Amru bin al-Haetsam meriwayatkan, dia berkata, kami naik sebuah perahu, kami bersama laki-laki Qadariyah dan laki-laki Majusi. Laki-laki Qadariyah berkata kepada laki-laki Majusi, “Masuklah ke dalam Islam.” Maka Majusi menjawab, “Nanti, kalau Allah berkehendak.” Laki-laki Qadariyah berkata, “Sesungguhnya Allah berkehendak, setan yang tidak.” Laki-laki Majusi menjawab, “Allah berkehendak dan setan juga berkehendak lain lalu terjadilah apa yang dikehendaki setan. Ini setan yang kuat.” Dalam sebuah riwayat, laki-laki Majusi berkata, “Aku memilih ikut yang paling kuat.”

Seorang laki-laki pedalaman datang ke sebuah pertemuan di sana hadir Amru bin Ubaid. Laki-laki itu berkata, “Wahai hadirin, untaku dicuri, tolong doakan kepada Allah agar Dia mengembalikannya kepadaku.” Maka Amru bin Ubaid berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya engkau tidak ingin untanya dicuri namun ia tetap dicuri, maka kembalikanlah kepadanya.” Laki-laki itu menjawab, “Aku tidak butuh doamu.” Amru bertanya, “Mengapa?” Dia berkata, “Aku takut Allah ingin mengembalikan untaku namun ia tidak dikembalikan, sebagaimana Allah ingin ia tidak dicuri tetapi malah dicuri.”

Seorang laki-laki berkata kepada Abu Isham al-Qasthalani, “Bagaimana menurutmu bila Allah tidak memberiku hidayah dan memasukkanku ke dalam kesesatan, kemudian Allah menyiksaku, apakah Allah adil?” Dia menjawab, “Bila hidayah adalah sesuatu milikNya maka Dia berhak memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dan menghalanginya dari siapa yang Dia kehendaki.”

Abdul Jabbar al-Hamadzani al-Qadhi al-Mu’tazili datang kepada ash-Shahib bin Abbad yang saat itu sedang bersama Ustadz Abu Ishaq al-Isfira`ini, seorang imam masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, manakala dia melihat Ustadz, dia berkata, “Mahasuci Allah yang tersucikan dari keburukan.” Maka Ustadz menjawab sepontan, “Mahasuci Allah yang tidak terjadi di kerajaanNya kecuali apa yang Dia kehendaki.” Qadhi Mu’tazili berkata, “Apakah Tuhan kita berkehendak didurhakai?” Ustadz menjawab, “Apakah Tuhan kita didurhakai karena kalah?” Qadhi bertanya, “Bagaimana bila Allah tidak memberiku hidayah, Dia menetapkan kesesatan atasku, dia berbuat baik kepadaku atau buruk?” Ustadz menjawab, “Bila Allah tidak memberimu sesuatu yang memang menjadi milikmu maka Allah berbuat buruk, namun bila Allah tidak memberimu sesuatu yang merupakan milikNya maka Dia mengkhususkan rahmatNya kepada siapa yang Dia kehendaki.” Maka Qadhi terdiam.

Memang, kesesatan dan penyimpangan ibarat jaring laba-laba, rapuh dan lemah, sangat mudah diruntuhkan dan dihancurkan, sekalipun pengusungnya mengakuinya kuat dan logis, “Afala ta’qilun.” Wallahu a’lam.