no. 119Ketahuilah, bahwa madzhab ahlul haq dari kalangan ahli hadits, fuqaha, mutakallimin dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama kaum Muslimin yang datang setelah mereka adalah bahwa seluruh peristiwa, yang baik, yang buruk, yang bermanfaat, yang bermudharat, semuanya adalah dari Allah, dan dengan kehendak dan takdir-Nya. Jika memang demikian maka hadits ini memerlukan takwil. Para ulama memiliki empat jawaban:

Pertama: -Ini yang paling masyhur diucapkan oleh an-Nadhr bin Syumail dan para imam sesudahnya-, maknanya adalah bahwa kejelekan tidak dipakai dalam bertaqarrub kepada-Mu.

Kedua: Keburukan tidak naik kepada-Mu, karena yang naik kepada-Mu hanyalah ucapan-ucapan yang baik.

Ketiga: Keburukan tidak disandarkan kepada-Mu demi menjaga adab kepada-Mu, maka tidak dikatakan kepada Allah, “Wahai pencipta keburukan,” meskipun Dia adalah penciptanya sebagaimana tidak dikatakan, “Wahai pencipta babi.” Meskipun Dia adalah penciptanya.

Keempat: Keburukan bukanlah keburukan dari segi hikmah-Mu, karena Engkau tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia.

Keempat pendapat tersebut adalah benar, tidak saling bertentangan, akan tetapi pendapat yang keempat lebih baik dan lebih layak karena ia tidak memerlukan takwil dengan menambah ucapan yang tidak terlihat. Dan untuk menjelas-kannya aku katakan, “Allah adalah pencipta kebaikan dan keburukan, akan tetapi penciptaan-Nya terhadap keburukan bukanlah keburukan, akan tetapi kebaikan, karena ia mengandung hikmah besar di mana akal hampir tidak mengetahui kecuali bagian yang kecil saja, maka semua perbuatan Allah adalah baik, karena ia berkisar di antara kemurahan, keadilan dan hikmah.” Wallahu a’lam.

Pasal: Ini adalah dzikir-dzikir yang ada pada doa istiftah. Terdapat doa lain yang shahih bukan di sini tempat perinciannya.
Dianjurkan menggabungkan semuanya bagi yang munfarid (shalat sendirian) dan bagi imam jika para makmum mengizinkannya.(Perbedaan dzikir iftitah termasuk perbedaan keanekaragaman, di mana disyariatkan padanya dan pada yang sepertinya untuk mengikuti dan melakukan ini di satu waktu dan melakukan itu di lain waktu. Penjelasanku yang terperinci tentang ini di mukadimah hal. 62-66. di sini aku tidak mengulang panjang lebar.)
Apabila para makmum tidak mengizinkan maka imam tidak membaca semuanya, cukup sebagian saja dan baik jika dia membatasi pada, “Aku hadapkan wajahku…” sampai dengan… “termasuk orang-orang Muslim.” Begitu pula munfarid yang memilih keringanan.

Ketahuilah bahwa dzikir-dzikir ini (doa iftitah) dianjurkan pada shalat fardhu dan nafilah (sunnah). Seandainya dia meninggalkannya pada rakaat pertama dengan disengaja atau karena lupa maka dia tidak melakukannya di rakaat sesudahnya, karena tempatnya telah berlalu, seandainya dia melakukannya maka hal itu makruh dan tidak membatalkan shalatnya. Seandainya dia meninggalkannya setelah takbir sehingga dia telah mulai membaca atau berta’awudz maka tempatnya telah terlewatkan, ia tidak perlu melakukannya. Seandainya dia melaksanakannya, shalatnya tetap sah.Seandainya dia adalah makmum masbuq di salah satu rakaat, maka dia melakukannya, kecuali jika khawatir dengan membacanya lenyaplah kesempatan membaca al-Fatihah, dalam kondisi tersebut dia harus membaca al-Fatihah, karena ia lebih kuat, ia wajib sementara doa iftitah adalah sunnah.Semua ucapan di paragraf ini berpijak kepada dasar yang tidak shahih, yaitu, bahwa doa iftitah hukumnya sunnah bukan wajib padahal yang benar ia adalah wajib karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang shalat dengan buruk untuk membacanya. Betapa banyak orang yang shalat yang melalaikannya.

Seandainya makmum masbuq mendapatkan imam tidak dalam posisi berdiri, mungkin sedang ruku’ atau sujud atau duduk tahiyat maka dia bertakbiratul ihram bersamanya dan membaca dzikir sama dengan dzikir imam dan tidak membaca doa iftitah dalam kondisi tersebut dan sesudahnya.

Sahabat-sahabat kami berbeda pendapat tentang dianjurkannya doa iftitah dalam shalat jenazah. Yang benar adalah bahwa ia tidak dianjurkan karena shalat jenazah berpijak kepada prinsip meringankan.

Ketahuilah bahwa doa iftitah adalah sunnah bukan wajib,( Telah hadir belum jauh bahwa ia wajib) seandainya dia meninggalkannya maka dia tidak perlu sujud sahwi, sunnahnya adalah dibaca pelan, kalau dibaca keras maka ia makruh namun shalatnya tetap sah.( Ensiklopedi Dzikir dan Doa, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa hal.147-149 )