Telah berlalu pembahasan tentang pengumpulan al-Qur’an di zaman ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, dan bahwasanya Zaid bin Tsabit beserta ketiga orang Shahabatnya dari suku Quraisy radhiyallahu ‘anhum telah menempuh metode khusus yang telah diridhai (disetujui) oleh ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dalam penulisan mushaf tersebut. Para Ulama menamakan metode ini dengan Rasm al-’Utsmani lil Mushaf suatu nama yang disandarkan kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, namun para Ulama berbeda pendapat tentang hukumnya:

1. Sebagian mereka berpendapat bahwa rasm al-‘Utsmani lil Qur’an adalah tauqifi (sudah paten Rasul-Nya) yang wajib diikuti (dipakai) dalam penulisan al-Qur’an. Dan mereka (para Ulama) berlebih-lebihan dalam mensucikannya (mengagungkannya), dan mereka menyandarkan bahwa hal itu adalah tauqifi dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Lalu mereka menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu – salah seorang penulis wahyu-:”Tuangkan tinta, goreskan pena, tegakkan huruf Ya’, bedakkan huruf Siin, jangan miringkan huruf Miim, perbagus lafazh Allah, panjangkan lafazh ar-Rahman, dan perindah ar-Rahim, dan letakkan penamu di telinga kirimu karena hal itu lebih mengingatkanmu.”

Ibnul Mubaraka rahimahullah menukil dari gurunya ‘Abdul ‘Aziz ad-Dibagh, bahwasanya gurunya berkata kepada Ibnul Mubarak:”Tidak ada campur tangan dari para Shahabat radhiyallahu ‘anhum maupun selain mereka dalam rasm al-Qur’an sekalipun hanya sebesar sehelai rambut. Akan tetapi ia (rasm) adalah tauqifi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliaulah yang memerintahkan para juru tulis wahyu untuk menulisnya dengan bentuk yang dikenal (sekarang) dengan menambahkan alif dan menguranginya untuk suatu rahasia-rahasia yang tidak bisa diketahui dengan akal. Dan itu adalah salah satu rahasia dari rahasia-rahasia yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan al-Qur’an dengannya, dan tidak untuk kitab-kitab Samawi selainnya. Sebagaimana susunan al-Qur’an adalah mukjizat maka rasmnya juga mukjizat.”

Dan mereka mencari-cari untuk rasm (cara penulisan) tersebut rahasia-rahasia (hikmah), yang menjadi dalil yang menunjukkan makna yang tersebunyi dan halus kenapa memilih rasm al-‘Utsmani. Seperti penambahan huruf Ya’ pada firman Allah:

وَالسَّمَآءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْيد(47)…

” Dan langit itu Kami bangun dengan tangan (Kami) ….” (QS. Adz-Dzaariyaat: 47)

Karena ia ditulis dengan بِأَيْيد (ada tambahan huruf Ya’ karena kalau di luar al-Qur’an ditulis dengan بِأَيْد), dan hal itu sebagai isyarat untuk mengagungkan kekuatan Allah yang dengan tangan-Nya Dia membangun langit, dan bahwasanya ia tidak menyerupai tangan makhluk-Nya. Hal ini berdasarkan kaidah yang masyhur:”Penambahan huruf dalam bentuk kalimat, menunjukkan penambahan makna.”

Dan pendapat ini, tidak ada sedikit pun riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga menjadi dalil bahwa rasm ini adalah tauqifi, namun hal itu hanyalah istilah untuk rasm ini yang dipakai (disepakati) oleh para penulis wahyu pada zaman ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dan beliau menyetujuinya. Dan beliau membuat untuk mereka dhawabith (ketentuan) untuk itu, yaitu dalam ucapannya kepada ketiga orang Quraisy yang menjadi penulis mushaf:”Jika kalian bertiga dan Zaid bin Tsabit berbeda pendapat tentang masalah al-Qur’an, maka tulislah dengan dialek Quraisy, karena al-Qur’an itu turun dengan dialek mereka.” Dan ketika mereka berbeda pendapat tentang penulisan التابوت maka Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: التابوه dan mereka bertiga berkata التابوت, lalu mereka mengadukan perkara ini kepada ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu berkata:”Tulislah تابوت, karena al-Qur’an diturunkan dengan dialek (bahasa) Quraisy.”

2. Banyak dari kalangan Ulama yang berpendapat bahwa rasm al-‘Utsmani bukanlah tauqifi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun ia hanyalah istilah yang disetujui oleh ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu, diterima oleh seluruh ummat, wajib berpegang teguh denganya dan menggunakannya dan tidak boleh menyelisihinya.

Asyhab rahimahullah berkata:”Imam Malik rahimahullah ditanya:’Apakah boleh mushaf ditulis dengan kaidah huruf Hijaiyah baru yang dibuat oleh manusia?’ Imam Malik rahimahullah menjawab:’Tidak boleh, kecuali dengan tata cara penulisan yang pertama.’, diriwayatkan oleh Abu ‘Amr ad-Dani rahimahullah dalam kitab al-Muqni’. Lalu ia berkata:Tidak ada satu Ulama pun dri Ulama umat Islam yang menyelisihi perkataan Imam Malik ini.” dan ia berkata di tempat yang lain:”Imam Malik ditanya tentang huruf-huruf di al-Qur’an seperti huruf Wawu dan Alif’, apakah engkau berpendapat boleh untuk diubah dari mushaf jika keduanya ada di dalam mushaf seperti itu?’ Imam Malik rahimahullah menjawab:”Tidak.”. Ibnu ‘Amr rahimahullah berkata;”Maksudnya, adalah huruf Wawu dan Alif’ tambahan yang ditulis namun tidak diucapakan seperti dalam kata أولوا (dibaca Uluu, bukan Uuluu).”

Imam Ahmad rahimahullah berkata:”Haram menyelishi rasm mushaf ‘Utsman dalam penulisan huruf Wawu, atau Ya’ atau Alif, atau yang selainnya.” (lihat al-Itqaan karya Imam as-Suyuthi rahimahullah, dan al-Burhaan karya az-Zarkasyi rahimahullah).

3. Dan sekelompok Ulama yang lain berpendapat bahwa rasm ‘Utsmani adalah istilah, tidak mengapa (tidak dilarang) untuk menyelisihinya, jika manusia menyepakati suatu rasm (metode) khusus untuk penulisan dan rasm itu sudah tersebar di kalangan mereka.

Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Intishaar:”Adapun masalah penulisan (mushaf), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewajibkan kepada ummat sesuatupun dalam masalah ini, dan juga Dia tidak memilihkan untuk para pencatat al-Qur’an dan penulis mushaf satu rasm tertentu yang Dia wajibkan (untuk dipakai) dan supaya mereka meninggalkan selainnya. Karena wajibnya hal tersebut (pemakaian rasm ‘Utsmani) tidak bisa diketahui kecuali dengan dalil as-sam’u (al-Qur’an dan Hadits), dan tauqifi. Padahal tidak ada dalam nash-nash (makna yang tersurat) al-Qur’an dan juga dalam mafhumnya (makna yang tersirat) sesuatu yang menjelaskan bahwa rasm (metode penulisan) al-Qur’an dan pemberian harkatnya tidak diperbolehkan kecuali hanya dengan satu cara khusus, dan ketentuan tertentu yang tidak boleh dilanggar. Di dalam nash as-Sunnah (Hadits) tidak juga tidak ada dalil yang mewajibkan demikian. Demikian juga tidak ada ijma’ (konsensus) umat yang mengharuskan demikian, serta kiyas (analogi) syar’i pun tidak menujukkan hal tersebut. Bahkan as-Sunnah menunjukkan bolehnya menggunakan rasm apapun yang mudah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu memerintahkan para penulis wahyu untuk menulis al-Qur’an, dan tidak menjelaskan kepada mereka tentang metode tertentu dan juga tidak melarang metode lain untuk penulisannya. Oleh sebab itu khat (model tulisan) mushaf berbeda-beda, sebagian mereka ada yang menulis kalimat sesuai pengucapan lafazh, dan sebagian mereka ada yang menambah dan mengurangi karena pengetahuan mereka bahwa hal tersebut adalah istilah, dan bahwasanya hal tersebut tidak tersembunyi dari manusia. Oleh karena itu, boleh menulis dengan huruf Kufi dan khat yang pertama, untuk menjadikan kalam sesuai dengan bentuk Kaaf, membengkokkan Alif dan boleh untuk ditulis dengan cara selain ini. Dan boleh ditulis dengan khat (model tulisan) Hijaiyah kuno, dan boleh juga ditulis dengan khat modern dan juga boleh dengan perpaduan keduanya. Jika khat-khat mushaf dan banyak dari huruf-hurufnya berbeda-beda dan berlainan bentuk, dan manusia telah membolehkan untuk menulis dengan tulisan yang sudah menjadi kebiasaan mereka, dan dengan apa yang mudah, masyhur dan utama dengan tanpa dianggap berbuat dosa atau kemungkaran, maka dari situ diketahui bahwa manusia tidak diwajibkan untuk mengikuti ketentuan tertentu dalam penulisan, sebagaimana mereka diwajibkan untuk mengikuti aturan tertentu dalam bacaan. Sebab dari hal itu adalah karena khat-khat hanyalah tanda dan rasm-rasm seperti isyarat, lambang dan rumus-rumus. Maka setiap rasm yang menunjukkan sebuah kata, terikat dengan sebuah model bacaan yang wajib benar dan wajib diluruskan penulisannya dalam bentuk apapun. Kesimpulannya, setiap orang yang mengklaim wajibnya menggunakan rasm khusus wajib mendatangkan bukti atas pengklaimannya tersebut. namun, mustahil dia memilikinya?”

Dan berangkat dari pendapat ini, sebagian kalangan pada zaman ini mengajak untuk menulis mushaf dengan kaidah Imla’iyah yang dikenal di kalangan mereka, supaya mudah dibaca oleh para pembaca baik dari kalangan siswa, dan pelajar, dan para siswa ketika membaca al-Qur’an tidak merasakan adanya perbedaan antar rasm al-Qur’an dengan rasm Imla’i yang mereka pelajari.

Dan yang saya lihat bahwasanya pendapat yang kedua adalah pendapat yang rajih (kuat), dan bahwasanya wajib untuk menuliskan al-Qutr’an dengan rasm ‘Utsmani yang dikenal dalam mushaf.

Maka ia (rasm ‘Utsmani) adalah rasm istilahi yang umat ini saling mewarisinya semenjak zaman ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu. Dan menjaganya (memeliharanya) adalah jaminan kuat untuk melindungi al-Qur’an dari pengubahan dan penggantian hurufnya. Jika dibolehkan penulisan mushaf dengan rasm istilahi al-Imla’i pada setiap zamannya, maka hal tersebut akan mengakibatkan pengubahan tulisan mushaf dari satu zaman ke zaman yang lain, bahkan kaidah Imal’i sendiri berbeda-beda sudut pandangnya dalam satu zaman, dan juga adanya perberbedaan di sebagian kalimat dari satu negara dengan negara lain.

Dan perbedaan khat-khat yang disebutkan oleh al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani rahimahullah adalah satu hal dan rasm Imal’i adalah hal lain lagi (tidak ada hubungan antara keduanya). Maka perbedaan khat hanyalah merubah bentuk huruf, bukan merubah rasm.

Adapun dalil bahwasanya hal itu (penulisan dengan rasm istilahi) adalah untuk memudahkan membaca bagi para siswa dan pelajar, dengan alasan tidak adanya pertentangan antara rasm al-Qur’an dengan rasm Imla’i istilahi, maka hal itu bukanlah alasan untuk pembolehan merubah rasm yang menjadikan kekurangtelitian dalam penulisan al-Qur’an.

Dan yang terbiasa membaca al-Qur’an di mushaf mengetahui hal tersebut dan memahami perbedaan-pebedaan imla’ dengan isyarat-isyarat yang terletak di atas kata-kata. Dan mereka yang membiasakan hal hal ini dalam dunia pendidikan atau bersama anak-anaknya akan mengetahui bahwa kesulitan yang ada ketika membaca al-Qur’an dengan mushaf pada pertama kalinya akan berubah menjadi mudah setelah membiasakan diri dalam beberapa waktu yang singkat.

Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata dalam Syu’abul Iman:”Barang siapa yang menulis mushaf, maka hendaknya memperhatikan huruf Hijaiyah yang digunakan oleh mereka (para Shahabat) untuk menulis mushaf, dan janganlah menyelisihi mereka, janganlah mengubah apapun yang mereka tulis. Karena sesungguhnya mereka lebih banyak ilmunya, lebih jujur lisan dan hatinya, dan lebih amanah dibandingkan kita. Maka tidak sepantasnya kita menyangka diri kita lebih tahu dari mereka.”

(Sumber:مباحث في علوم القرآن, Syaikh Manna al-Qaththaan, maktabah Ma’arif, Riyadh hal. 146-150. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono)